Menghamba kepada Pencipta dan Ciptaan-Nya

 
Shalat dan Zakat. Sumber : republika.co.id


Bismillahirrohmanirrohim.

Dalam kitab sirotun nabawiyyah, disampaikan bahwa inti kitab Al Quran terangkum dalam surah Al Fatihah. Lalu, di dalamnya terdapat lagi inti, yakni pada ayat pertama.

Seluruh ayat Al Quran adalah ucapan Allah. Ucapan yang berisi perintah, ilmu dan menyirat suatu kerahasiaan. Dari semua itu, bagian pokok terdapat pada lafal Bismillahirrohmanirrohim. Yang mana, kita sering memaknainya “dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Kita sering melafalkan bismillahirrohmanirrohim. Dengan maksud, agar setiap hal yang kita jalani mendapat keberkahan, kebaikan dan bernilai ibadah (karena kita terjaga untuk mengingat Allah: dzikir).

Lafal bismillahirrohmanirrohim yang sering kita ucapkan barangkali tidak sekadar berarti mengingati Allah. Namun, secara tersirat juga berarti teguran kepada kita. “Tirulah Tuhanmu! Allah. Aku mengasihi dan menyayangi apa pun. Aku mewujud alam semesta. Dan Aku juga mewujud engkau, wahai manusia. Jika engkau menyakiti manusia dan apa pun di semesta ini, maka engkau juga menyakiti-Ku. Dan barangsiapa menyakiti-Ku, maka akan jauh dari rida-Ku.”

Kira-kira begitulah teguran Allah andai Dia berfirman sekali lagi, menyaksikan kita, ciptaan-Nya, yang mulai tidak sadar diri sebagai makhluk berakal dan berhati yang mestinya merawat makhluk lain. Mungkin ia berkata dengan nada senyum, bisa juga marah, bisa juga tidak keduanya, atau malah ekspresi lain yang tak pernah tergambar dalam pikiran manusia, semua itu sama saja. Sama-sama Allah lakukan dengan dasar kasih sayang dan cinta.

Aku jadi teringat pertanyaan yang dilayangkan guruku kepada teman-teman sekelas sewaktu masa Aliyah (sekolah setingkat SMA, SMU, SLTA dan SMK). Kala itu, aku dan teman-teman sedang menerima mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Di sela-sela ceramah, guruku berkata “Mengapa dalam Al Quran kata salat sering bersanding dengan zakat?” demikian ucapnya. Segera kupikirkan mengapa demikian. Bermenit-menit telah lewat, namun tak satu pun jawaban dan alasan terlintas dalam benakku. Bagaimana menganalisa kaitan keduanya, sedang aku sendiri belum paham betul makna salat dan zakat.

Teman-temanku diam, guruku juga diam: menunggu jawaban murid. Kebisuan di kelas itu berhenti ketika guruku melanjutkan ceramah. Guruku melempar kembali pertanyaan itu, dan barulah kutangkap maksud tersiratnya. Guruku tidak sedang menguji pemahaman murid sekelas. Namun ia juga bertanya: mengapa demikian? Sejak tadi guruku sedang menunggu jawaban dari murid-muridnya.
 
Pertanyaan itu terlupakan, dan kini muncul kembali di pikiranku. Sekali waktu, saat perjalanan, aku memikirkannya. Aku memenung, pikiran melayang-layang, mengaitkan kisah-kisah yang kudapat, lalu kucari kesamaan isi dan pesan tersirat di dalamnya.

Kisah Pertama[1]Ketika Umar bin Khattab wafat, sahabat bertemu dengannya dalam mimpi. Sahabat pun bertanya, bagaimana Allah memperlakukannya? Umar bin Khattab menjawab: Allah mengampuniku dari kekeliruan dan membebaskanku dari siksa. Sahabat bertanya kembali: apa penyebabnya? Karena kedermawanan, keadilan atau kezuhudanmu?

Umar bin Khattab bercerita: saat di alam kubur, sejenak usai dimakamkan. Ia kehilangan nalar sewaktu dua malaikat menghampirinya. Melihat hal itu, Allah memberi perintah kepada malaikat agar tidak membuatnya takut. Allah berkata, bahwa Dia telah membebaskan siksa darinya. Allah mengasihi Umar bin Khattab, karena saat di dunia ia berbelas kasih kepada burung pipit.

Kisah itu bermula ketika Umar bin Khattab sedang berjalan menuju alun-alun kota. Saat dalam perjalanan, ia menjumpai anak-anak yang memperlakukan burung pipit bagai mainan. Umar bin Khattab tak tega melihat perlakuan anak-anak itu. Segera, Umar bin Khattab membeli burung pipit itu lalu melepasnya terbang.

Kisah Kedua[2]Dahulu, ketika Imam Al Ghazali menulis kitab, datanglah seekor lalat. Menyaksikan hal itu, Imam Al Ghazali menghentikan tulisannya. Ia beri kesempatan pada lalat untuk meminum tintanya.

Pada kemudian waktu, Imam Al Ghazali wafat dan saat itu Allah bertanya kepadanya, bekal apa yang ia bawa untuk-Nya. Imam Al Ghazali pun menyebut bermacam ibadah yang telah ia lakui.
“Aku menolak itu semua!” demikian ucap Allah kepada Imam Al Ghazali. Dari sekian besar amal itu, amal kepada lalatlah yang Dia terima.

Kisah Ketiga[3]Seekor anjing yang hampir mati kehausan berputar-putar pada sebuah sumur. Seorang pelacur dari Bani Israil menyaksikan hal itu dalam perjalanannya. Segera, ia melepas sepatu lalu mengambil air untuk anjing itu.

Tak lama, wanita itu meninggal dunia karena kehausan setelah mengorbankan air yang tersisa di sumur untuk diminumkan kepada anjing. Turunlah malaikat ke bumi. Malaikat Raqib dan Atid sibuk mencatat amal pelacur, sedang Malaikat Ridwan dan Malik berebut untuk memasukkan pelacur itu ke surga atau neraka.
 
Allah menengahi kejadian itu dengan berfirman bahwa wanita itu telah menebus dosa dengan mengorbankan nyawa demi makhluk-Nya yang lain.

Selain ketiga kisah itu, dikisahkan pula tentang seorang wanita masuk neraka karena membiarkan seekor kucing mati.[4] Si wanita tidak memberi makan dan minum kepada kucing bahkan melepas si kucing untuk memakan serangga di bumi pun tidak.

Ada pula kisah Imam As Syibli,[5] seorang ulama yang banyak menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu dan ibadah kepada Allah. Sewaktu ia wafat, Allah bertanya kepadanya. Amal apa yang menjadikan Allah mengampuninya? Imam As Syibli menyebut berbagai ibadah yang telah ia lakukan: haji, puasa, salat dan menuntut ilmu. Namun Allah menolak semua itu dan berkat sebuah amallah Imam As Syibli memperoleh ampunan-Nya.

Kala itu Imam As Syibli sedang berjalan di pinggiran kota Baghdad, lalu ia temukan seekor anak kucing yang merapat di pinggiran tembok karena kedinginan. Segera, Imam As Syibli mengambil anak kucing itu, lalu memasukkannya ke jubah agar mendapat kehangatan.


Kisah-kisah itu menyampaikan kepada kita, bahwa berkasih sayang kepada makhluk-Nya juga bernilai utama. Besar-kecil suatu amal mesti kita lakui, karena kita tidak tahu amal mana yang membawa kita menuju surga.

Dari kisah-kisah itu, kutemui kemungkinan jawaban mengapa salat dan zakat sering bersanding dalam Al Quran.

Dalam logika bahasa, “Salat dan zakat” dimaknai sebagai dua kata (Salat, zalat) yang memiliki kesetaraan. Hal ini menjadi demikian karena terdapat kata “Dan” di antara keduanya.

Dalam logika matematika, “Salat dan zakat” dimaknai sebagai dua kata yang mesti kita pilih keduanya. Hal ini menjadi demikian juga karena keberadaan kata “Dan” di antara kedua kata tersebut (salat, zakat).

Makna berubah ketika di antara kata tersebut (Salat, zakat) disisipi kata “Atau”. Kita bisa memilih salah satunya, hanya salat atau hanya zakat. Namun dalam konteks ini penghubung kedua kata tersebut adalah “Dan”, dan kita tak bisa memilih salah satunya dan mesti keduanya, menjalani salat dan zakat.

Salat merupakan ibadah kepada Allah, sedang zakat merupakan ibadah kepada manusia. Allah adalah pencipta, sedang manusia adalah ciptaan-Nya. Dapat diartikan kembali bahwa salat adalah simbol ibadah kepada Pencipta, sedang zakat adalah simbol ibadah kepada ciptaan-Nya.
Ibadah secara harfiah berarti menghamba. Kita artikan kembali bahwa salat adalah simbol menghamba kepada Pencipta, sedang zakat adalah simbol menghamba kepada ciptaan-Nya.

Kembali pada pertanyaan awal: mengapa salat dan zakat sering bersanding dalam Al Quran? Karena salat dan zakat adalah hal yang setara dan mesti kita jalani keduanya. Ibadah tidak semata-semata kepada Allah, namun juga kepada ciptaan-Nya: Manusia dan Alam.



[1] Kitab Al-Aqthaf Ad-Daniyyah dan  kitab Usfuriyah.
[2] Kitab Al-Aqthaf Ad-Daniyyah dan  kitab Usfuriyah.
[3] Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad.
[4] Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
[5] Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad.
 
 (Anisatul Izah/Kader Rayon Nusantara)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama