Bismillahirrohmanirrohim.
Dalam kitab sirotun nabawiyyah, disampaikan bahwa inti kitab Al Quran terangkum
dalam surah Al Fatihah. Lalu, di dalamnya terdapat lagi inti, yakni pada ayat
pertama.
Seluruh ayat Al Quran adalah ucapan
Allah. Ucapan yang berisi perintah, ilmu dan menyirat suatu kerahasiaan. Dari semua
itu, bagian pokok terdapat pada lafal Bismillahirrohmanirrohim.
Yang mana, kita sering memaknainya “dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang.”
Kita sering melafalkan bismillahirrohmanirrohim. Dengan maksud,
agar setiap hal yang kita jalani mendapat keberkahan, kebaikan dan bernilai
ibadah (karena kita terjaga untuk mengingat Allah: dzikir).
Lafal bismillahirrohmanirrohim yang sering kita ucapkan barangkali tidak
sekadar berarti mengingati Allah. Namun, secara tersirat juga berarti teguran
kepada kita. “Tirulah Tuhanmu! Allah. Aku mengasihi dan menyayangi apa pun. Aku
mewujud alam semesta. Dan Aku juga mewujud engkau, wahai manusia. Jika engkau
menyakiti manusia dan apa pun di semesta ini, maka engkau juga menyakiti-Ku.
Dan barangsiapa menyakiti-Ku, maka akan jauh dari rida-Ku.”
Kira-kira begitulah teguran Allah andai
Dia berfirman sekali lagi, menyaksikan kita, ciptaan-Nya, yang mulai tidak
sadar diri sebagai makhluk berakal dan berhati yang mestinya merawat makhluk
lain. Mungkin ia berkata dengan nada senyum, bisa juga marah, bisa juga tidak
keduanya, atau malah ekspresi lain yang tak pernah tergambar dalam pikiran
manusia, semua itu sama saja. Sama-sama Allah lakukan dengan dasar kasih sayang
dan cinta.
Aku jadi teringat pertanyaan yang
dilayangkan guruku kepada teman-teman sekelas sewaktu masa Aliyah (sekolah
setingkat SMA, SMU, SLTA dan SMK). Kala itu, aku dan teman-teman sedang
menerima mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Di sela-sela ceramah,
guruku berkata “Mengapa dalam Al Quran kata salat sering bersanding dengan zakat?”
demikian ucapnya. Segera kupikirkan mengapa demikian. Bermenit-menit telah
lewat, namun tak satu pun jawaban dan alasan terlintas dalam benakku. Bagaimana
menganalisa kaitan keduanya, sedang aku sendiri belum paham betul makna salat
dan zakat.
Teman-temanku
diam, guruku juga diam: menunggu jawaban murid. Kebisuan di kelas itu berhenti
ketika guruku melanjutkan ceramah. Guruku melempar kembali pertanyaan itu, dan barulah
kutangkap maksud tersiratnya. Guruku tidak sedang menguji pemahaman murid sekelas. Namun ia juga
bertanya: mengapa demikian? Sejak tadi guruku sedang menunggu jawaban dari murid-muridnya.
Pertanyaan itu terlupakan, dan kini muncul
kembali di pikiranku. Sekali waktu, saat perjalanan, aku memikirkannya. Aku memenung,
pikiran melayang-layang, mengaitkan kisah-kisah yang kudapat, lalu kucari
kesamaan isi dan pesan tersirat di dalamnya.
Kisah Pertama[1]─Ketika Umar bin Khattab wafat, sahabat bertemu
dengannya dalam mimpi. Sahabat pun bertanya, bagaimana Allah memperlakukannya?
Umar bin Khattab menjawab: Allah mengampuniku dari kekeliruan dan membebaskanku
dari siksa. Sahabat bertanya kembali: apa penyebabnya? Karena kedermawanan,
keadilan atau kezuhudanmu?
Umar bin Khattab bercerita: saat di
alam kubur, sejenak usai dimakamkan. Ia kehilangan nalar sewaktu dua malaikat
menghampirinya. Melihat hal itu, Allah memberi perintah kepada malaikat agar
tidak membuatnya takut. Allah berkata, bahwa Dia telah membebaskan siksa
darinya. Allah mengasihi Umar bin Khattab, karena saat di dunia ia berbelas
kasih kepada burung pipit.
Kisah itu bermula ketika Umar bin
Khattab sedang berjalan menuju alun-alun kota. Saat dalam perjalanan, ia
menjumpai anak-anak yang memperlakukan burung pipit bagai mainan. Umar bin
Khattab tak tega melihat perlakuan anak-anak itu. Segera, Umar bin Khattab
membeli burung pipit itu lalu melepasnya terbang.
Kisah Kedua[2]─Dahulu,
ketika Imam Al Ghazali menulis kitab, datanglah seekor lalat. Menyaksikan hal
itu, Imam Al Ghazali menghentikan tulisannya. Ia beri kesempatan pada lalat
untuk meminum tintanya.
Pada kemudian waktu, Imam Al Ghazali
wafat dan saat itu Allah bertanya kepadanya, bekal apa yang ia bawa untuk-Nya.
Imam Al Ghazali pun menyebut bermacam ibadah yang telah ia lakui.
“Aku menolak itu semua!” demikian
ucap Allah kepada Imam Al Ghazali. Dari sekian besar amal itu, amal kepada
lalatlah yang Dia terima.
Kisah Ketiga[3]─Seekor anjing yang hampir mati kehausan berputar-putar
pada sebuah sumur. Seorang pelacur dari Bani Israil menyaksikan hal itu dalam
perjalanannya. Segera, ia melepas sepatu lalu mengambil air untuk anjing itu.
Tak
lama, wanita itu meninggal dunia karena kehausan setelah mengorbankan air yang
tersisa di sumur untuk diminumkan kepada anjing. Turunlah malaikat ke bumi.
Malaikat Raqib dan Atid sibuk mencatat amal pelacur, sedang Malaikat Ridwan dan
Malik berebut untuk memasukkan pelacur itu ke surga atau neraka.
Allah menengahi kejadian itu dengan
berfirman bahwa wanita itu telah menebus dosa dengan mengorbankan nyawa demi
makhluk-Nya yang lain.
Selain ketiga kisah itu, dikisahkan pula
tentang seorang wanita masuk neraka karena membiarkan seekor kucing mati.[4] Si wanita
tidak memberi makan dan minum kepada kucing bahkan melepas si kucing untuk
memakan serangga di bumi pun tidak.
Ada pula kisah Imam As Syibli,[5] seorang
ulama yang banyak menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu dan ibadah kepada
Allah. Sewaktu ia wafat, Allah bertanya kepadanya. Amal apa yang menjadikan
Allah mengampuninya? Imam As Syibli menyebut berbagai ibadah yang telah ia
lakukan: haji, puasa, salat dan menuntut ilmu. Namun Allah menolak semua itu
dan berkat sebuah amallah Imam As Syibli memperoleh ampunan-Nya.
Kala itu Imam As Syibli sedang berjalan
di pinggiran kota Baghdad, lalu ia temukan seekor anak kucing yang merapat di
pinggiran tembok karena kedinginan. Segera, Imam As Syibli mengambil anak
kucing itu, lalu memasukkannya ke jubah agar mendapat kehangatan.
Kisah-kisah itu menyampaikan kepada
kita, bahwa berkasih sayang kepada makhluk-Nya juga bernilai utama. Besar-kecil
suatu amal mesti kita lakui, karena kita tidak tahu amal mana yang membawa kita
menuju surga.
Dari kisah-kisah itu, kutemui kemungkinan
jawaban mengapa salat dan zakat sering bersanding dalam Al Quran.
Dalam logika bahasa, “Salat dan
zakat” dimaknai sebagai dua kata (Salat, zalat) yang memiliki kesetaraan. Hal
ini menjadi demikian karena terdapat kata “Dan” di antara keduanya.
Dalam logika matematika, “Salat dan
zakat” dimaknai sebagai dua kata yang mesti kita pilih keduanya. Hal ini menjadi
demikian juga karena keberadaan kata “Dan” di antara kedua kata tersebut
(salat, zakat).
Makna berubah ketika di antara kata
tersebut (Salat, zakat) disisipi kata “Atau”. Kita bisa memilih salah satunya,
hanya salat atau hanya zakat. Namun dalam konteks ini penghubung kedua kata
tersebut adalah “Dan”, dan kita tak bisa memilih salah satunya dan mesti
keduanya, menjalani salat dan zakat.
Ibadah secara harfiah berarti
menghamba. Kita artikan kembali bahwa salat adalah simbol menghamba kepada
Pencipta, sedang zakat adalah simbol menghamba kepada ciptaan-Nya.
Kembali pada pertanyaan awal:
mengapa salat dan zakat sering bersanding dalam Al Quran? Karena salat dan
zakat adalah hal yang setara dan mesti kita jalani keduanya. Ibadah tidak
semata-semata kepada Allah, namun juga kepada ciptaan-Nya: Manusia dan Alam.
[1] Kitab Al-Aqthaf Ad-Daniyyah dan kitab Usfuriyah.
[2] Kitab Al-Aqthaf Ad-Daniyyah dan kitab Usfuriyah.
[3] Syekh Nawawi Al-Bantani
dalam Nashaihul ‘Ibad.
[4] Hadits Riwayat Al-Bukhari
dan Muslim.
[5] Syekh Nawawi Al-Bantani
dalam Nashaihul ‘Ibad.
(Anisatul Izah/Kader Rayon Nusantara)