Benarkah Ilmu?

Oleh Pancaksara Lukfi (PMII Rayon Pancasila, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Sabtu – 18:18 WIB


Sebagai seorang yang terlahir dari orang tua muslim dan menempuh beberapa jenjang pendidikan muslim, tentunya saya akrab dengan istilah tholabul ‘ilmi. “Tholabul 'ilmi minal Mahdi ilal Lahdi.” Begitulah kira-kira saya dan teman-teman merapal dan menghafal hadist—yang belakangan saya dengar berstatus maudhu'—itu dengan kepenuhan hati dan kepatuhan untuk menerima itu tanpa terbesit niat untuk menginterupsi.

Doktrin Tholabul Ilmi tersebut bagi saya cukup mengakar, walaupun beberapa kali sempat saya pikirkan—sudah sejak lama saya memiliki kebiasaan melakukan verifikasi tentang apapun yang ada dalam kepala, sekalipun itu berasal dari ajaran agama yg biasanya diajarkan secara rigid dan monologal—tapi yang saya temui adalah betapa entengnya kami menerima kalimat itu tanpa memberanikan diri untuk bertanya “mengapa?” atau “apakah benar harus begitu?”.

Dalam beberapa kali kesempatan saya sempat mempertanyakan terkait beberapa hal yang menurut saya cukup doktriner dan terkategori sebagai mitos—segala sesuatu yang diandaikan begitu saja tanpa pernah dipertanyakan keabsahannya, bahkan mempertanyakan adalah sebuah kesalahan—yanh lebih sering mengganggu saya daripada merasakan kenikmatan ilmu/kawruhan. Tepat seperti prediksi saya sebelumnya, guru/ustadz dan kiai hanya menjawab “lah, buat apa ditanyakan? Ini sudah pasti kebenarannya tinggal manut saja sama 'ulama nanti hidup kita bakal berkah dan selamat..” kira-kira begitu.

Saat itu saya menyimpulkan bahwa ilmu agama hanya perlu diyakini tanpa perlu dipertanyakan, dikaji apalagi diteliti. Begitulah tradisi pengajaran agama yang kadung menjadi kewajaran dan common sense pada masyarakat kita. Tradisi intelektual yg demikian itu menjadikan masyarakat kita begitu dekat dengan takid buta sampai logika mustika, menolak rasionalitas bahkan 'pikiran' itu sendiri, mengapa?

Belakangan saya mencurigai bahwa model dan tradisi demikian yang berpengaruh besar pada kemajuan intelektual suatu bangsa—yang berbanding lurus dengan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan. Secara kasat mata tentu kita dapat dengan mudah melihat bahwa sebagian besar negara-bangsa yang memiliki kemajuan intelektual, pembangunan dan kesejahteraan adalah mereka negara-bangsa yang masyarakatnya tidak begitu mementingkan agama dan cenderung sekuler.  Jerman dan Prancis misalnya, berapa banyak filsuf, ilmuwan dan teknisi yang berasal dua negara di Eropa tersebut? Dari kedua negara tersebut kita bisa belajar bagaimana rasionalitas dan filsafat dapat menciptakan renaisans yang kemudian memantik berbagai revolusi yang merubah dunia itu.

Kita terjebak pada apa yang disebut dengan Thoughless Hegemoni, yakni thougless (tanpa berpikir/pikiran) dan hegemoni yang secara serampangan kita bisa maknai sebagai dominasi. Kebiasaan mengandaikan segala sesuatu secara naif dan tanpa gugat telah menjadikan kita masyarakat yang alergi terhadap kegiatan pikir, sekalipun yang kita terima adalah ilmu—belum lagi pemisahan tegas antara ilmu dunia dan ilmu akhirat—yang tentu karena perubahan konteks zaman dan budaya bakal basi dan menjadi tidak relevan.

Apakah kiranya tidak basi memahami dunia hari ini dengan berbagai dinamikanya dengan teori dan kitab yang dibikin 3-4 abad lalu (misalnya)? Sedangkan pada saat bersamaan kita tak mempunyai kemampuan untuk memproduksi ilmu. Ilmu tidak lain berupa akumulasi pengetahuan yang teruji kebenarannya—para agamawan menambahkan “pasti kebenarannya” pada definisi ilmu—yang digali dengan menggunakan pikiran, perenungan, pengkajian dan pengujian. Tentu itu tak diperoleh dari tradisi transfer of knowledge and information (yang dogmatis) saja, melainkan dengan berpikir keras dengan berbahan suatu gejala yang didapat dan dipahami.

Teks agama memanglah tak (boleh) terbantahkan kebenarannya, tapi kita hanya mampu memahami dan mengamalkannya melalui interpretasi, tak lain dan tak bukan apa yang selama ini kita anggap sebagai ajaran agama ternyata hanyalah intepretasi terhadap agama sendiri. Sedangkan interpretasi hanyalah produk dari sebuah alat bernama pikiran. Maka dari itu ajaran (interpretasi) terhadap agama harus senantiasa diperbaharui sesuai dengan konteks jaman dan budaya—beberapa kalangan menerjemahkan “pembaharuan” menjadi pemurnian (purifikasi) yang justru jauh melompat dari kerangka kontekstuaisme—yang hanya mungkin terwujud jika tradisi pengajaran agama—kadangkala sebagai pendidikan pertama/primer anak—tidak hanya doktriner tapi mengarahkan pada berpikir kritis dan kontekstual.

Kita semua pasti tahu dan ingat tentang ‘pertengkaran’ antara Imam Ghozali dan Ibnu Rusyd dan dampaknya pada dunia sampai pada hari ini. Ghozali lewat kitab Tahafut Al Falsafah karyanya mengkritik keras filosof/pemikir Islam—walaupun ia menuliskan karyanya dengan sangat filosofis—sebelumnya yang menurutnya telah keliru dan terjerumus pada kesesatan. Merespon karya Ghozali, yang secara tidak langsung termasuk tertuju padanya, Ibnu Rusyd menyusun kitab Tahafut at Tahafut untuk membantah argumentasi Ghozali dan menunjukan kesalahpahamannya terhadap filsafat—secara garis besar perbedaan mereka berdua hanya pada soal metafisika, tidak pada pikiran dan rasionalitas—meskipun akhirnya Rusyd tidak mendapat legitimasi masyarakat, karena pada saat itu sedang terjadi pula ketegangan antara kalangan teolog (juga fukuha) dan para pemikir.

Dominasi para teolog kala itu melegitimasi Tahafut Al Falsafah Ghozali dan secara bertahap menjalan keseluruhan dunia Islam dan berdampak ketidakpercayaan masyarakat Islam pada tradisi intelektual rasional—padahal pertengkaran Ghozali-Ibnu Ruysd tersebut dilakukan dengan sangat ilmiah dan rasional—dan sampai saat ini Islam selalu dipahami secara fiqih (hitam-putih) “kalo tidak halal, ya haram”, “boleh tidak boleh”, “Islam kafir” dan berbagai oposisi biner lainya. Lain halnya dengan Ibnu Rusyd, meskipun mengalami kekalahan secara legitimasi politis, pikirannya justru menjamur di eropa barat dan selama akan terkenang sebagai Averroes yang dinilai sebagai pengaruh tonggak rasionalisme dan keilmuan modern eropa yang berjaya sampai kini.

**

Ilmu tidak hanya cukup diperlakukan dengan diterima begitu saja, ia butuh dikembangkan menjadi sebuah khazanah yang kaya. Dalam tradisi Yunani kuno,  ilmu lahir dari pengakuan kebebalan manusia, yang mencoba melakukan pencarian dan penggalian kebenaran untuk menanggalkan status 'bodoh'. Saat ini dikala agama telah datang untuk mencerahkan manusia, bukan berarti kebenaran ilmu dan kebenaran agama saling bertentangan, keduanya saling melengkapi dan saling membenarkan. Jangan sampai kita terjebak pada perdebatan klasik tentang derajat akal dan wahyu. Dualisme Rene Descartes secara eksplisit mengajarkan kepada kita bahwa “akal tanpa wahyu sulit menemukan tanda-tanda dan wahyu tanpa akal cenderung buta”.

Tulisan ini bukanlah sekumpulan kata yang disebut “ilmu” itu, maka dari itu ini ditulis tidak secara ilmiah, sistematis bahkan tanpa referensi apapun dan ditulis sambil lalu saja—hanya menuliskan bekas-bekas didalam kepala—karena memang harapannya setelah membaca ini kita tidak kemudian menjadi tahu atau merasa mendapat wawasan baru, melainkan sadar betapa kalutnya kita dalam memahami ilmu. Hanya menempatkan diri sebagai tong (sampah) ilmu, tanpa terpikirkan bahwa detik ini juga mesin dan robot termutakhir sedang belajar dan berpikir (lewat artificial intellegent, machine learning dst.) untuk menciptakan pembaharuan.

Lebih baru Lebih lama