Oleh Adhim Fauzil (PMII Rayon Bahasa dan Seni, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Selasa – 12:50 WIB
Selandia Baru, 29 Februari 2016
Begitu tenang rintikan salju pertama tahun ini berangsur turun. Rintik putih dingin sore hari itu mengetuk jendela kamarku. Tampak jelas membentang di angkasa awan tebal seputih susu. Meneduhi aktifitas sepi sore hari kota ini. Jalan raya, Sekolah, Pasar, hingga Kantor walikota diseberang ruangku beradu serempak henyak menyepi. Masing-masing sibuk menghangatkan diri dari dinginya salju. Aku sendiri pun sama, berdiam di dalam ruangan hangat bersanding secangkir kopi hitam yang tak kalah hangat. Hanya memandangi hasil karya Tuhan dari balik jendela kamarku.
Namun keteduhan salju ini gagal membawa tentram untuk hatiku, yang ada malah menguatkan rasa sendu di dalam dadaku. Pun sisa cahaya surya yang perlahan redup turut menyulut api bimbang. Mengingatkan senyum Ibu dan murka Abah di ingatanku pada satu waktu. Layar smartphone ku berkelap-kelip, mengingatkan agenda esok hari yang bahkan aku tidak pernah lupa. Aku akan pulang ke kampung halamanku Jawa Tengah, Pekalongan tepatnya, setelah satu tahun lalu aku dilepas oleh kedua orang tuaku dengan hanya senyum dari Ibu. Hal itu yang masih terus mengganjal rongga dadaku. Sebenarnya aku sudah begitu rindu akan kampung halamanku. Rindu akan Ibu dan Abahku. Juga rindu akan adik dan teman-temanku. Tetapi kepergianku waktu itu tanpa membawa restu dari Abah. Aku takut kepulanganku kali ini malah akan membawa kembali permasalahan Abah dan Ibu waktu itu.
Aku masih ingat betul, sebelum keberangkatanku dulu, orang tuaku sempat beradu mulut karena prinsipku. Prinsip untuk mengambil beasiswa S2 Teknik Arsitektur di Selandia Baru. Abah yang sebagai kiai pondok, kukuh ingin aku tetap di Pekalongan. Ia ingin aku membantu mengurusi pondok setelah lulus S1. Sedangkan Ibu merestui dan mendukungkumengejar mimpi. Sebenarnya hatiku terenyuh kala dahulu melihat Abah dan Ibu bertengkar hanya karena diriku.Tapi aku tidak bisa membohongi diri dari keinginan mengejar mimpi. Keinginanku untuk terus mendalami bidang arsitektur sudah tidak bisa ditahan-tahan lagi. Lagipula kesempatan beasiswa di Universitas Waikato, Selandia Baru tidak akan datang dua kali. Aku tidak habis pikir, beasiswa S2 saja biasanya bisa membuat orang tua manapun bangga, apalagi beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Namun jalan pikiran Abah begitu berbeda. Abah mungkin akan bersorak bangga jika aku mendapat beasiswa ke Al-Azhar karena hafal Al-Qur’an, daripada beasiswa S2 di Selandia Baru. Namun aku sudah tidak dapat lagi berdamai dengan prinsip Abah. “Apa jalan hidupku harus Abah yang menentukan? Aku bisa kok menentukan sendiri!” Pikiriku kala itu.
Sebenarnya, belum dapat kupahami secara utuh apa yang menjadi alasan kuat bagi Abah untuk melarangku. Masalah urusan mengajar pondok padahal bisa Abah serahkan pada santri-santrinya yang lebih tua dan lebih tahu. Toh memang sudah sejak dulu seperti itu. Masalah biaya kuliah pun sudah tidak perlu dipikir lagi karena ada beasiswa, Abah sudah tidak perlu lagi merogoh satu koin pun untuk membayar kuliahku. Biaya hidup aku sendiri pun sudah mampu, karena aku juga bekerja di perusahaan kontarkor. Uang yang aku dapat sudah lebih dari sekedar biaya hidup. Malah seringkali aku kirim uang pada Ibu untuk keperluan rumah tangga disana. Meski hingga sekarang belum dapat aku ketahui secara pasti, aku yakin pasti ada alasan yang masih Abah sembunyikan dariku. Bahkan mungkin Ibu juga belum tahu apa sebenarnya alasan tersembunyi Abahku. Aku harap saat kepulanganku nanti aku bisa mengetahui itu.
Sudah banyak pesan singkat tentang rindu masuk ke ponselku. Kebanyakan dari mereka adalah teman semasa pondok dan kuliahku dulu. Mereka benar-benar menanti kepulanganku. Maklum,kebanyakan orang-orang kampung, termasuk mereka, akan bangga ketika mempunyai teman yang bisa berkuliah hingga ke benua tetangga sepertiku. Sebenarnya aku pun sama, begitu senang dan bangga terhadap pencapaianku sendiri. Jadi aku tidak begitu heran jika teman-temanku ingin menyambut kepulanganku. Tetapi tetap saja, sambutan dari teman-temanku rasanya tidak berarti sama sekali. Semua itu tidak cukup mampu meneduhkan hatiku dari bayangan permasalahan dengan Abah. Aku selalu terbayang akan seperti apa jadinya saat aku pulang. Aku takut kepulanganku akan kembali menyulut pertengkaran diantara aku, Ibu dan Abah.
Sebenarnya hati kecilku begitu ingin melihat pesan dari Abah tentang kerinduannya kepadaku. Atau setidaknya menunggu kepulanganku. Namun jangankan ditunggu, kepulanganku kali ini bahkan mungkin tidak sedikit pun diinginkan oleh Abah. Aku takut terlalu durhaka, tapi apa boleh buat, aku sudah terlanjur memilih jalan selain yang diinginkan Abah.
Jika dibilang aku terlalu membangkang Abah, sebenarnya tidak juga. Sebelum ini, aku sudah seringkali mengalah untuk menuruti kemauan Abah. Kemauan agar aku tidak sekolah di SMP dan SMA melainkan mondokdi pesantren milikKiai Marzuki. Jadilah aku masuk pondok. Enam tahun aku berjibaku dengan keilmuan pondok yang bahkan tidak sedikitpun menarik minatku. Namun tidak ada pilihan lain, aku sudah terlanjur mengiyakan keinginan Abah. Sedikit demi sedikit aku coba agar bisa terbiasa mempelajari ilmu agama islam lebih dalam. Ternyata lumayan berhasil, aku belajar dengan cepat di pondok itu. Beberapa kitab sudah kulahap habis dalam waktu yang terbilang singkat. Tiga juz Al-Qur’an pun sukses untuk aku hafalakan. Aku menjadi pengurus pondok lebih cepat dari santri lain karena itu.
Menimba ilmu di pondok pesantren ternyata tidak terlalu buruk. Aku masih bisa menekuni hobi menggambar. Bahkan ada komunitas khusus untuk para santri mengembangkan bakat dalam menggambar. Di komunitas itu juga aku dipertemukan dengan Gus Arkom, putra Kiai Marzuki. Gus Arkom berteman dekat denganku sejak saat itu.
Gus Arkom memiliki minat yang serius dalam menggambar. Terutama menggambar desain-desain baju. Ia mengatakan padaku mengenai cita-citanya menjadi seorang desainer. “Kalau bisa berprofesi sesuai hobi, pasti hidup bakalan seneng Na. Bayangin, kita ngegambar tapi dapet duit juga.” Aku jadi termotivasi karena itu. Aku mencoba menentukan cita-cita apa yang sesuai dengan hobiku. Lalu aku tahu, menjadi pembuat desain arsitektur adalah hal yang paling menggugah minatku.Lalu menanamkan prinsip untuk mengejar mimpi itu. Aku terus mempelajari mengenai desain arsitektur dari internet. Tekad yang kuat telah muncul dalam diriku. Aku bermimpi menjadi seorang arsitek.
Gus Arkom nampak senang karena berhasil memotivasiku. Ia juga kagum terhadap perkembangan gambar-gambar desain arsitektur yang kubuat. Karena bakatku itu pula, setelah aku akhirnya lulus dari pondok, Gus Arkom mengajakku untuk kuliah, “Buat apa kamu pinter gambar gitu kalau ndak dilanjutin Na? eman-eman bakatmu iku,” katanya penuh ajakan kala itu.
Kalimat itu benar-benar membuatku hanyut. Disamping keinginanku yang begitu besar untuk terus mempelajari dunia arsitektur. Segera kuminta izin dari Abah untuk kuliah. Namun reaksi Abah diluar dugaanku. Penolakan adalah kalimat mutlak Abah yang langsung menghantamku. Abah begitu kukuh, “kamu sudah mondok di tempatnya Marzuki, prestasimu di pondok itu juga bagus, kenapa ndak lanjut mengajar di pondok Abah saja to, kenapa kamu malah mau kuliah ngger?”Untung, waktu itu Ibu ada di pihakku.
Aku lalu bersepakat dengan Ibu untuk mencoba terus membujuk Abah. Aku berharap Abah memberi restu untuk kuliah. Abah sedikit luluh, Ia akan mengijinkanku hanya jika aku kuliah di Pekalongan. Tidak ada pilihan lain bagiku. Padahal aku berharap bisa kuliah di universitas negeri terbaik. Atau setidaknya, universitas dengan akreditasi jurusan Teknik Arsitektur yang bagus. Namun apa boleh buat, mendapat ijin untuk kuliah dari Abah saja sudah bagus untukku. Terlebih di Pekalongan juga ada universitas yang memiliki jurusan Teknik Arsitektur.
Jadilah aku masuk ke Universitas Islam Pekalongan, sedangkan Gus Arkom mengikuti kemauannya untuk kuliah di Universitas Utama, Jakarta. Dalam waktu lebih kurang tiga setengah tahun saja kami dapat menyelesaikan kuliah kami masing-masing. Baik aku maupun Gus Arkom sama-sama berhasil lulus sebagai mahasiswa terbaik dengan IPK tertinggi. Namaku dan Gus Arkom diliput media dan terpampang dalam surat kabar dengan tajuk “Lulusan Terbaik Jawa Tengah”. Aku tersenyum bangga melihat namaku bersanding dengan nama-nama dari kampus ternama lain. Ibuku jauh lebih bangga lagi. Sampai-sampai dosen pembimbing skripsiku datang ke rumah hanya untuk mengucapkan selamat. Namun lagi-lagi jalan pikiran dan prinsip Abah begitu melawan arus. Aku tidak habis pikir, tidak ada satu kata selamat pun terucap dari bibir Abah. Ia malah menyuruhku segera mempersiapkan diri karena harus mengajar di pondok. “Baguslah kalau kamu lulus cepet ngger. Sekarang tinggal kamu perdalam lagi hafalan-hafalan pondokmu dulu. Seminggu lagi kamu harus sudah ngajar di pondok,” ucapnya ketus, sama sekali bukan ucapan selamat pula.
Kurang dari dua hari sebelum aku mulai untuk mengajar di pondok, kesempatan sekaligus kedurhakaan pertama dan terbesar mendatangi rumahku. Pihak kampus menghubungiku, membawa kabar tentang beasiswa S2 dari Universitas Waikato, Selandia Baru. Mendengar itu, aku tidak perlu berpikir panjang. Kesempatan itu aku ambil tanpa sepengetahuan Abah maupun Ibu lebih dahulu. “Bilang ke Abahnya nanti saja setelah lolos tes, kalau tidak lolos ya Alhamdulillah, ndak perlu repot-repot bilang sama Abah,” pikirku.
Setelah test kulewati dan pengumuman keluar, ternyata aku berhasil lolos. Senang sekaligus bingung aku kenyam bersamaan saat itu. Aku senang karena akan menerima beasiswa. Juga bingung memikirkan bagaimana cara meminta ijin pada Abah. Aku yakin betul Abah tidak akan mengijinkanku.Meski begitu, aku merasa harus optimis dan berusaha mencoba memintanya.
Lebih dulu mendapat dukungan dari Ibu, aku beranikan diri untuk mengajak Abah bicara. Tentu Ibu juga sudah siap dengan segudang argumen untuk mendukungku. Aku dapati Abah sedang bersantai di ruang tamu waktu itu. Segera saja aku duduk disebelahnya dan mulai berbicara sehalus-halusnya.
“Bah, kulo nyuwun ijin kangge sekolah malih, saya dapat kesempatan beasiswa di luar negeri”
“Kuliah di luar negeri? Mau kuliah di mana lagi kamu hah?” Abah menjawab ketus.
Tenagaku melemas, aku tahu Abah tidak senang pada rencana kuliah itu. Aku mencoba menenangkan diri. Pikiran negatif kusingkirkan sejauh mungkin. Aku harap masih ada peluang izin. Lebih kuperhalus nada bicaraku kali ini.
“Selandia Baru Bah, Australia.”
Meja kayu ruang tamu segera dihantam telapak tangan Abah. Aku kaget bukan main, tidak kusangka Abah akan semurka itu. Ia membentakku “Bocah dibilangi kok ndak manut-manut! Abah sudah bilang ngajar di pondok saja ndak usah kuliah, sekarang malah mau kuliah lagi, ke Australia pula, Abah ndak setuju!” Aku hanya berdiam tidak mampu sedikitpun menjawab. Ibu yang sejak tadi diam akhirnya ikut masuk ke dalam persteruan ini. Ibu tetap dipihakku namun kali ini Abah gagal untuk diluluhkan. Malah pertengkaran antara Ibu dan Abah yang tidak terelakan. Aku hanya bisa menunduk. Seperti ada bara api dalam hatiku yang lebih panas dari matahari. Aku geram dengan kekangan Abah selama ini. Aku tidak bisa menunggu persetujuan Abah lagi. Aku putuskan izin Abah tidak penting kali ini.
Nekat, aku berangkat sendiri. Hanya diantar oleh Gus Arkom, yang membawa pesan hati-hati dari Ibu. Hari itu menjadi hari paling nekat pertamaku, berangkat merantau mencari ilmu tanpa restu. Hari yang terus membayangiku selama sekitar satu tahun aku menetapi Selandia Baru.
Secangkir kopi yang kugenggam sudah beranjak dingin, namun hatiku tetap tidak kunjung mendingin. Aku sentuh kaca bening yang kini sudah penuh dihinggapi salju. Begitu dingin ketika jemariku menyentuh kaca yang hampir membeku. Aku terpikir, apakah hatiku juga sebeku itu kala dulu membangkang dari larangan Abah. Aku menghela nafas gundah. Aku masih belum bisa tenang sampai nanti menemui Abah. Aku pandangi awan sore yang kini merekah merah. Awan teduh masih terus menerus lesu menurunkan salju. Begitu teduh salju itu, namun hatiku malah enggan untuk seteduh salju ini.
Tags:
Cerpen