Finlandia yang dinyatakan sebagai salah satu negara
dengan sistem pendidikan terbaik, disana anak-anak hanya belajar selama 3 hingga 4 jam. Itupun dalam kegiatannya banyak
metode pembelajaran berbasis permainan. Selain itu jam istirahatnya lumayan
panjang. Masih banyak lagi keunikan dalam sistem pendidikan di Finlandia,
diantaranya: anak-anak hanya diperbolehkan masuk sekolah dasar saat sudah 7
tahun, dengan maksud menjaga kesiapan mental anak; perbandingan waktu belajar
dengan waktu istirahat di sekolah 3:1; tidak ada standar dan sistem rangking di
kelas; kualitas setiap sekolah sama dan tidak ada persaingan antar sekolah;
tidak ada ujian nasional; semua guru
bergelar master dan dalam mengajar hanya dibebani 20 jam per minggunya.
Logika
Perburuhan
Sementara di Indonesia—semenjak keluarnya wacana
sekolah sehari penuh oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy,
bakal diberlakukan sekolah selama 8 jam perhari mulai tahun ajaran baru, Juli
2017. Dengan demikian maka jam belajar siswa di Indoensia bakal memiliki durasi
dua kali lipat lebih lama dibanding dengan Finlandia yang rata-rata jam belajar
siswa hanya 4 jam perhari. Pertanyaanya kemudian adalah apa yang ingin dicapai
bapak Menteri kita? Padahal bila kita berkaca terhadap hasil penelitian tentang
jam biologis anak yang kini mulai menjadi acuan di Inggris, Amerika, dan juga
Finlandia, jam biologis anak usia SD dimulai jam 9 pagi. Sedangkan usia SMP
dimulai jam 10 pagi. Sebab, kebutuhan tidur mereka masih 10 jam per hari. Lebih
lama dari kebutuhan orang dewasa. Sekolah lebih siang tidak akan membuat anak
jadi larut tidur, tapi justru makin mudah bangun.
Maka sangat
disayangkan bila keharusan masuk sejak jam 7 pagi justru seringkali menyebabkan
murid-muridnya mengantuk, karena tidak mempertimbangkan jam biologis tersebut. Padahal
memahami masalah jam biologis anak amat sangat penting agar siswa benar-benar
optimal menerima pelajaran, dan bukan sebaliknya.
Mengharuskan anak untuk sekolah selama 8 jam
perhari nampaknya akan memaksa anak untuk ikut merasakan bagaimana rasanya kala
orang dewasa bekerja di pabrik, swalayan, kantor dan berbagai aktivitas
kepentingan orang dewasa (pekerja industri) lainnya. Apalagi bila dicermati
aturan ini (sekolah 8 jam) dibarengi
dengan terbitnya Peraturan pemerintah 19/27 tentang Guru yang menyebut bahwa
setiap guru harus mengajar (tatap muka) minimal 24 jam dan maksimal 40 jam
seminggu (seperti jam PNS pada umumnya )—padahal di Finlandia guru hanya
mengajar maksimal 20 jam per minggu. Dengan sekolah yang hanya sampai jam 1
siang, dan konsep tatap muka dibatasi hanya jam pelajaran di kelas, maka target
itu sulit dicapai seorang guru, dan pastilah akan mempengaruhi tunjangan.
Maka dari sini kita melihat bagaimana konsep
pendidikan anak harus beradaptasi dengan sistem administrasi dan birokrasi
orang dewasa, dan bukan sebaliknya. Pemaksaan sekolah 8 jam seolah ingin
menegaskan adanya target kurikulum yang ingin dijejalkan kepada anak-anak.
Menu-menu pelajaran dari A-Z seakan dipaksakan berlaku secara nasional dari
Sabang sampai Merauke, tak peduli sekolah itu di pedalaman Papua atau di mana.
Karena seperti yang kita tahu bahwa standar pendidikan kita diukur dari nanti
lewat Ujian Nasional—yang justru tak pernah ada di Finlandia, dan bukan dari
kualitas yang mencerminkan potensi anak-anak sesuai dengan asal daerah
masing-masing yang seharusnya menjadi cermin karakter dan kearifan lokal di
tiap-tiap daerah. Kurikulum pendidikan kita seakan memang tak pernah didesain
untuk mendekatkan anak dengan potensi maksimalnya beradaptasi dengan konteks
sosial dan lingkungan, melainkan menyiapkannya menjadi pelayan industri dan
birokrasi.
Menarik untuk kita pertanyakan kembali, kala
Menteri Muhadjir menyebut kebijakan sekolah 8 jam adalah bagian dari “Penguatan
Pendidikan Karakter” dari Presiden Jokowi, kita patut menggeledah, karakter apa
yang dimaksud oleh presiden dan menterinya.
Sekolah 8
jam ini juga diklaim ingin mengembalikan hakikat guru sebagai pendidik (Kompas,
14 Juni 2017). Dengan sekolah 8 jam, guru dituntut terlibat dalam pendidikan
ekstrakurikuler, bahkan diluar sekolah, dan tidak hanya lewat tatap muka di
kelas. Tapi pertanyaanya apakah untuk memenuhi tujuan ini apakah guru sudah
dibekali kecakapan semacam itu?
Melihat berbagai penjabaran di atas, penegasan seperti
“Penguatan pendidikan karakter” atau “mengembalikan hakikat guru” nampaknya
hanya menjadi sebuah narasi-narasi besar yang tak ada kaitannya dengan apakah
sekolah cukup 5 atau jadi 8 jam. Karena bahkan negara sendiri dan pejabartnya
tak cukup cakap mendefinisikan “karakter” dan “hakikat”.
Matinya Madrasah Diniyah dan TPQ
Hingga saat ini di Indonesia diperkirakan terdapat
13.904 pondok pesantren dengan total santri berjumlah 3.201.582 dan 322.328
uztadz. Sedangkan di Madrasah Takmiliyah mencapai 76.566 lembaga yang memiliki
6.000.062 santri dan 443.842 ustadz. Adapun pendidikan Alquran (TKA, TPA, TQA)
mencapai 134.860 lembaga yang memiliki 7.356.830 santri dan 620.256 ustadz
(Metrotvnews 14 Juni 2017).
Fakta ini nampaknya semakin mneyuguhkan dan
memperkuat fakta historis bahwa, pendidikan di tanah air tidak bisa lepas dari
yang namanya pendidikan pesantren atau secara lebih luasnya pendidikan non-formal
dan informal. Bila kita menengok secara historis, maka pada dasarnya pendidikan pesantren, madrasah-madrasah
diniyah, dan sejenisnya telah menjadi kultur sekaligus model pendidikan sejak
masa sebelum kita merdeka. Lantas bagaimana dengan pendidikan formal yang kita
terapkan? Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa pendidikan formal kita semula
lahir dari masa kolonial Belanda. waktu itu, berkat kebijakan politik etis
Belanda—mereka memberikan kesempatan pendidikan pada orang-orang pribumi untuk
dapat mengenyam pendidikan. Meskipun Belanda memiliki maksud tersendiri atas
hal ini, yakni menyiapkan para orang-orang pribumi agar cakap dan memiliki
kemampuan untuk dipekerjakan sebagai pekerja administrasi di Pemerintah Hindia
Belanda ataupun menjadi para pekerja di pabrik-pabrik yang ada kala itu. Inilah
sebenarnya tujuan besar dari pemerintah kolonial Belanda waktu itu dalam
politik etisnya yang mencakup tiga hal, Edukasi, Irigasi, dan Tranmigrasi.
Maka bila sekarang orientasi pendidikan kita masih
tidak bisa lepas dari embrio semacam ini (hanya mencetak para aparat birokrasi dan
pekerja pabrik), kita semakin mengamini
bahwa pendidikan kita sudah terjajah sejak dari alam pikirnya yang sejauh ini
ternyata tidak beranjak.
Permendikbud Nomor 25 Tahun 2017 yang menjadi
dasar hukum penerapan secara nasional mengenai sekolah lima hari nampak
bukanlah sebuah koonsep yang proporsional yang bisa diterapkan secara nasional.
kebijakan yang bakal membuat siswa harus sekolah selama seharian ini, akan
membuat anak tidak lagi bisa belajar keagamaan pada sore hari di madrasah-madrasah
diniyah, TPA, TQA, TKA, yang sejauh ini telah berjasa dalam membentuk
keperibadian anak, ilmu keagamaan, hingga karakter dan moral anak yang
seringkali tidak didapatkan dalam sekolah-sekolah umum dan formal.
Maka kebijakan Full Day School akan sangat
mengancam keberadaan madrasah-madrasah diniyah, TQA, TPA, TKA yang menjadi
basis pengajaran agama di kalangan anak-anak. Lembaga-lembaga semacam ini pastilah
akan terancam tutup. Maka bisa dibayangkan betapa akan carut-marutnya moral dan
pengetahuan keagamaan generasi mendatang bila pondasi moral dan keagamaan anak
tidak dibangun sejak kecil melalui madrasah-madrasah diniyah dan wadah-wadah
pendidikan Al-Quran—yang bakal tutup akibat kebijakan Pak Menteri.
Penguatan pendidikan karakter memang harus kita
dukung, namun sayang sekali bila upaya ini hanya dikerdilkan dengan menambah
jam sekolah anak menjadi 8 jam. Nampaknya kita yang sitem pendidikannya secara
dunia masih amat sangat tertinggal—sebagaimana yang dirilis oleh Organisation
For Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia menempati urutan 57
dari total 65 negara (edupost.id 28 April 2016) harus banyak berkaca dengan
negara-negara seperti Finlandia, Jepang, Jepang, Singapura, Amerika, yang mana
kualitas pendidikan mereka yang baik bukan karena di dukung oleh lamanya waktu
belajar di sekolah, melainkan melalui kualitas aspek-aspek penunjang pendidikan
itu sendiri seperti, kualitas guru, fasilitas sekolah, model pembelajaran, dan
lain-lain. Hal ini nampaknya lebih terasa substansial dan fundamental daripada
harus menciptakan kebijakan Full Day School.
Tags:
Opini