Posisi dan Tantangan NU dalam Hegemoni Korporasi Negara Kelas Dalam
Misi Menuju Kedaulatan Nasional
oleh Eko Santoso
Sudahkah Pemilu Kita Luber Jurdil?
Pemilu langsung dan serentak pada 15 Februari 2017
–begitu pula yang lainnya, yang selalu dianggap sebagai pilar utama dalam mewujudkan
supremasi rakyat, seolah hanya sebuah imajiner belaka bila kita melihat
realitas yang ada. Ajang yang seharusnya
menjadi wadah dalam mencari sosok pemimpin yang amanah, adil, merakyat,
bertanggung jawab dan diharapkan –seharusnya memiliki sifat malaikat,
benar-benar hanya sebuah ilusi.
Sampai saat ini sosok bak malaikat semacam itu
masih belum kita jumpai melalui prosesi prosedural yang paling selektif
sekalipun, bernama “Pemilu Langsung”. Rakyat yang semestinya memiliki kebebasan
memilih, sebagai konsekuensi dari pemaknaan demokrasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru diombang-ambing dan menjadi
bagian dari alat politik yang diperebutkan oleh para pasangan calon, yang
secara implisit dapat kita maknai sebagai pihak yang mewakili kepentingan
politis-ekonomis: baik sebagai borjuis nasional maupun antek kapitalis global.
Ancaman
disintegrasi bangsa melalui isu sara, kampanye berbentuk perilaku immoral dan money politik, dianggap hal yang halal dan memang biasa serta sengaja
dibangun demi menjadi tumbal agar rakyat tergiring untuk memilih pasangan calon
yang berkepentingan—dan soal hati nurani, jujur, adil, bersih, yang selalu
menjadi moral value dan bukti
demokratisasi dalam pemilu nampaknya patut dipertanyakan ada-tidaknya.
Rakyat seolah diinterpretasikan sebagai modal
sosial dan bahkan modal finansial yang nantinya akan menentukan nasib paslon
dalam meraih tampuk kekuasaan dan pada akhirnya meraih akses finansial guna
membayar ganti rugi atas modal finansial yang dikeluarkan kala kampanye.
Maka tidak heran bila kapabilitas yang
semestinya menjadi acuan dalam memilih paslon disingkirkan dan berubah menjadi
kata elektabilitas-lah yang menjadi acuan bagi memilih seorang calon—yang dengan
demikian, memilih pasangan calon dalam pesta demokrasi bernama “pemilu” tidak
didasarkan pada kemampuan melainkan pada tingkat favoritas yang dilabelkan. Di sinilah
kemudian peran modal finansial, propaganda media, dan popularitas yang pada
akhirnya menjadi alat krusial bagi mereka untuk bisa ikut berpartisipasi dalam
pemilu dan menjadi pemenangnya.
Semacam inilah gambaran pemilu kita saat ini.
Demokrasi bukan lagi atas nama rakyat, melainkan milik mereka yang bermodal.
Rakyat kehilangan kedaulatannya secara politis. Sejauh ini sebenarnya kita bisa
dibilang belum benar-benar melakukan proses pemilu yang demokratis dalam
pelaksanaan dan perwujudannya —sekalipun sistemnya demikian.
Bila kita tarik ke belakang sejak pemilu
pertama kali diselenggarakan, yakni 1955, kemudian berlanjut pada era orde
baru, masa reformasi dan hingga sekarang ini, boleh dikatakan pemilu tahun 1955
adalah pemilu paling demokratis dan bersih. Namun semenjak pemilu berlangsung
pada masa orba, dimana proses pemilu dilakukan secara monopoli-manipulatif,
maka mulai saat itu pula negeri ini kehilangan kedaulatannya secara politis dan
menjadi negara pengutang.
Tak ayal bila kemudian kekayaan alam kita
mulai diperjual-belikan kepada asing. Rakyat
terpaksa gigit jari menahan derita
atas tindakan refresif dan eksploitasi semena-mena oleh pihak penguasa-pemodal,
baik dalam segi regulasi hingga dalam masalah agraria (ekspansi spasial) dan masalah finansial (ekspansi finance).
Kompensasi yang coba ditawarkan pemerintah
melalui berbagai program-program pembangunannya, bukannya menambah kualitas dan
tingkat kesejahteraan rakyat, melainkan membuat rakyat justru menanggung beban
besar di kemudian hari —sebagaimana yang kita rasakan hari ini. Kita dipaksa
membuka kran investasi asing, hingga kemudian melahirkan freeport yang
mengrogoti kekayaan negeri ini sampai saat ini.
Saham bank-bank dijual kepada asing hingga
dalam dunia perbankan, Indonesia menjadi negara paling liberal, karena sejak
tahun 1999 pemerintah mengeluarkan perizinan kepemilikan saham perbankan
dikuasai asing mencapai 99%.[i] Belum lagi menjamurnya
perusahaan ritel semacam mini market maupun supermarket yang menggusur
keberadaan pasar tradisional. Padahal pasar tradisionallah yang selama ini
menjadi tulang pungung perekonomian rakyat.
Hingga saat ini hutang kita bahkan mencapai
kurang lebih Rp 3.500 triliun. Negeri kita yang subur harus impor kebutuhan
pokok seperti beras, kedelai, dan lain-lain. Pemerintah terus mencari investor
asing, dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya, menunjukan bahwa kita adalah
bangsa pengutang, pengimpor, dan bangsa yang siap diperjualbelikan kapanpun
oleh para penguasa. Kita tak lagi menjadi bangsa yang berdaulat secara politis
bahkan kita tak lagi mandiri secara ekonomi.
Lantas mengapa ini bisa terjadi?
Masihkah ada harapan untuk menuju kedaulatan
dan kemandirian nasional?
Secara
substansial praktek-praktek menindas semacam ini harus terus digugat dan terus
dipertanyakan, mengingat misi kemerdekaan bangsa ini bukanlah untuk membangun
“jembatan emas” guna memfasilitasi lalu lintas kepentingan asing agar bisa
kembali menjajah negeri ini secara leluasa dan secara “konstitusional”.
Seperti yang sering diungkapkan para pendiri
bangsa bahwa, semestinya kemerdekaan menjadi “jembatan emas” bagi terwujudnya
kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini sebagai tuan rumah yang berdaulat di
negerinya sendiri.
Dependent development (Pembangunan Berketergantungan)
Bukankah negeri tercinta ini tiap
tahun terus melakukan pembangunan?
Bukankah petumbuhan ekonomi kita katanya
stabil dan mencapai 5% setiap tahunnya?
Lantas mengapa hutang luar negeri
kita justru terus meningkat?
Mengapa pula negara justru tak lagi
mampu memberikan subsidi BBM?
Mengapa kita terus membutuhkan
investasi asing dan hutang asing pula?
Selain
mengimpor peralatan elektronik dan kendaraan bermotor, serta mesin-mesin kita
justru turut pula banyak mengimpor
bahan-bahan kebutuhan pokok yang di sisi lain mampu kita produksi sendiri.
Mengapa ini semua terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan dan sekaligus
fakta-fakta di atas adalah indikasi nyata bahwa negeri ini benar-benar
terperangkap dalam meminjam istilah Peter B. Evans, pembangunan
berketergantungan (dependent
developmentalisme). Dependent developmentalisme sendiri pada
dasarnya adalah suatu jebakan yang menyertai teori develompentalisme (paradigma pembanguan). Bermula dari sebuah teori
pembangunan, ia kemudian berkembang menjadi sebuah ideologi. Dimulai dari
negara-negara maju, khususnya AS, teori ini berkembang dari doktrin yang
dilancarkan Presiden AS, Harry S. Truman, pada 1949 untuk membasmi Komunisme,
yang kemudian menjadi landasan politik luar negeri AS. Program itu mencakup
kerjasama internasional melalui PBB, pemulihan ekonomi akibat kerusakan Eropa
karena perang dunia II, pertahanan negara-negara dunia bebas dari ancaman
agresi yang bermuara pada pembentukan pakta pertahan militer, dan memanfaatkan
iptek bagi kemajuan bangsa-bangsa.
Sementara di negara dunia ketiga,
yang baru saja mendapatkan kedaulatan dan nasionalisme secara politis lewat
jalan kemerdekaan, lahirlah nasionalisme ekonomi. Nasionalisme ekonomi ini
mengambil beberapa bentuk, namun yang paling utama adalah industrialisasi.
Dimulai dari negara-negara di Amerika Selatan, lahir gagasan industrialisasi
barang-barang substitusi impor yang bertujuan menggantikan barang-barang impor
dengan produksi domestik sehingga perekonomian terlepas dari ketergantungan
pada luar negeri. Program ini sebenarnya merugikan negar-negara maju yang
mengekspor barang-barang konsumsi ke negara-negara bekas jajahan.
Haluan nasionalisme ini kemudian
diterima oleh para negara-negara maju, karena mereka bisa menyiasatinya. Pertama,
mengganti ekspor barang-barang konsumsi dengan barang-barang modal yang
dibutuhkan untuk industrialisasi yang harganya justru jauh lebih tinggi. Kedua, menanam modal untuk memacu
industrialisasi di negara-negara dunia ketiga. Selain itu negara-negara maju
juga bisa mengekspor modal untuk pembangunan dunia ketiga. [ii]
Dalam persetujuannya dengan strategi
pembangunan dunia ketiga, teori pembangunan nasional mendapat restu dari
korporasi kapitalis atau negara-negara maju dan dengan sepenuhnya mendukung
elit politik di negara-negara dunia ketiga untuk naik ke tampuk kekuasaan. Ini
kemudian memberi kesempatan pada negara dunia ketiga, melalui elit politiknya
memanfaatkan sumber daya internasional, terutama modal finansial, melalui utang
luar negeri dan penanaman modal asing. Dengan model semacam ini maka elit
politik di negara-negara dunia ketiga akan dapat melakukan pembangunan, dan
suatu keberhasilan membangun infrastruktur melalui dana asing akan menjadi alat
legitimasi bagi mereka. Hal ini tentu saja merupakan insentif bagi elit politik
di negara-negara dunia ketiga untuk turut mengikuti haluan developmentalisme. Padahal bila dicermati pada dasarnya pembangunan
infrastruktur justru secara tidak langsung turut menyediakan akses bagi
kepentingan industri-industri asing, terutama untuk lalu lintas tranportasi
angkut barangnya dan bukan murni untuk kepentingan massal di negara-negara
dunia ketiga, tak terkecuali di Indonesia pula.
Atas dasar penjabaran di atas, developmentalisme dapat kita maknai
sebagai bentuk simbiosis ekonomi politik antara dua kepentingan. Ini adalah
buah dari negosiasi antara negara-negara industri maju dan elit politik
negara-negara berkembang, bersumber dari kepentingan elit yang ingin berkuasa
dan memanfaatkan sumber daya ekonomi internasional yang dikuasai negara-negara
industri maju.
Pemilihan developmentalisme
sebagai paradigma pembangunan oleh Indonesia, dengan digawangi elit orde baru
hingga sekarang, memang benar akhirnya
menimbulkan konsekuensi dan berakibat fatal bagi rakyat dan bangsa.
Pertama,
industrialisasi yang kita jalankan merupakan industrialisasi barang-barang
substitusi impor. Mereka memproduksi barang-barang sekunder yang berpusat pada
kebutuhan masyarakat kelas menengah ke atas. Namun dengan iklan dan promosi
pada akhirnya turut pula mendoktrin masyarakat kelas bawah untuk turut
mengkonsumsinya, sehingga meskipun daya beli masyarakat dapat dinilai tinggi
dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, namun justru disisi lain kesejahteraan
masyarakat semakin turun karena kesulitan untuk mendapatkan maupun membeli
barang-barang yang semestinya menjadi kebutuhan primer.
Kedua, mengundang modal asing untuk melakukan industrialisasi yang secara
langsung ataupun tidak langsung berarti peminggiran ekonomi rakyat. Rakyat
pedesaan misalnya, yang memiliki potensi menggarap tanah justru beralih profesi
menjadi karyawan pabrik, itu pun bukan di kotanya sendiri. Mereka
berbondong-bondong pergi merantau dan membeiarkan tanah terbengkalai. Inilah
stigma yang salah, dimana rakyat memandang bahwa kerja sebagai karyawan adalah
kerja yang sebenarnya, sedangkan menjadi petani misalnya, bukanlah dinamakan
bekerja karena tidak menghasilkan uang secara langsung. Hal ini merupakan
orientasi rakyat ke arah materialistis.
Ketiga, banyak investor asing yang masuk untuk mengeksploitasi sumber daya
alam. Para elit politik kita pun menerimanya dengan dalih untuk menghasilkan
devisa. Namun dampak lingkungan yang ditimbulkan hingga sekarang ini tak pernah
dipertangungjawabkan. Lagi-lagi rakyat yang mendapatkan apes-nya! Tak hanya
krisis lingkungan tetapi juga berakibat krisis pangan dan energi sebagaimana
kondisi saat ini.[iii]
Dengan demikian, maka Indonesia dan beberapa
negara-negara dunia ketiga telah terjebak dalam kapitalisme pascakolonial yang
mengusung agenda: kembali menguasai perekonomian negara-negara bekas jajahan
dan mempertahankan hegemoni negara-negara industri maju dalam perekonomian
dunia.
Indonesia sebagai negara bangsa sebagaimana
awal berdirinya, yakni bertujuan mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan
kemakmuran rakyat, nampaknya telah mengalami evolusi. Negara melalui elit
politik telah mengkonsolidasikan diri dengan
tendensi kelas “negara kapitalis”. Rakyat dididik dan
siapkan menjadi buruh dan aparatur pemerintah yang melayani negara-negara
kapitalis beserta korporasinya, melalui modal yang diinvestasikan.
Kita dibentuk menjadi mesin dalam dunia kerja
sebagai bagian penghasil profit bagi negara kelas ini, yang terkonstelasi
dengan korporasi “kapitalis”. Pemimpin negeri ini dan aparaturnya bahkan di
seting sedemikian rupa dengan kekuatan modal oleh para korporasi kapitalis,
sehingga dalam demokrasi kita benar-benar kehilangan kedaulatan secara politis
dan akhirnya hilang pula kedaulatan secara ekonomi. Besarnya mangsa pasar di
negeri ini justru menjadi ladang asing, dan potensi sumber daya alam yang
melimpah justru menjadi surga bagi asing pula yang berbentuk korporasi
kapitalis global.
Hegemoni Korporasi Kapital dalam Negara Kelas
Mengapa kemudian korporasi kapital
bisa sebegitu menghegemoninya di negara kita ini?
Mengapa pula investasi asing
bisa jor-joran masuk ke Indonesia?
Liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi
merupakan pintu masuk penting bagi keterlibatan asing, yang dalam hal ini
adalah korporasi kapital,ke dalam perekonomian di tanah air. Dengan
liberalisasi, aktor internasional mendapat legitimasi dan peluang besar untuk
hadir dan berinvestasi memanfaatkan peluang- peluang ekonomi yang tersedia.
Liberalisasi yang berarti pembukaan tanah baru dari yang semula tertutup bagi
asing, memberikan asing kesempatan berkompetisi dengan ekonomi rakyat yang
semula telah terbentuk. Namun karena aktor internasional ini memiliki kapasitas
industrial dan manajemen, teknologi, modal, dan akses pasar internasional yang
luas, jelas kompetisi akan dengan mudah dimenangkan.
Kebijakan liberalisasi yang tidak prudent (hati-hati) yang diadopsi
pemerintah atas paham developmentalisme-nya
justru membahayakan kepentingan nasional. Hal yang sama juga berlaku bagi
kebijakan deregulasi. Deregulasi yang tidak selektif dan imprudent menciptakan fleksibilitas ruang gerak bagi korporasi
asing dengan kapital yang besar untuk bermain memanfaatkan keuntungan yang ada.
Deregulasi juga memperlemah kontrol negara atas bisnis para korporasi global
ini, yang sampai tahap tertentu bisa menciptakan krisis. Krisis 1998 dan 2008
yang melanda Amerika dan sebagian negara lainnya memberikan bukti pelajaran
penting kepada kita bahwa betapa berbahaya-nya deregulasi, karena pasar tidak
memiliki mekanisme kontrol atas kerakusan dan kelicikan manusia dalam
mengakumulasi keuntungan.
Terakhir privatisasi yang berarti beralihnya
kontrol atas pasar dan manajemen ke pihak korporasi kapitalis asing telah
memungkinkan asing untuk menikmati keuntungan dari pasar yang sudah mapan.
Dengan privatisasi, investor asing tidak perlu bersusah payah memulai bisnis
dari nol dan ini berarti penghematan bagi upaya bisnis mereka. Singkatnya semua
kebijakan ini (Trilogi Washington
Consensus) didesakkan untuk memperlemah peran negara dan memperkuat peran
aktor korporasi kapital asing di dalam negeri.[iv]
Selain terbawa arus globalisasi neoliberal
karena bergantung pada keuangan dan modal dari asing, terutama IMF, Indonesia
pada awal abad ke 21 juga telah mengalami demokratisasi politik sejak 1998.
Dalam proses itu, pada 2002 MPR telah menyelesaikan 4 kali amandemen pada UUD
1945. Hal ini menghasilkan perubahan dan penambahan pada beberapa pasal.
Perubahan yang menonjol adalah pembatasan masa jabatan presiden, pemilihan
presiden secara langsung setiap lima tahun sekali, penghapusan MPR sebagai lembaga
tinggi negara, dihapusnya GBHN, dan sejalan dengan itu maka presiden bukan lagi
mandataris MPR yang mengemban misi melaksanakan GBHN. Dengan tidak adanya GBHN,
menjadi sulit diketahui apa yang sebenarnya menjadi acuan pembangunan yang
dijalankan oleh pemerintah atau dalam hal ini pihak eksekutif yang memuat
presiden beserta aparaturnya.
Hal ini tentu dapat dipahami mengingat GBHN
disusun dengan turut melibatkan berbagai lembaga, organisasi, dan perorangan
dalam masyarakat warga (civil society)
ramai-ramai berpartisipasi dalam proses penyusunan yang kemudian didiskusikan
di MPR. Ini adalah suatu bentuk demokrasi ekonomi politik dimana masyarakat
ramai-ramai berpartisipasi.[v]
Sekalipun UUD hasil amandemen terakhir 2002
masih tetap memuat pasal-pasal ekonomi, namun pasal-pasal itu cendrung tidak
diikuti atau dijadikan acuan dalam paradigma pembangunan maupun kebijakan
ekonomi. Sebabnya, setiap pergantian presiden akan diikuti pula pergantian
kebijkan pembangunan. Jika sebelum amandemen GBHN mencerminkan paradigma dan
acuan pembangunan yang diikuti, maka sekarang yang menjadi acuan adalah platform politik presiden terpilih yang
mengusulkan program-programnya sendiri.
Dalam reformasi semacam ini, di satu pihak
pembangunan mengalami politisasi sebagaimana yang dimainkan tokoh-tokoh dan
partai-partai politik. Di lain pihak, politik dan kekuasaan mengalami
“pasarisasi” (marketization), dalam
arti akan dijual ke pasar bebas dan ditentukan oleh mekanisme permintaan dan
penawaran komoditas politik. Pada kondisi semacam ini maka, penguasaan dana dan
modal yang akan bermain kuat dan menentukan siapa dan partai mana yang akan
mendapat suara lebih banyak dari yang lainnya.
Dalam pemerintahan, lobi-lobi ekonomi akan
memainkan peran kuat yang mempengaruhi keputusan politik, sehingga politik di
Indonesia tidak mengikuti aturan demokrasi, melainkan plutokrasi, dimana politik dikuasai oleh pemilik modal
(kapitalis).
NU Meretas Asa
Sekarang pemikiran mengenai pembangunan, dari
manapun datangnya, harus dijual ke pasar-bebas politik. Gagasan itu diharapkan
akan dibeli oleh politisi dan partai politik, kemudian oleh pemerintah yang
berkuasa. Jika gagasan disosialisaikan lewat media masa, maka media massa pun
akan berorientasi pada pasar gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi
politik yang dominan. Hal ini menjadi tugas dan tanggungjawab cendekiawan
independen untuk mengemukakan gagasan terbaik bagi bangsa dan negara berdsarkan
nalar moral dan nalar publik yang bersumber dari hati nurani yang jujur.
Dunia pendidikan harus mampu
mengaktualisasikan ilmunya pada tataran aksiologis, sehingga benar-benar
memberikan kontribusi nyata bagi sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Mencoba
untuk mengubah paradigma pembangunan sesuai dengan jati diri bangsa, demi
mewujudkan kemandirian dan kedaulatan secara politis-ekonomis —guna
mengembalikan status menjadi negara-bangsa dan bukan negara kelas.
Begitu sukarnya melakukan perubahan dari
tataran kebijakan atas (top-down)
karena hegemoni korporasi yang tak terkendali. Mau tak mau semua elemen minoritas
masyarakat yang tersadarkan harus bahu-membahu membangun kesadaran secara
menyeluruh, sebagaimana masa pergerakan terdahulu sebelum kita sadar terjajah.
Sebagaimana saran Gramsci bahwa gerakan
revolusioner yang paling menjanjikan dan berhasil, sekalipun memerlukan waktu
yang lama, hendaknya dimulai dari tataran masyarakat bawah. Membangun
kemandirian ekonomi ditataran masyarakat-masyarakat bawah—terutama pedesaan,
mengingat 65% masyarakat Indonesia di wilayah desa, sembari memberikan
pemahaman politis agar mereka tidak menjadi korban-korban parpol dan politisi
yang mengejar kursi. Produksi pertanian harus kembali menjadi hal pokok yang
dibangun sebagai upaya menuju kemandirian nasional, disertai dengan gerakan
koperasi yang harus dibangun dan diupayakan menjadi soko guru perekonomian. Disisi
lain religiusitas di kalangan rakyat negeri ini—yang tercermin dari beragamnya
agama, terkhusus Islam sebagai mayoritasnya, harus ikut mengambil peran dalam
hal pembebasan umat dari ketertindasan dan kemiskinan—dan bukannya sebaliknya
yang sibuk mengurusi simbol-simbol keagamaan sebagaimana yang ditunjukan oleh
para kaum Fundamentalis agama (FPI, Golongan Islam Tarbiyah, Wahabi), LDII,
dll.), yang selalu buta dengan permasalahan-permasalahan di atas. Sementara di sisi
lain mereka sibuk menilai kaum lain dengan stigma “kafir” bagi golongan yang
tak sepaham dengannya.
Sungguh betapa dangkalnya aktualisasi
nilai-nilai keagamaan mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih
mereka yang berafiliasi pada kepentingan politis pragtis dan juga menjadi
eksponen dari para korporasi nasional hingga global.
Namun yang menjadi kendala dan menjadi
pertanyaan sekarang adalah siapa saja para intelektual, agamawan, aktivis, dan
negarawan yang siap untuk berkorban dalam menuju misi perubahan nasib rakyat
yang lebih baik? Yang mampu kembali menegakkan status negara-bangsa sekaligus
menegakkan tujuan awalnya—menciptakan keadilan, kesejahteraan, perdamaian bagi
seluruh rakyat negeri ini tanpa mengubah konstitusi dan dasar negara?
Gerakan Ormas-ormas semacam NU dan
Muhammadiyah, yang melakukan advokasi pendidikan, ekonomi, dan sosial sampai
pada tataran masyarakat paling bawah, terlebih dahulu harus kita apresiasi dan
menjadi pijakan serta contoh model gerakan dalam menggalang basis masa di
tataran bawah. Namun, perlu pula diingat dan menjadi masukan untuk ormas-ormas
tadi dan khususnya kita bersama bahwa gerakan-gerakan advokasi semacam itu
benar-benar harus demi tujuan yang lurus, yakni menuju perubahan demi
mewujudkan kedaulatan nasional agar tercipta masyarakat yang sejahtera dan
makmur, berkeadilan, dan terlepas dari tindakan penindasan serta
eksploitasi—serta sebisa mungkin mengubur dan membuang jauh-jauh upaya-upaya
bejat yang mengarah pada pemanfataan basis massa yang dibentuk pada kepentingan
politik praktis yang lagi-lagi pada ujungnya melanggengkan
percongkolan-percongkolan korporasi kapitalis dalam mengekang kebijakan ekonomis-politis
bangsa ini.
Nampaknya hal semacam inilah yang sekarang
dapat kita lakukan sementara, sembari menunggu kemunduran dan kebangrutan sitem
kapital dengan sendirinya, yang sekalipun kita tak tahu kapan waktunya tiba.
Sikap NU yang digawangi para generasi muda
serta ulama progresifnya pada 1984, yang menyatakan kembali ke Khittah 1926
guna kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan—terlepas dari partai politik
dan bukan partai politik[vi] adalah sebuah langkah
bijak yang sangat relevan pada masa kini dan sangat visioner pada waktu itu
dalam melihat dan menyikapi tantangan jaman kedepannya. Adanya berbagai Badan
Otonom dan lembaga di NU, mulai dari bidang pendidikan, kepemudaan, ekonomi,
perempuan, keluarga, pertanian, dll—dengan membangun basis masa dari lapisan
kelas masyarakat paling bawah hingga atas, harus terus di dukung dan digenjot
peranannya agar sampai pada tindakan progresif dalam hal menanggapi
permasalahan umat (kemiskinan, penindasan, dan eksploitasi), sehingga NU dapat
tampil sebagai bagian solutif dalam misi menuju perubahan nasib rakyat yang
lebih baik, dan kembali menegakkan status negara-bangsa sekaligus menegakkan
tujuan awalnya—menciptakan keadilan, kesejahteraan, perdamaian bagi seluruh
rakyat negeri ini. Pernyataan sikap GP Ansor beberapa waktu lalu yang siap
pasang badan dalam mengawal dan mendukung secara penuh upaya pemerintah untuk
mempersengketakan dan mengakuisisi PT Freeport harus terus ditunjukan dan
konsisten dijalankan sebagai upaya dan bentuk peran konkret keberadaan NU dalam
misi kembali merengkuh kedaulatan dan kemandirian nasional—dan nampaknya
semangat semacam ini juga harus-wajib dikobarkan diseluruh kalangan dan basis
masa NU agar mampu selalu tanggap dan responsif menyikapi segala permasalahan
yang dialami bangsa. Munculnya FNKSDA (Front Nahdliyin peduli Kedaulatan Sumber
daya Alam) yang akhir-akhir ini juga tanggap terhadap kasus-kasus perampasan
berbagai sumber daya alam di tanah air (tanah, udara, mineral, tambang, air)
harus pula diapresiasi dan didukung secara penuh hingga berbuah pada upaya
advokasi tindak lanjut terhadap korban sampai gerakan revolusioner untuk
kembali merengkuh kedaulatan sumber daya Alam milik sendiri di negeri sendiri.
Sikap NU yang toleran, harus mampu menjadi
nilai lebih dalam menjalin kerjasama dengan berbagai pihak (aktivis, akademisi,
agamawan, negarawan, dan kaum minoritas lain yang tersadarkan) demi mencapai
misi kedaulatan nasional. Hal ini penting mengingat, sekalipun NU adalah ormas
terbesar di tanah air, nampaknya tidak akan cukup kuat bila berjuang sendirian.
Maka itu, perlu membuat simpul perjuangan yang kokoh sebagai wujud persatuan
dalam mewujudkan misi ini. Simpul perjuangan juga akan menjadi alat kontrol
paling efisien dan efektif bagi NU maupun berbagai pihak lainnya yang masuk
dalam simpul perjuangan ini agar menjadi pengingat bersama akan pentingnya misi
menggapai kedaulatan nasional, sehingga tidak terjadi ke khilafan yang mengarah
pada sikap egoisme, yang bisa jadi upaya perjuangan bukan lagi mengatasnamakan
rakyat—melainkan bergeser pada dukungan terhadap korporasi kapital di negeri
ini berkat iming-iming intensif financepara
pemodal, sehingga misi mewujudkan
kedaulatan benar-benar sirna dan tak pernah terwujud sampai kapanpun.
[i]Syamsul
Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi ddan
Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Indonesia
Berdikari, 2012), hal. 3
[ii]M.
Dawam Rahardjo, Pembangunan Pasca Modernisme:
Esai-Esai Ekonomi Politik, (Jakarta: Insist Press, 2012), hal. 4
[iii]Ibid,
hal. xx
[iv]Syamsul
Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi ddan
Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Indonesia
Berdikari, 2012), hal. 202
[v]M.
Dawam Rahardjo, Pembangunan Pasca Modernisme:
Esai-Esai Ekonomi Politik, (Jakarta: Insist Press, 2012), hal. 15
[vi]Phil Gustiana IM, “Wajah Toleransi
NU:Sikap NU Terhadap kebijakan Pemerintah Atas Umat Islam”, (Jakarta: RM books,
2012), hal. 144.