Oleh Veron Maricho (Kabiro Sosmas PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Minggu – 13:15 WIB
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan dasar bagi
manusia. Oleh karena itu, negara
menjadikan pendidikan
sebagai alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesuai dengan pembukaan
UUD 1945. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 yang
berbunyi "Setiap Warga Negara berhak mendapatkan Pendidikan". Oleh
karenanya negara melalui pemerintah wajib untuk menyelenggarakan pendidikan
nasional dasar bagi warganya serta membiayainya (Pasal 31 Ayat 2).
Setelah disahkanya UU Omnibus Law Cipta Kerja pada
5 Oktober 2020. Telah membawa polemik pro dan kontra ke tengah publik. UU
tersebut telah memuat banyak hal didalamnya, pendidikan merupakan salah satu
hal yang dibahas didalamnya. Dikatakan bahwa dalam UU Cipta Kerja paragraf 12
tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 65 ayat 1 yang berbunyi “Pelaksanaan
perizinan pada sektor pendidikan dapat dilaksanakan melalui Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini”.
Selanjutnya, pada bab 1 ketentuan umum dalam pasal
1 no.4 dijelaskan lebih lanjut mengenai bunyi pasal diatas. Bahwa yang dimaksud
dengan Perizinan Berusaha adalah "Legalitas yang diberikan
kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya". Lebih lanjutnya informasi mengenai yang dimaksud orang
perseorangan maupun badan usaha dan badan usaha yang berbentuk badan hukum atau
tidak telah diatur masing-masing pada pasal 1 no. 7 dan no. 9 dalam bab 1
ketentuan umum. Dengan demikian itu berarti bahwa pasal 65 ayat 1 tersebut
membuka peluang bagi berdirinya lembaga pendidikan (sekolah maupun non-sekolah,
baca) yang berorientasi mencari profit atau laba. Karena dalam perizinanya
menggunakan perizinan mendirikan perusahaan. Pada kasus ini jelas sekali bahwa
tujuan adanya undang-undang ini adalah untuk menarik investor dan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Apakah dengan UU cipta kerja di sektor pendidikan dapat mengatasi permasalahan yang ada di dunia pendidikan saat ini? Misalnya
dalam konteks ini bahwa ketidak mampuan negara untuk memenuhi kuota kebutuhan
pada sektor pendidikan (sekolahan, lembaga pendidikan) bagi warga negaranya?
Karena kita tahu bahwa anggaran pemerintah
untuk pendidikan di Indonesia masih minim.
Namun, dengan demikian kedepannya justru malahan membuat
masalah sosial baru bagi masyarakat. Masalah yang timbul adalah membuat
(sekolah-sekolah/lembaga pendidikan-baca) menjadi mahal. Menjadi mahal lantaran
memang mendirikannya adalah menggunakan izin berusaha. Dalam konteks ini jelas
orientasi yang dituju adalah mencari laba atau keuntungan. "Masalah ini
akan membuat kalangan masyarakat kelas menengah kebawah sulit untuk mengakses
pendidikan dengan harga murah dengan
kualitas yang baik" 13 Oktober 2020, Ujar Edi Subkhan.
Mungkin logika yang muncul adalah,
dimana semakin banyaknya lembaga pendidikan yang ada di masyarakat, akan
memudahkan masyarakat dalam mengakses pendidikan. Akan tetapi karena minimnya keikut
sertaan pemerintah dalam membiayai lembaga pendidikan (lembaga pendidikan non negeri
/ swasta), maka yang terjadi adalah lembaga pendidikan swasta akan menarik iuran
tinggi ke siswa untuk melengkapi fasilitas sekolahan agar lebih baik. Maka yang
bisa mengakses pendidikan dengan kualitas baik (negeri / swasta) hanyalah
orang-orang dengan ekonomi menengah keatas, dan orang-orang dengan ekonomi
menegah kebawah yang tidak ketrima di sekolah negeri hanya bisa menikmati
sekolah-sekolah swasta pinggiran yang minim akan kualitas pendidikan yang baik.
Jika memang untuk memenuhi kebutuhan nasional
untuk menciptakan lapangan pendidikan yang mampu menyerap banyak kuota.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah bisa diterima. Namun, negara malalui
pemerintah jangan melupakan tujuan dari UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa. Kalau setiap individu atau badan usaha bisa mendirikan suatu lembaga
pendidikan dengan mudah, melalui UU Ombnibus Law Cipta Kerja. Juga harus
diperhatikan lebih jauh mengenai masalah yang timbul. Seperti mahalnya harga
pendidikan yang akan terjadi kedepanya. Belum lagi masalah akses wilayah privat
dan sekat sosial semakin jauh di masyarakat.