Oleh Azis Nugroho (PMII Rayon Bahasa dan Seni, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Minggu – 08:00 WIB
Akulah gelandangan!
Hidup dan matiku akan habis di jalanan.
Itulah yang sempat ia katakan
Iya, gelandangan itu!
Aku pun tak menyangka
Mungkinkah ia dewa?
Dewa dari mana?
Sontoloyo!
Ia hanya gelandangan biasa
Tak lebih dari manusia gagal!
Tak diakui!
Keluarga? Dunia?
Mana mungkin?
Semua menolak atas namanya!
Akulah gelandangan!
Hidup dan matiku akan habis di jalanan
Berduit atau tidak, sudah bukan
urusanku
Akulah gelandangan!
Harga diriku telah lama hilang.
Itulah yang sempat ia katakan
Iya, gelandangan itu!
Ah, aku khawatir
Mungkinkah ia penggugat?
“Bila nanti kumendengar kabar negeri
ini terjajah rakyatnya sendiri. Kukutuk mereka yang tanpa dosa menghancurkan
negeri ini! Dengan dalih apapun itu: Aku tak peduli! Biarpun gelandangan:
Kalian tak benar-benar tahu siapa aku! Ha ha ha”
Ketika itu, ia ditembak dan ditusuk tiba-tiba
Merintih! Ia lunglai tak berdaya
Tak berucap, tak mengucap
Pistol dan sangkur baja datang bertubi-tubi
Lubang-lubang baru bermunculan: penuh darah dan nestapa
Semua saksi terdiam
Ah, apanya yang membantu: Tidak!
Terdengar suara dari balik kerumunan
“Jangan! Jangan bunuh gelandangan itu! Biarkan ia hidup.
Biarkan!”
Bukankah ini perintahmu, Tuan?
Dasar, goblok!
Sejak kapan aku bilang seperti itu?
Kau tahu, siapa dia?
Dia adalah kalian: Manusia biasa!
Duar… Duar… Duar…!
Tembakan terakhir mengakhiri hidupnya
Mati!
Tags:
Puisi