Tafsir Terhadap Islam Progresif: Kritik-Kritik Terhadap Kaum Fundamentalisme Agama


                         Oleh: Eko Santoso
Lahirnya teologi pembebasan di amerika Latin sebagai bentuk atas kesadaran dalam beragama, nampak sebagai sebuah oase di  tengah keringnya respon para agamawan beserta seluruh pengikutnya dalam menyikapi krisis multidimensional yang berlarut-larut—krisis pangan-energi-lingkungan—adalah cermin kejamnya paradigma developmentalisme dengan berbagai aktor dan eksponennya dalam menggrogoti negara-negara dunia ketiga. Teologi pembebasan muncul sebagai sebuah kritik terhadap Marxisme ortodoks, Yang mana dalam pandangan Marxisme, agama tak dapat dipercaya dan di andalkan. Alih-alih menjadi landasan alat pembebasan dan menjadi alat perjuangan, agama justru bicara tentang akhirat dan kembali akhirat yang tak kunjung usai sehingga dia tak bisa diharapkan dan diajak berkompromi dalam jalur perjuangan. Agama tak lebih hanya sebuah candu yang menjadi penyokong terhadap status quo para penindas, begitu dalam pandangan Marxis.

Namun, sekalipun marxis telah menjadi alat perjuangan kelas dengan slogan dan gerakan revolusionernya, toh dia tetap tak mampu mencapai cita-citanya dalam mewujudkan masyarakat tanpa kelas—justru di negara-negara semacam Uni Soviet dengan Pemerintahan Diktator Proletarnya, ia malah menemui ajalnya. Gramsci dalam kritiknya terhadap Marxisme di Uni Soviet adalah, karena hanya dipakai sebagai sebuah alat perjuangan kelas—sekalipun telah memuat sistem dan arah tujuan hidup, marxisme tetap akan mengalami kemunduran karena tergantung pada tokoh dan pengikutnya yang semakin berkurang dan kian tak mampu merespon sistem kapitalisme dalam tataran Global. Lain halnya semisal dengan agama yang akan terus ada sampai kapanpun—dengan berbagai pengikutnya, karena Agama tak hanya sekedar menjadi pandangan hidup namun lebih dari itu, Agama menjadi keyakinan yang mendalam dan mengikat sebagai dasar hidup di dunia dan di akhirat.
Selain sebagai kritik terhadap Marxis, dengan melihat realitas kehidupan masyarakat Amerika Selatan yang terbagi dalam berbagai kelas—dimana sebagian besar warga dalam kehidupan yang tertindas akibat sistem kapitalisme, sementara disisi lain para pemodal duduk manis sebagai kaum Borjuistik kelas kakap, teologi pembebasan justru melihat permasalahan semacam ini dalam sudut pandang Marxis yang material. Dengan demikian, Teologi Pembebasan adalah jembatan tengah antara Marxisme dan Agama yang coba dihubungkan dalam satu simpul alat perjuangan pembebasan dari ketertindasan rakyat, karena pada dsarnya secara hakikat keduanya memiliki misi yang sama, menciptakan masyarakat tanpa penindasan dalam misi menuju “kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan”.

Di dalam Islam sendiri, dimulai dari tafsir Asghar Ali Enginner tentang Islam dan Teologi Pembebasannya, yang secara mendalam memperlihatkan bagaimana sifat-sifat Islam di awal kemunculannya yang begitu revolusioner, mendobrak, hingga sampai pada tataran progresif, dalam menentang kemapanan di Arab yang dikuasai oleh para pedagang borjuistik yang semna-mena, ini semua seolah menjadi sifat Islam yang selama ini hilang semenjak berakhirnya era kenabian dan sahabat. Di reduksinya cara keberagamaan yang hanya memikirkan pemujaan terhadap Tuhan, seolah membuat Islam justru menjadi bagian dari para Borjusitik yang melanggengkan egoisme, menipisnya solidaritas, dan memupuk kebanggaan atas materil di atas ketimpangan sosial. Begitu kontradiktif memang cara berislam semacam ini bila dikembalikan pada nilai-nilai Islam secara hakikatnya.

Dalam gagasan pemikir Mesir, Hasan Hanafi juga memiliki pandangan selurus dengan Asghar Ali Enginer bahwa, Islam harus kembali memunculkna sifat Progresifitasnya sebagai nafas perjuangan. Pembebasan budak, kaum tertindas, pembelaan hak-hak wanita dan kemanusian pada umumnya, sebagaimana yang dicontohkan nabi, itu semua harus kembali dikampanyekan ditengah hegemoni sistem kapitalisme yang penuh dengan riba dan akumulasi nilai serta eksploitasi buruh. Disinilah gagasan Islam Progresif muncul sebagai sebuah kritik dalam menggugat paradigma keislaman kita untuk lebih peduli terhadap persoalan yang menindas kelas bawah. Sebagai sebuah paradigma—dan bukan suatu aliran tersendiri, keberadaan Islam progresif harus dapat dilihat oleh semua aliran Islam yang ada saat ini, tak terkecuali para kaum Fundamentalis (Wahabi, HTI, Kelompok Tarbiyah dan kaum sejenisnya) yang sering kali ilfil dan merasa sinis terhadap penambahan kata di belakang kata Islam—semisal Islam “Progresif”, Islam Liberal ”Liberal”, dan lain-lain, yang sering kali dilihat sebagai bentuk penyelewengan Islam itu sendiri. Karena dalam interpretasi mereka, Islam ya cukup Islam. Tapi tentu menjadi pertanyaan adalah apakah interpretasi Islam merekapun juga benar-benar seutuhnya membawa semangat Nabi, atau hanya mencongkel beberapa bagian. Akan begitu ironis sekali manakala para kaum fundamentalis bersikap antipati terhadap HAM, toleransi, dan Demokrasi—yang padahal nabi mencontohkannya, namun disisi lain mereka hanya mengedepankan urusan Khilafah. Bahkan mereka sibuk membuat simpul pada masyarakat tataran kelas menengah ke atas, dan seolah tutup mata terhadap rakyat kelas bawah.

Lantas bagaimana wacana Khilafah yang sering kali dibangun oleh aliran Fundamentalis dan aktivis ekstremis?  Tentang klaim-klaim implisit para aktivis garis keras bahwa mereka sepenuhnya memahami maksud kitab suci, dan karena itu mereka berhak menjadi wakil Allah (khalifat Allah) dan menguasai dunia ini untuk memaksa siapapun mengikuti pemahaman “sempurna” mereka, sama sekali tidak bisa diterima baik secara teologis maupun secara politis. Para aktivis garis keras berjuang mengubah Islam dari agama menjadi ideologi. Pada kalanya, Islam menjadi dalih dan senjata politik untuk mendiskreditkan dan menyerang siapapun  yang pandangan politik dan pemahaman keagamaanya berbeda dari mereka (sebagai contoh, ulama-ulama NU diserang kala Pilkada Jakarta kemarin, karena ditengarai memiliki pandangan politik yang berbeda). Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh karena siapa pun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam. Padahal jelas tidak demikian. Kita harus sadar bahwa, jika Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik (inilah alasannya mereka selalu nampak menggebu-gebu kala Pemilu, baik di tataran daerah maupun nasional. Namun disisi lain perlu ditekankan bahwa mereka sering kali memanfaatkan para polisi oportunis untuk berkoalisi demi memenangkan kekuasaan saat pemilu, sehingga gerakan mereka sangat berbahaya, (contohnya koalisi PKS dan Demokrat yang memenangkan SBY, PKS-Gerindra yang memenangkan Ridwan Kamil, dan kali ini mengusung Anis-Sandi). Pemahaman apapun yang berbeda dengan cara pandang mereka akan dengan mudah dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan menyeragamkan. Dalam bingkai inilah aksi-aksi pengkafiran maupun pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain. Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku. Jargon memperjuangkan Islam dengan dalih dakwah dan amar ma’ruf nahy munkar, sering kali meperdaya banyak orang. Sering kali simbol-simbol keagamaan yang digunakan seringkali membuat orang awam tertarik, terpesona, terpikat dan terpancing untuk ikut dalam golongan mereka. Sementara mereka sendiri tidak memahami ajaran agama secara substansial (Abdurrahman Wahid (ed), 2009: 19-20).

Dalam pandangan kaum Fundamentalisme, pergeseran terhadap perhatian Islam yang terus di dorong pada persoalan Ideasional sehingga dengan sendiri mengubur perhatian islam terhadap soal-soal material; dari perhatian pada kondisi-kondisi konkret-material kepada pertarungan gagasan-gagasan teologis dan klaim kebenaran, hal semacam ini secara tidak langsung sebenarnya melemahkan posisi dan kekuatan Islam secara sosial yang telah dibangun. Aktualisasi nilai-nilai Islam yang seringkali parsial, sebagaimana diterapkan dalam tataran praksis oleh kaum fundamentalisme agaknya semakin menyuguhkan sifat elitisme umat Islam yang sibuk dalam tararan teologis dan tak pernah menjamah problema umat. Persoalan petani, nelayan, buruh, dan kaum marjinal lainnya dianggap sebagai persoalan individu masing-masing sehingga mereka tak pernah bersuara untuk hal semacam ini. Seringkali mereka juga mneyempitkan pandangan, problematika umat yang sering kali kompleks—terikat masalah politik, ekonomi, sosial (contohlah masalah Palestina dan Timur Tengah pada umunya, Pemilu di Jakarta yang merembet pada kasus penistaan agama, dll.) —justru direduksi dan disempitkan seolah-olah hanya menjadi masalah Agama. Sehingga alih-alih memberikan langkah-langkah yang solutif, mereka justru ikut dalam bagian permasalahan dan seringkali tampil provokatif dengan membawa-bawa identitas ke-Islamannya sebagai alat pembenaran tindakan-tindakan anarkisme tanpa mempedulikan problem umat, sekalipun ribuan petani, buruh, nelayan dan kaum marjinal lainnya terus mendapatkan ketidakadilan.

Mengingat keadilan merupakan nilai-nilai moral yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an tidak kurang ada seratus ungkapan yang memasukan gagasan keadilan, baik dalam bentuk kata-kata yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Demikian pula di dalam kitab itu ada dua ratus peringatan untuk melawan ketidakadilan. Semua ini jelas mencerminkan komitmen Islam terhadap keadilan. Atas dasar itu, Islam Progresif mencoba untuk menggugah seluruh elemen umat Islam untuk masuk dalam suatu perjuangan terutama untuk memperdalam praksis keberislaman yang materialis dalam memperjuangkan segala bentuk ketidakadilan yang menimpa umat. Disamping itu, kritik harus terus-menerus dilakukan terhadap liberalisme dan kapitalisme, dengan kampanye yang berdasarkan atas pembacaan Al-Quran dan sunnah yang materialis yang diperlukan, demikian juga warisan pemikiran Islam yang hendaknya harus menggugah bahwa sejarah islam tidak terpisah dengan sejarah sosial umat Islam, sehingga umat Islam akan lebih reaktif manakala setiap ada problematika umat, baik yang menimpa petani, buruh, nelayan, kaum marjinal lainnya yang seringkali dijadikan korban penindasan dan eksploitasi kebijakan pemerintah yang pro investasi dan korporasi kapital. Mengingat pembacaan semacam ini belum benar-benar dilakukan di kalangan umat Islam, dan karenanya menunggu untuk dilakukan. Tugas teoritis ini sejalan dengan tugas praktis mengaktualkan pesan-pesan pembebasan islam melalui gerakan sosial, politik, dan ekonomi: melepaskan Islam dari kejahatan dan kemungkaran kapitalisme aktual saat ini yang melanggengkan penindasan sewenang-wenang. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama