Islam Kultural dan Islam Politik: Orientasi dan Paradigma Keberislaman Masa Kini






Seiring berjalannya waktu, orientasi dan paradigma keberislaman mengalami perubahan —entah memang hakikat, keniscayaan atau kondisi jaman yang menuntut—yang seringkali menimbulkan perbedaan pandangan dalam menyikapi problematika kehidupan hingga melahirkan sekte-sekte agama. Ketidakhadiran malaikat dalam wujud nyata di tengah-tengah kehidupan kita, begitu pula pembenar akhlak, Nabi Muhammad, membuat umat harus melakukan reorientasi dan rekonstruksi dalam aplikasi nilai-nilai keIslaman yang hendak diterapkan. Atas dasar ini kemudian tak jarang kita menemui cara keberislaman yang diterapkan secara parsial hingga tak mencerminkan suatu ajaran Islam yang otentik—entah memang karena susahnya menemukan tafsir keotentikan Islam itu sendiri atau jangan-jangan ada kepentingan yang disembunyikan. 
Perkembangan dunia yang tak lepas dari masalah materialistis, ditambah dengan berbagai kemudahan akses informasi dan mobilitas tanpa batas pada akhirnya menghantarkan dunia pada fase pasarisasi global. Islam sebagai suatu identitas dan entitas —menjadi bagian yang mengisi sudut-sudut dunia— tak ayal mendapat percikan dari apa yang disebut fase pasarisasi ini, yang dalam sebutan lain kita menyebutnya “Globalisasi” yang berbentuk dan berkemas dalam wujud sistem kapital. Namun alih-alih berupaya dan sungguh-sungguh dalam merumuskan problem solving agar terlepas dari pengaruh fase pasarisasi kapital, di tangan para sekterianime, terkhusus para Fundamentalis, Islam menjadi identitas yang asyik untuk diperdebatkan dengan pihak lain yang dirasa memiliki pandangan berbeda, celakanya bukan saja pandangan itu menyangkut masalah agama melainkan begitu pula untuk masalah pandangan politik. Hal ini dirasa penting karena agama dalam pandangan mereka harus diwujudkan dalam bentuk idiom-idiom, bentuk, simbol-simbol, bendera, partai, hingga format suatu negara—sekalipun secara substansial kosong tanpa isi, inilah yang kemudian kita sebut sebagai “Islam Politik”. 
Disisi lain platform keberislaman yang ditawarkan oleh kalangan moderat, tak kalah dilematisnya. Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam moderat ini dalam posisi dilematis itu adalah adanya pemosisian Islam yang vis a vis negara dan dianggap oportunis. Padahal kalangan inilah—yang sering disebut “Islam Kultural”—yang selama ini menjadi ujung tombak dalam mengakarkan nilai-nilai keberislaman di tataran kehidupan masyarakat sampai pada akar rumput.
Untuk memperjelas tafsir dan kedudukan hal tersebut kita perlu membedakan karakterisasi Islam kedalam dua perspektif. Pertama, adalah sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam, termasuk dalam konteks transformasi sosial dan pembentukan sistem nasional, yang dikelompokkan kedalam Islam Kultural dan Islam Struktural. Islam Kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan Institusionalisasi dilakukan melalui upaya-upaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat/masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan  sistem nasional menjadi sitem yang Islami. Sedangkan Islam Struktural menekankan upaya-upaya ini melalui penetapan sistem nasional maupun kebijakan publik yang islami. Upaya semacam inilah yang kemudian memerlukan sarana politik sehingga pemahaman Islam Struktural semacam ini cendrung menjadi eksponen Islam Politik.
Kedua, gerakan Islam Kultural adalah aktivitas umat islam untuk memperjuangkan aspirasinya melalui aktivitas-aktivitas yang bersifat non-politis, seperti melalui organisasi masa, aktivitas dakwah dan lembaga-lembaga sosial dan sebagainya. Sehingga sangat beralasan dan logis manakala NU dan Muhammadiyyah sebagai dua ormas terbesar di Indonesia tidak memilih untuk menyematkan dirinya menjadi Partai Politik. NU terutama melalui pondok pesantrennya, melakukan advokasi pendidikan Islam, sedangkan Muhammadiyah dengan lembaga pendidikan modernnya. Tak berhenti disitu, kedua Ormas ini, terutama NU bahkan mewadahi umat dari kalangan paling bawah hingga atas untuk bersama-sama bahu membahu membangun umat dan menerapkan nilai-nilai agama dalam aktualisasi kehiudpan bermasyarakat melalui berbagai lembaga dan badan otonomnya, baik menjamah ekonomi, sosial, budaya, dll. Hal ini ditempuh karena dalam interpretasi keberagamaan di kalangan Islam Kultural ini, agama adalah pembicaran bukan hanya menyangkut hal formal, namun lebih penting dan paling urgen dari itu adalah soal substansial.
Sedangkan pengertian Islam Politik bisa diidentikkan dengan partai Politik Islam. Lantas adakah yang salah dengan keduanya, atau ada satu yang lebih baik dari yang satunya? Bicara Politik maka kita akan bicara tentang kepentingan, ideologis dan kekuasaan. Kepentingan seringkali akan menghalalkan segala cara, sedangkan ideologisasi Islam akan dengan sangat congaknya membagakan sekterianisme ala bar-bar, dan kekuasaan menjadi madu manis yang menarik diperebutkan.  Masalahnya adalah ketika Islam dijadikan common platform politik, yang artinya disini tercermin dalam Partai Politik Islam, maka Islam yang sejatinya memiliki dimensi banyak (akidah, akhlak, syariah dan muamalah) direduksionis menjadi sebuah wacana tunggal yakni tentang rasional. Dengan demikian sebenarnya politik hanyalah bagian kecil dari agama itu sendiri. Namun disisi lain seperti halnya kita ketahui bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan, maka sikap imprudent yang seharusnya diambil oleh para politisi partai Islam—mengingat tanggung jawab dan kemaslahatan umat atas nilai-nilai Islam harus diperjuangkan—seringkali terabaikan berkat hitung-hitungan rasional kepentingan yang abadi. Dan pada akhirnya bila Islam Politik semacam ini sudah meninggalkan akidah, akhlak, syariah dan muamalah, maka anak sudah membunuh bapaknya sendiri, yakni agama dan akan menjebak umat dalam petualangan politik yang naif. 
Apa yang dinampakkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam dua puluh tahun terakhir di ajang pemilu dapat mencerminkan beberapa penjabaran terkait Islam Politik diatas, sekalipun berasaskan dan menetapkan diri dengan simbol partai Islam, toh tak tercermin tujuan kemaslahatan umat dalam agenda politiknya. Koalisi dengan Demokrat yang melahirkan perselingkuhan dengan para korporasi asing tak ayal menjadi pintu liberalisasi dan kapitalisasi ekonomi dan politik di tanah air jilid II, setelah rezim Orba. Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selurus dengan Front Pembela Islam (FPI) yang turut nimprung dalam agenda pilkada DKI demi memenangkan salah satu paslon, dengan cara-cara yang seolah-olah Islami dengan simbol keislamannya sebagai rangka menggerogoti elektabilitas salah satu paslon dengan agenda aksi berjilid-jilid demi maksud menjatuhkannya, adalah bukti adanya vis a vis mereka dengan elit politis. Yang menarik adalah mereka selalu mengawali setiap agenda politiknya dengan mencari dalih-dalih dan simbol-simbol Islam—dan memang disengaja—sebagai upaya menyelimuti kepentingan politik didalamnya, maka sangat disayangkan ketika beberapa orang yang tak tahu- menahu, karena tertarik dengan simbol keislamannya menjadi korban massa. 

Hendaknya memang perlu diuji keberadaan dan komitmen partai Islam, apakah mereka menjadikan Islam hanya sebagai basis solidaritas politik untuk memobolisasi dukungan yang berarti memobilisasi agama, ataukah penegak nilai-nilai universal Islam yang sejati. Politisasi agama  berarti mendistorsasikan agama menjadi sekedar komoditas politik, atau alat legitimasi pencapaian kepentingan politik yang terbatas. Bukankah kepedulian umat agaknya kini lebih substansial, yakni tegaknya nilai-nilai ideal menurut Islam seperti, keadilan, persamaan, dan demokrasi. Bukan lagi simbol-simbol hasil manipulasi para dogmatik abal-abal.

(Eko Santoso/Kader Rayon Pancasila, (ed) )

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama