Oleh Eko Santoso (Ketua Bidang Eksternal PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Rabu – 00:30 WIB
“Kutukan
dan kritikan apapun yang katanya melawan sistem kapitalis, struktur politik
yang menopangnya, dan seluruh sistem kehidupan yang ada, tanpa menyajikan
perencanaan yang jelas untuk transformasi modus produksi, adalah revolusioner
PALSU.”
(Antonio
Negri, “The Common Before Power,”2017)
Sejauh ini ada dua pandangan
umum yang melekat dengan mahasiswa dalam ikatannya terkait perubahan. Pertama
adalah kalangan optimisme. Hal ini didasari pada latar belakang historis yang
hingga kini masih menyisakan romantisme berkepanjangan tak berujung. Wacana dan
narasi yang menempatkan mahasiswa sebagai bagian subjek tak tertinggalkan yang
terus diproduksi dalam acara-acara seminar dan diskusi jalanan dalam tanggal-tanggal
tertentu menjadi selebrasi rutinan mengenang memorable soal kebangkitan dan pergerakan bangsa ini, ditambah
dengan angkatan 65 dan 98 yang dianggap bentuk minoritas kreatif yang berhasil survive dalam rezim otoriter. Pandangan
ini diamini oleh mereka para kaum organisatoris baik di dalam maupun di luar kampus.
Kedua adalah kalangan
yang skeptis. Selain tentang realitas kekinian yang menunjukan sikap manja dan
miskinnya mahasiswa dalam
sebuah narasi dan imajinasi pergerakan dan perubahan, pandangan ini didasari
oleh mereka yang memiliki pemikiran destruktif yang menempatkan mahasiswa tak
memiliki identitas terpisah dengan masyarakat umumnya, apalagi menyakralkannya. Sehingga
tak ada identitas khusus yang dimiliki mahasiswa dalam kaitannya dengan perubahan
karena mereka sama-sama memiliki klasifikasi sebagai masyarakat yang ditindas
sistem struktur kapitalistik.
Terlebih terjadinya
polarisasi di kalangan mahasiswa itu sendiri yang terjebak dan justru
melahirkan adanya binary opposition
(aktivis-akademis, organ ektra-organ intra). Hal ini, disadari ataupun tidak,
melahirkan adanya populisme sempit di kalangan mahasiswa itu sendiri. Misalnya,
bagi mereka yang mengaku aktivis acapkali menganggap mahasiswa yang tak masuk
dalam lingkarannya sebagai pihak yang antipati terhadap gerakan yang mereka
suarakan, terlebih soal idealisme, hanya mereka yang mengaku aktivis lah yang
dinilai paham soal pergerakan dan revolusi. Sedangkan bagi mahasiswa yang lebih
tertarik dan memiliki achievement
oriented acapkali memblokade diri untuk terlibat dalam aksi dan gerakan
sosial yang dianggapnya hanya berisi orang-orang yang banyak bicara dan nol
dalam kontribusi dan prestasi. Akhirnya, mereka merasa merekalah yang
memberikan bukti terhadap perubahan.
Di zaman yang mana
sistem kapitalistik sudah menjamahi
segala lini kehidupan dengan topangan modal serta teknologi yang mampu
dihasilkan untuk mendukung apapun segala mode produksi, maka mau atau tidak,
kutipan tulisan paling atas dari tulisan yang diambil dari Antonio Negri, “The Common Before Power,”2017, menjadi kritik bagi
kemapanan dua pandangan tadi dengan segala intrik yang meyertainya.
Pertama, romantisme
gerakan mahasiswa dari orok hingga 65 dan 98 harus didekonstruksi karena
mengalami cacat. Mereka terjebak dalam kebingungan dalam rencana masa depan
yang tak terumuskan dalam mengelola sistem negara yang penghuni tak sahnya
telah mereka usir. Alhasil, ketika sebagian mereka kemudian memilih menjadi
penghuni rumah itu, mereka tak mampu membersihkan rumah itu, sedangkan
sebagiannya memilih untuk tidak masuk dalam rumah karena kotorannya sudah
menjadi kerak dan mustahil dibersihkan, mengingat mereka tak membawa pembersih
super yang seharusnya mereka siapkan sedari awal. Maka sudah dapat dipastikan
rumah itu tetap kotor.
Kedua, mahasiswa dengan
capacity yang bagus dalam sains,
teknologi, dan media yang memiliki motivasi berlebih dalam achievement oriented tidak bisa lagi mengelak untuk tidak mengerti
soal filsafat, ideologi, pergerakan, revolusi dan hal lain yang masuk dalam
agenda membangun kesadaran untuk mencari alternatif dari kemapanan penguasa
modal, ilmu, kekuasaan, dan teknologi yang menjadi penyokong utama sistem
kapitalistik. Hal ini menjadi penting karena tanpa keberadaan mahasiswa dan
orang-orang dengan kapasitas demikian, sekalipun kendali kekuasan dan politik
dikuasi kaum pergerakan dan revolusioner, kita akan justru dikendalikan secara
teknologi, modal, dan sains.
Ketiga, kesadaran tidak
boleh menjadi sesuatu yang privat dan eksklusif
bahkan dikomoditaskan. Kesadaran soal teknologi misalnya, ketika itu menjadi
privat, eksklusif bagi sebagian orang, maka resikonya akan sangat mungkin terjadi
penindasan atas mereka yang tak memiliki kesadaran itu. Sedangkan bagi kelas
pekerja dan mahasiswa khususnya, mereka yang paham teknologi dan sains tanpa
memiliki kesadaran kelas selamanya hanya akan menjadi kepanjangan tangan mode
produksi kapitalistik. Juga sebaliknya, kesadaran soal gerakan, perubahan,
revolusi, yang hanya dimiliki oleh sebagian pihak yang dalam hal ini adalah
mahasiswa, akan membuat munculnya rasa antipati terhadap mereka yang berada di luar lingkup
gerakannya. Sehingga memelihara binary
opposition yang tercipta tadi. Hal ini akan berdampak pada tidak autentik
dan kompleksnya gerakan yang mereka tawarkan. Sehingga akan sangat mustahil
mampu merumuskan dan merencanakan sebuah transformasi yang mencakup pula modus
produksi di zaman
yang sudah ditopang teknologi.
Terakhir, perlu untuk
memahamkan bahwa tak ada identitas khusus yang dimiliki mahasiswa dalam
kaitannya dengan perubahan, karena mereka sama-sama memiliki klasifikasi
sebagai masyarakat yang ditindas sistem struktur kapitalistik. Artinya dalam
makna yang lebih sempit, tak perlu pula membedakan mahasiswa aktivis dan
akademik. Semua sama-sama memiliki agenda transformasi untuk mendobrak
kemapanan sistem dan struktur kapitalistik yang sama, terlebih mereka ditopang
oleh digitalisasi dan teknologi.
Tags:
Opini