Posisi dan Tantangan NU dalam Hegemoni Korporasi Negara Kelas Dalam Misi Menuju Kedaulatan Nasional


Posisi dan Tantangan NU dalam Hegemoni Korporasi Negara Kelas Dalam Misi Menuju Kedaulatan Nasional

oleh Eko Santoso


Sudahkah Pemilu Kita Luber Jurdil?

Pemilu langsung dan serentak pada 15 Februari 2017 –begitu pula yang lainnya, yang selalu dianggap sebagai pilar utama dalam mewujudkan supremasi rakyat, seolah hanya sebuah imajiner belaka bila kita melihat realitas yang ada.  Ajang yang seharusnya menjadi wadah dalam mencari sosok pemimpin yang amanah, adil, merakyat, bertanggung jawab dan diharapkan –seharusnya memiliki sifat malaikat, benar-benar hanya sebuah ilusi.

Sampai saat ini sosok bak malaikat semacam itu masih belum kita jumpai melalui prosesi prosedural yang paling selektif sekalipun, bernama “Pemilu Langsung”. Rakyat yang semestinya memiliki kebebasan memilih, sebagai konsekuensi dari pemaknaan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru diombang-ambing dan menjadi bagian dari alat politik yang diperebutkan oleh para pasangan calon, yang secara implisit dapat kita maknai sebagai pihak yang mewakili kepentingan politis-ekonomis: baik sebagai borjuis nasional maupun antek kapitalis global.

Ancaman disintegrasi bangsa melalui isu sara, kampanye berbentuk perilaku immoral dan money politik, dianggap hal yang halal dan memang biasa serta sengaja dibangun demi menjadi tumbal agar rakyat tergiring untuk memilih pasangan calon yang berkepentingan—dan soal hati nurani, jujur, adil, bersih, yang selalu menjadi moral value dan bukti demokratisasi dalam pemilu nampaknya patut dipertanyakan ada-tidaknya.

Rakyat seolah diinterpretasikan sebagai modal sosial dan bahkan modal finansial yang nantinya akan menentukan nasib paslon dalam meraih tampuk kekuasaan dan pada akhirnya meraih akses finansial guna membayar ganti rugi atas modal finansial yang dikeluarkan kala kampanye.

Maka tidak heran bila kapabilitas yang semestinya menjadi acuan dalam memilih paslon disingkirkan dan berubah menjadi kata elektabilitas-lah yang menjadi acuan bagi memilih seorang calon—yang dengan demikian, memilih pasangan calon dalam pesta demokrasi bernama “pemilu” tidak didasarkan pada kemampuan melainkan pada tingkat favoritas yang dilabelkan. Di sinilah kemudian peran modal finansial, propaganda media, dan popularitas yang pada akhirnya menjadi alat krusial bagi mereka untuk bisa ikut berpartisipasi dalam pemilu dan menjadi pemenangnya.

Semacam inilah gambaran pemilu kita saat ini. Demokrasi bukan lagi atas nama rakyat, melainkan milik mereka yang bermodal. Rakyat kehilangan kedaulatannya secara politis. Sejauh ini sebenarnya kita bisa dibilang belum benar-benar melakukan proses pemilu yang demokratis dalam pelaksanaan dan perwujudannya —sekalipun sistemnya demikian.

Bila kita tarik ke belakang sejak pemilu pertama kali diselenggarakan, yakni 1955, kemudian berlanjut pada era orde baru, masa reformasi dan hingga sekarang ini, boleh dikatakan pemilu tahun 1955 adalah pemilu paling demokratis dan bersih. Namun semenjak pemilu berlangsung pada masa orba, dimana proses pemilu dilakukan secara monopoli-manipulatif, maka mulai saat itu pula negeri ini kehilangan kedaulatannya secara politis dan menjadi negara pengutang.

Tak ayal bila kemudian kekayaan alam kita mulai diperjual-belikan kepada asing. Rakyat 
terpaksa gigit jari menahan derita atas tindakan refresif dan eksploitasi semena-mena oleh pihak penguasa-pemodal, baik dalam segi regulasi hingga dalam masalah agraria (ekspansi spasial) dan masalah finansial (ekspansi finance).

Kompensasi yang coba ditawarkan pemerintah melalui berbagai program-program pembangunannya, bukannya menambah kualitas dan tingkat kesejahteraan rakyat, melainkan membuat rakyat justru menanggung beban besar di kemudian hari —sebagaimana yang kita rasakan hari ini. Kita dipaksa membuka kran investasi asing, hingga kemudian melahirkan freeport yang mengrogoti kekayaan negeri ini sampai saat ini.

Saham bank-bank dijual kepada asing hingga dalam dunia perbankan, Indonesia menjadi negara paling liberal, karena sejak tahun 1999 pemerintah mengeluarkan perizinan kepemilikan saham perbankan dikuasai asing mencapai 99%.[i] Belum lagi menjamurnya perusahaan ritel semacam mini market maupun supermarket yang menggusur keberadaan pasar tradisional. Padahal pasar tradisionallah yang selama ini menjadi tulang pungung perekonomian rakyat.

Hingga saat ini hutang kita bahkan mencapai kurang lebih Rp 3.500 triliun. Negeri kita yang subur harus impor kebutuhan pokok seperti beras, kedelai, dan lain-lain. Pemerintah terus mencari investor asing, dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya, menunjukan bahwa kita adalah bangsa pengutang, pengimpor, dan bangsa yang siap diperjualbelikan kapanpun oleh para penguasa. Kita tak lagi menjadi bangsa yang berdaulat secara politis bahkan kita tak lagi mandiri secara ekonomi.

Lantas mengapa ini bisa terjadi?

Masihkah ada harapan untuk menuju kedaulatan dan kemandirian nasional?

Secara substansial praktek-praktek menindas semacam ini harus terus digugat dan terus dipertanyakan, mengingat misi kemerdekaan bangsa ini bukanlah untuk membangun “jembatan emas” guna memfasilitasi lalu lintas kepentingan asing agar bisa kembali menjajah negeri ini secara leluasa dan secara “konstitusional”.

Seperti yang sering diungkapkan para pendiri bangsa bahwa, semestinya kemerdekaan menjadi “jembatan emas” bagi terwujudnya kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini sebagai tuan rumah yang berdaulat di negerinya sendiri.

Dependent development (Pembangunan Berketergantungan)

Bukankah negeri tercinta ini tiap tahun terus melakukan pembangunan?

Bukankah petumbuhan ekonomi kita katanya stabil dan mencapai 5% setiap tahunnya?

Lantas mengapa hutang luar negeri kita justru terus meningkat?

Mengapa pula negara justru tak lagi mampu memberikan subsidi BBM?

Mengapa kita terus membutuhkan investasi asing dan hutang asing pula?
Selain mengimpor peralatan elektronik dan kendaraan bermotor, serta mesin-mesin kita justru turut pula  banyak mengimpor bahan-bahan kebutuhan pokok yang di sisi lain mampu kita produksi sendiri.

Mengapa ini semua terjadi?

Pertanyaan-pertanyaan dan sekaligus fakta-fakta di atas adalah indikasi nyata bahwa negeri ini benar-benar terperangkap dalam meminjam istilah Peter B. Evans, pembangunan berketergantungan (dependent developmentalisme). Dependent developmentalisme sendiri pada dasarnya adalah suatu jebakan yang menyertai teori develompentalisme (paradigma pembanguan). Bermula dari sebuah teori pembangunan, ia kemudian berkembang menjadi sebuah ideologi. Dimulai dari negara-negara maju, khususnya AS, teori ini berkembang dari doktrin yang dilancarkan Presiden AS, Harry S. Truman, pada 1949 untuk membasmi Komunisme, yang kemudian menjadi landasan politik luar negeri AS. Program itu mencakup kerjasama internasional melalui PBB, pemulihan ekonomi akibat kerusakan Eropa karena perang dunia II, pertahanan negara-negara dunia bebas dari ancaman agresi yang bermuara pada pembentukan pakta pertahan militer, dan memanfaatkan iptek bagi kemajuan bangsa-bangsa.

Sementara di negara dunia ketiga, yang baru saja mendapatkan kedaulatan dan nasionalisme secara politis lewat jalan kemerdekaan, lahirlah nasionalisme ekonomi. Nasionalisme ekonomi ini mengambil beberapa bentuk, namun yang paling utama adalah industrialisasi. Dimulai dari negara-negara di Amerika Selatan, lahir gagasan industrialisasi barang-barang substitusi impor yang bertujuan menggantikan barang-barang impor dengan produksi domestik sehingga perekonomian terlepas dari ketergantungan pada luar negeri. Program ini sebenarnya merugikan negar-negara maju yang mengekspor barang-barang konsumsi ke negara-negara bekas jajahan.

Haluan nasionalisme ini kemudian diterima oleh para negara-negara maju, karena mereka bisa menyiasatinya. Pertama,  mengganti ekspor barang-barang konsumsi dengan barang-barang modal yang dibutuhkan untuk industrialisasi yang harganya justru jauh lebih tinggi. Kedua, menanam modal untuk memacu industrialisasi di negara-negara dunia ketiga. Selain itu negara-negara maju juga bisa mengekspor modal untuk pembangunan dunia ketiga. [ii]

Dalam persetujuannya dengan strategi pembangunan dunia ketiga, teori pembangunan nasional mendapat restu dari korporasi kapitalis atau negara-negara maju dan dengan sepenuhnya mendukung elit politik di negara-negara dunia ketiga untuk naik ke tampuk kekuasaan. Ini kemudian memberi kesempatan pada negara dunia ketiga, melalui elit politiknya memanfaatkan sumber daya internasional, terutama modal finansial, melalui utang luar negeri dan penanaman modal asing. Dengan model semacam ini maka elit politik di negara-negara dunia ketiga akan dapat melakukan pembangunan, dan suatu keberhasilan membangun infrastruktur melalui dana asing akan menjadi alat legitimasi bagi mereka. Hal ini tentu saja merupakan insentif bagi elit politik di negara-negara dunia ketiga untuk turut mengikuti haluan developmentalisme. Padahal bila dicermati pada dasarnya pembangunan infrastruktur justru secara tidak langsung turut menyediakan akses bagi kepentingan industri-industri asing, terutama untuk lalu lintas tranportasi angkut barangnya dan bukan murni untuk kepentingan massal di negara-negara dunia ketiga, tak terkecuali di Indonesia pula.

Atas dasar penjabaran di atas, developmentalisme dapat kita maknai sebagai bentuk simbiosis ekonomi politik antara dua kepentingan. Ini adalah buah dari negosiasi antara negara-negara industri maju dan elit politik negara-negara berkembang, bersumber dari kepentingan elit yang ingin berkuasa dan memanfaatkan sumber daya ekonomi internasional yang dikuasai negara-negara industri maju.

Pemilihan developmentalisme sebagai paradigma pembangunan oleh Indonesia, dengan digawangi elit orde baru hingga sekarang, memang benar  akhirnya menimbulkan konsekuensi dan berakibat fatal bagi rakyat dan bangsa.

Pertama, industrialisasi yang kita jalankan merupakan industrialisasi barang-barang substitusi impor. Mereka memproduksi barang-barang sekunder yang berpusat pada kebutuhan masyarakat kelas menengah ke atas. Namun dengan iklan dan promosi pada akhirnya turut pula mendoktrin masyarakat kelas bawah untuk turut mengkonsumsinya, sehingga meskipun daya beli masyarakat dapat dinilai tinggi dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, namun justru disisi lain kesejahteraan masyarakat semakin turun karena kesulitan untuk mendapatkan maupun membeli barang-barang yang semestinya menjadi kebutuhan primer.

Kedua, mengundang modal asing untuk melakukan industrialisasi yang secara langsung ataupun tidak langsung berarti peminggiran ekonomi rakyat. Rakyat pedesaan misalnya, yang memiliki potensi menggarap tanah justru beralih profesi menjadi karyawan pabrik, itu pun bukan di kotanya sendiri. Mereka berbondong-bondong pergi merantau dan membeiarkan tanah terbengkalai. Inilah stigma yang salah, dimana rakyat memandang bahwa kerja sebagai karyawan adalah kerja yang sebenarnya, sedangkan menjadi petani misalnya, bukanlah dinamakan bekerja karena tidak menghasilkan uang secara langsung. Hal ini merupakan orientasi rakyat ke arah materialistis.

Ketiga, banyak investor asing yang masuk untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Para elit politik kita pun menerimanya dengan dalih untuk menghasilkan devisa. Namun dampak lingkungan yang ditimbulkan hingga sekarang ini tak pernah dipertangungjawabkan. Lagi-lagi rakyat yang mendapatkan apes-nya! Tak hanya krisis lingkungan tetapi juga berakibat krisis pangan dan energi sebagaimana kondisi saat ini.[iii]

Dengan demikian, maka Indonesia dan beberapa negara-negara dunia ketiga telah terjebak dalam kapitalisme pascakolonial yang mengusung agenda: kembali menguasai perekonomian negara-negara bekas jajahan dan mempertahankan hegemoni negara-negara industri maju dalam perekonomian dunia.

Indonesia sebagai negara bangsa sebagaimana awal berdirinya, yakni bertujuan mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat, nampaknya telah mengalami evolusi. Negara melalui elit politik telah mengkonsolidasikan diri dengan tendensi kelas “negara kapitalis”. Rakyat dididik dan siapkan menjadi buruh dan aparatur pemerintah yang melayani negara-negara kapitalis beserta korporasinya, melalui modal yang diinvestasikan.

Kita dibentuk menjadi mesin dalam dunia kerja sebagai bagian penghasil profit bagi negara kelas ini, yang terkonstelasi dengan korporasi “kapitalis”. Pemimpin negeri ini dan aparaturnya bahkan di seting sedemikian rupa dengan kekuatan modal oleh para korporasi kapitalis, sehingga dalam demokrasi kita benar-benar kehilangan kedaulatan secara politis dan akhirnya hilang pula kedaulatan secara ekonomi. Besarnya mangsa pasar di negeri ini justru menjadi ladang asing, dan potensi sumber daya alam yang melimpah justru menjadi surga bagi asing pula yang berbentuk korporasi kapitalis global.

Hegemoni Korporasi Kapital dalam Negara Kelas

Mengapa kemudian korporasi kapital bisa sebegitu menghegemoninya di negara kita ini? 

Mengapa pula investasi asing bisa jor-joran masuk ke Indonesia?  

Liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi merupakan pintu masuk penting bagi keterlibatan asing, yang dalam hal ini adalah korporasi kapital,ke dalam perekonomian di tanah air. Dengan liberalisasi, aktor internasional mendapat legitimasi dan peluang besar untuk hadir dan berinvestasi memanfaatkan peluang- peluang ekonomi yang tersedia. Liberalisasi yang berarti pembukaan tanah baru dari yang semula tertutup bagi asing, memberikan asing kesempatan berkompetisi dengan ekonomi rakyat yang semula telah terbentuk. Namun karena aktor internasional ini memiliki kapasitas industrial dan manajemen, teknologi, modal, dan akses pasar internasional yang luas, jelas kompetisi akan dengan mudah dimenangkan.

Kebijakan liberalisasi yang tidak prudent (hati-hati) yang diadopsi pemerintah atas paham developmentalisme-nya justru membahayakan kepentingan nasional. Hal yang sama juga berlaku bagi kebijakan deregulasi. Deregulasi yang tidak selektif dan imprudent menciptakan fleksibilitas ruang gerak bagi korporasi asing dengan kapital yang besar untuk bermain memanfaatkan keuntungan yang ada. Deregulasi juga memperlemah kontrol negara atas bisnis para korporasi global ini, yang sampai tahap tertentu bisa menciptakan krisis. Krisis 1998 dan 2008 yang melanda Amerika dan sebagian negara lainnya memberikan bukti pelajaran penting kepada kita bahwa betapa berbahaya-nya deregulasi, karena pasar tidak memiliki mekanisme kontrol atas kerakusan dan kelicikan manusia dalam mengakumulasi keuntungan.

Terakhir privatisasi yang berarti beralihnya kontrol atas pasar dan manajemen ke pihak korporasi kapitalis asing telah memungkinkan asing untuk menikmati keuntungan dari pasar yang sudah mapan. Dengan privatisasi, investor asing tidak perlu bersusah payah memulai bisnis dari nol dan ini berarti penghematan bagi upaya bisnis mereka. Singkatnya semua kebijakan ini (Trilogi Washington Consensus) didesakkan untuk memperlemah peran negara dan memperkuat peran aktor korporasi kapital asing di dalam negeri.[iv]

Selain terbawa arus globalisasi neoliberal karena bergantung pada keuangan dan modal dari asing, terutama IMF, Indonesia pada awal abad ke 21 juga telah mengalami demokratisasi politik sejak 1998. Dalam proses itu, pada 2002 MPR telah menyelesaikan 4 kali amandemen pada UUD 1945. Hal ini menghasilkan perubahan dan penambahan pada beberapa pasal. Perubahan yang menonjol adalah pembatasan masa jabatan presiden, pemilihan presiden secara langsung setiap lima tahun sekali, penghapusan MPR sebagai lembaga tinggi negara, dihapusnya GBHN, dan sejalan dengan itu maka presiden bukan lagi mandataris MPR yang mengemban misi melaksanakan GBHN. Dengan tidak adanya GBHN, menjadi sulit diketahui apa yang sebenarnya menjadi acuan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah atau dalam hal ini pihak eksekutif yang memuat presiden beserta aparaturnya.

Hal ini tentu dapat dipahami mengingat GBHN disusun dengan turut melibatkan berbagai lembaga, organisasi, dan perorangan dalam masyarakat warga (civil society) ramai-ramai berpartisipasi dalam proses penyusunan yang kemudian didiskusikan di MPR. Ini adalah suatu bentuk demokrasi ekonomi politik dimana masyarakat ramai-ramai berpartisipasi.[v]

Sekalipun UUD hasil amandemen terakhir 2002 masih tetap memuat pasal-pasal ekonomi, namun pasal-pasal itu cendrung tidak diikuti atau dijadikan acuan dalam paradigma pembangunan maupun kebijakan ekonomi. Sebabnya, setiap pergantian presiden akan diikuti pula pergantian kebijkan pembangunan. Jika sebelum amandemen GBHN mencerminkan paradigma dan acuan pembangunan yang diikuti, maka sekarang yang menjadi acuan adalah platform politik presiden terpilih yang mengusulkan program-programnya sendiri.

Dalam reformasi semacam ini, di satu pihak pembangunan mengalami politisasi sebagaimana yang dimainkan tokoh-tokoh dan partai-partai politik. Di lain pihak, politik dan kekuasaan mengalami “pasarisasi” (marketization), dalam arti akan dijual ke pasar bebas dan ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran komoditas politik. Pada kondisi semacam ini maka, penguasaan dana dan modal yang akan bermain kuat dan menentukan siapa dan partai mana yang akan mendapat suara lebih banyak dari yang lainnya.

Dalam pemerintahan, lobi-lobi ekonomi akan memainkan peran kuat yang mempengaruhi keputusan politik, sehingga politik di Indonesia tidak mengikuti aturan demokrasi, melainkan plutokrasi, dimana politik dikuasai oleh pemilik modal (kapitalis).

NU Meretas Asa

Sekarang pemikiran mengenai pembangunan, dari manapun datangnya, harus dijual ke pasar-bebas politik. Gagasan itu diharapkan akan dibeli oleh politisi dan partai politik, kemudian oleh pemerintah yang berkuasa. Jika gagasan disosialisaikan lewat media masa, maka media massa pun akan berorientasi pada pasar gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi politik yang dominan. Hal ini menjadi tugas dan tanggungjawab cendekiawan independen untuk mengemukakan gagasan terbaik bagi bangsa dan negara berdsarkan nalar moral dan nalar publik yang bersumber dari hati nurani yang jujur.

Dunia pendidikan harus mampu mengaktualisasikan ilmunya pada tataran aksiologis, sehingga benar-benar memberikan kontribusi nyata bagi sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Mencoba untuk mengubah paradigma pembangunan sesuai dengan jati diri bangsa, demi mewujudkan kemandirian dan kedaulatan secara politis-ekonomis —guna mengembalikan status menjadi negara-bangsa dan bukan negara kelas.

Begitu sukarnya melakukan perubahan dari tataran kebijakan atas (top-down) karena hegemoni korporasi yang tak terkendali. Mau tak mau semua elemen minoritas masyarakat yang tersadarkan harus bahu-membahu membangun kesadaran secara menyeluruh, sebagaimana masa pergerakan terdahulu sebelum  kita sadar terjajah.

Sebagaimana saran Gramsci bahwa gerakan revolusioner yang paling menjanjikan dan berhasil, sekalipun memerlukan waktu yang lama, hendaknya dimulai dari tataran masyarakat bawah. Membangun kemandirian ekonomi ditataran masyarakat-masyarakat bawah—terutama pedesaan, mengingat 65% masyarakat Indonesia di wilayah desa, sembari memberikan pemahaman politis agar mereka tidak menjadi korban-korban parpol dan politisi yang mengejar kursi. Produksi pertanian harus kembali menjadi hal pokok yang dibangun sebagai upaya menuju kemandirian nasional, disertai dengan gerakan koperasi yang harus dibangun dan diupayakan menjadi soko guru perekonomian. Disisi lain religiusitas di kalangan rakyat negeri ini—yang tercermin dari beragamnya agama, terkhusus Islam sebagai mayoritasnya, harus ikut mengambil peran dalam hal pembebasan umat dari ketertindasan dan kemiskinan—dan bukannya sebaliknya yang sibuk mengurusi simbol-simbol keagamaan sebagaimana yang ditunjukan oleh para kaum Fundamentalis agama (FPI, Golongan Islam Tarbiyah, Wahabi), LDII, dll.), yang selalu buta dengan permasalahan-permasalahan di atas. Sementara di sisi lain mereka sibuk menilai kaum lain dengan stigma “kafir” bagi golongan yang tak sepaham dengannya.

Sungguh betapa dangkalnya aktualisasi nilai-nilai keagamaan mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih mereka yang berafiliasi pada kepentingan politis pragtis dan juga menjadi eksponen dari para korporasi nasional hingga global.

Namun yang menjadi kendala dan menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa saja para intelektual, agamawan, aktivis, dan negarawan yang siap untuk berkorban dalam menuju misi perubahan nasib rakyat yang lebih baik? Yang mampu kembali menegakkan status negara-bangsa sekaligus menegakkan tujuan awalnya—menciptakan keadilan, kesejahteraan, perdamaian bagi seluruh rakyat negeri ini tanpa mengubah konstitusi dan dasar negara?

Gerakan Ormas-ormas semacam NU dan Muhammadiyah, yang melakukan advokasi pendidikan, ekonomi, dan sosial sampai pada tataran masyarakat paling bawah, terlebih dahulu harus kita apresiasi dan menjadi pijakan serta contoh model gerakan dalam menggalang basis masa di tataran bawah. Namun, perlu pula diingat dan menjadi masukan untuk ormas-ormas tadi dan khususnya kita bersama bahwa gerakan-gerakan advokasi semacam itu benar-benar harus demi tujuan yang lurus, yakni menuju perubahan demi mewujudkan kedaulatan nasional agar tercipta masyarakat yang sejahtera dan makmur, berkeadilan, dan terlepas dari tindakan penindasan serta eksploitasi—serta sebisa mungkin mengubur dan membuang jauh-jauh upaya-upaya bejat yang mengarah pada pemanfataan basis massa yang dibentuk pada kepentingan politik praktis yang lagi-lagi pada ujungnya melanggengkan percongkolan-percongkolan korporasi kapitalis dalam mengekang kebijakan ekonomis-politis bangsa ini.

Nampaknya hal semacam inilah yang sekarang dapat kita lakukan sementara, sembari menunggu kemunduran dan kebangrutan sitem kapital dengan sendirinya, yang sekalipun kita tak tahu kapan waktunya tiba.

Sikap NU yang digawangi para generasi muda serta ulama progresifnya pada 1984, yang menyatakan kembali ke Khittah 1926 guna kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan—terlepas dari partai politik dan bukan partai politik[vi] adalah sebuah langkah bijak yang sangat relevan pada masa kini dan sangat visioner pada waktu itu dalam melihat dan menyikapi tantangan jaman kedepannya. Adanya berbagai Badan Otonom dan lembaga di NU, mulai dari bidang pendidikan, kepemudaan, ekonomi, perempuan, keluarga, pertanian, dll—dengan membangun basis masa dari lapisan kelas masyarakat paling bawah hingga atas, harus terus di dukung dan digenjot peranannya agar sampai pada tindakan progresif dalam hal menanggapi permasalahan umat (kemiskinan, penindasan, dan eksploitasi), sehingga NU dapat tampil sebagai bagian solutif dalam misi menuju perubahan nasib rakyat yang lebih baik, dan kembali menegakkan status negara-bangsa sekaligus menegakkan tujuan awalnya—menciptakan keadilan, kesejahteraan, perdamaian bagi seluruh rakyat negeri ini. Pernyataan sikap GP Ansor beberapa waktu lalu yang siap pasang badan dalam mengawal dan mendukung secara penuh upaya pemerintah untuk mempersengketakan dan mengakuisisi PT Freeport harus terus ditunjukan dan konsisten dijalankan sebagai upaya dan bentuk peran konkret keberadaan NU dalam misi kembali merengkuh kedaulatan dan kemandirian nasional—dan nampaknya semangat semacam ini juga harus-wajib dikobarkan diseluruh kalangan dan basis masa NU agar mampu selalu tanggap dan responsif menyikapi segala permasalahan yang dialami bangsa. Munculnya FNKSDA (Front Nahdliyin peduli Kedaulatan Sumber daya Alam) yang akhir-akhir ini juga tanggap terhadap kasus-kasus perampasan berbagai sumber daya alam di tanah air (tanah, udara, mineral, tambang, air) harus pula diapresiasi dan didukung secara penuh hingga berbuah pada upaya advokasi tindak lanjut terhadap korban sampai gerakan revolusioner untuk kembali merengkuh kedaulatan sumber daya Alam milik sendiri di negeri sendiri.

Sikap NU yang toleran, harus mampu menjadi nilai lebih dalam menjalin kerjasama dengan berbagai pihak (aktivis, akademisi, agamawan, negarawan, dan kaum minoritas lain yang tersadarkan) demi mencapai misi kedaulatan nasional. Hal ini penting mengingat, sekalipun NU adalah ormas terbesar di tanah air, nampaknya tidak akan cukup kuat bila berjuang sendirian. Maka itu, perlu membuat simpul perjuangan yang kokoh sebagai wujud persatuan dalam mewujudkan misi ini. Simpul perjuangan juga akan menjadi alat kontrol paling efisien dan efektif bagi NU maupun berbagai pihak lainnya yang masuk dalam simpul perjuangan ini agar menjadi pengingat bersama akan pentingnya misi menggapai kedaulatan nasional, sehingga tidak terjadi ke khilafan yang mengarah pada sikap egoisme, yang bisa jadi upaya perjuangan bukan lagi mengatasnamakan rakyat—melainkan bergeser pada dukungan terhadap korporasi kapital di negeri ini berkat iming-iming intensif financepara pemodal,  sehingga misi mewujudkan kedaulatan benar-benar sirna dan tak pernah terwujud sampai kapanpun.



[i]Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi ddan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012), hal. 3
[ii]M. Dawam Rahardjo, Pembangunan Pasca Modernisme: Esai-Esai Ekonomi Politik, (Jakarta: Insist Press, 2012), hal. 4
[iii]Ibid, hal. xx
[iv]Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi ddan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012), hal. 202
[v]M. Dawam Rahardjo, Pembangunan Pasca Modernisme: Esai-Esai Ekonomi Politik, (Jakarta: Insist Press, 2012), hal. 15
[vi]Phil Gustiana IM, “Wajah Toleransi NU:Sikap NU Terhadap kebijakan Pemerintah Atas Umat Islam”, (Jakarta: RM books, 2012), hal. 144.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama