Menyoal Tragedi 65: Kisah Eksil dan Genosida Intelektual

Oleh Abdul Manan (Staff Biro Lingkar Studi Proporsi Rayon Pancasila) pada Minggu - 21.02 WIB.


“Jangan dekat-dekat dengan orang Indonesia yang tidak boleh pulang. Mereka PKI,” tukas Soe Tjen Marching ketika menirukan percakapan seorang mahasiswa yang pernah bertemu eksil di jerman.

Cerita para eksil ini disampaikan oleh Dr. Soe Tjen Marching dalam diskusi bertajuk Genosida Intelektual ’65: Terhapusnya Satu Generasi Intelektual Kiri Indonesia bersama PMII Rayon Pancasila, Komisariat Al-Ghozali, Universitas Negeri Semarang, Sabtu (3/7). Terdapat tiga ratus lebih pendaftar dari dalam maupaun luar negeri, seperti Jerman, Prancis, Maroko, Korea Selatan, dan Timor Leste. Diskusi ini dimoderatori langsung oleh Danang Puji Atmojo, Ketua Rayon Pancasila (2020-2021).

Banyak hal yang dapat dibahas mengenai peristiwa ‘65. Namun, di sini Soe Tjen Marching berfokus untuk membahas mengenai eksil-eksil Indonesia di berbagai negara dan sedikit menyinggung mengenai penelitian Abdul Wahid, dosen sejarah Universitas Gadjah Mada mengenai genosida intelektual di Indonesia di berbagai kampus, UGM salah satunya.

Eksil adalah orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesiakarena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat.

Mereka yang Bercerita

“Asep kaget ketika bertemu degan eksil yang juga dicap sebagai PKI oleh kedutaan RI. Sebab mereka yang katanya PKI dan harus ditakuti itu kok malah terlihat ramah dan sedih. Asep berkata bahwa beberapa eksil itu sangat suka berjumpa dan mengobrol dengan mahasiswa Indonesia. Pertama kali Asep bertemu degan beberapa eksil di kantin universitas. Saat Asep bercerita tentang Indonesia, bagaimana Asep menangkap belut di sawah, ada yang menangis. Rupanya kerinduan yang tertahan dari para eksil pada Indonesia,” lanjut Soe Tjen Marching ketika bercerita mengenai Asep Abro Ruhyat, seorang mahasiswa yang kerap menjumpai para eksil di Jerman.

Pada tahun 1989, Asep melanjutkan studi di Jerman. Kedutaan di sana tidak secara langsung melarang Asep untuk berjumpa dan bergaul dengan para eksil, tetapi melalui pegawainya yang mengusulkan untuk menjauhi orang-orang Indonesia yang tidak diperbolehkan untuk pulang. “Mereka itu PKI,” katanya.

Beberapa eksil yang diceritakan oleh Soe Tjen Marching adalah hasil dari wawancaranya. Ada beberapa eksil yang ditemui. Mereka mempunyai bidang disiplin ilmu yang berbeda-beda. Sebagian besar dari mereka adalah eksil yang telah pindah dari Soviet ke Jerman karena jikalau mereka menetap di Soviet, mereka tidak mendapatkan kebebasan. Termasuk partai komunis di Soviet yang terus memata-matainya.

Mereka diantaranya adalah Arif Harsana. Ia mengambil tesis pembuatan mesin motor untuk truk berbahan bakar gas alam, campuran metana dan butana. Hal ini akan berguna bagi Indonesia karena cadangan gas alam yang melimpah di pulau luar Jawa. Motor dengan bahan bakar gas alam lebih bersih dan sedikit polutan daripada menggunakan bahan bakar bensin.

Ahli teknik yang lain yaitu Waruno Mahdi, lahir di Bogor, 25 Mei 1943,  mengambil jurusan kimia organik di Moskow tahun 1960. Waruno bekerja dalam bidang ilmu teknik di institut penelitian fisika-kimia (Fritz Haber Institut di Max Planck). Waruno juga ahli bahasa jebolan universitas di Hamburg dan banyak menulis makalah tentang bahasa Indonesia dan Melayu.

Mereka adalah eksil yang masih berada di negara tempat studinya maisng-masing. Pencabutan paspor oleh negara menjadikannya tidak bisa kembali ke Indonesia. Hal itu terjadi karena penolakan mereka terhadap penandatangan kesetiaan kepada pemerintah Soeharto setelah lengsernya Soekarno. Mereka mengutuk pembunuhan enam jenderal dan satu perwira. Namun, mereka juga mengutuk pembantaian manusia di dalamnya. Paspor mereka dcabut. Kebanyakan dari mereka akhirnya berpindah ke negara-negara Eropa Barat.

Stigma dan stempel PKI masih kental disematkan pada kurun waktu pemerintahan Soeharto. Salah satunya adalah Willy Wirantaprawira yang mengambil studi hukum internasional di Universitas Negara Kiev. Pada tahun 1968, Willy sempat pulang ke Indonesia setelah melalui proses screening oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia. Willy sempat meminta perpanjangan paspor. Namun, tidak bisa. Ia justru dinterogasi di Tasikmalaya. Kemudian, Willy tidak memperpanjang paspornya. Namun, mengajukan paspor yang baru dan erangkat ke Moskow untuk melanjutkan studinya. Tetapi, pada tahun 1970 ada surat pencabutan paspor dari Dubes. Willy terus berusaha untuk pulang. Namun, apa mau dikata, hal itu tidak terwujud. Sehingga, Willy pindah ke Jerman dan bekerja di institut Max Planck. Berlama-lama di Soviet akan mempersulit dirinya.

 


 Tentang Genosida Intelektual

PeristIwa ’65 dan hari-hari selanjurnya menjadi peristiwa yang masih perlu dijelaskan sedetai-detailnya. Banyak literatur yang telah menulis tentang apa-apa yang terjadi pada kurun waktu 1965 dan 1966. Di dalamnya bukan hanya sebatas peristiwa bunuh-bunuhan semata. Namun, ada cerita lain yang sangat berdampak bagi generasi selanjutnya dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Kesempatan untuk mencecap ilmu pengetahuan yang seharusnya dapat membantu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia menjadi sempit.

Informasi perlu dibuka. Ceritakan sejarah sebagaimana mustinya. Genosida intelektual bukan hanya sekadar peristiwa pembantaian massal manusia Indonesia yang tergabung dengan PKI dan simpatisannya tanpa melalui proses peradilan. Pembodohan generasi selanjutnya atas peristiwa sejarah dan bagaimana elit politik memberikan pendidikan politik hari ini yang cenderung menghamba pada penguasa masih subur bahkan sampai hari ini.

Para eksil yang bertutur bahwa mereka tak bisa pulang, tentang kekhawatiran, tangis, sedu sedan, dan duka menjadi preseden penting bagi bangsa Indonesia, bahwa: pembunuhan dan penghilangan tidak dapat dibenarkan atas dasar perbedaan ideologi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama