![]() |
Aksi penolakan Pabrik Semen Rembang, Sumber : detik.com |
Kematian Ibu
patmi, salah satu pejuang Kendeng pada hari selasa tanggal 21 Maret 2017 dini
hari, menambah satu catatan hitam pemerintah dalam konflik agraria. Dalam
catatan Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), sedikitnya terdapat 450 konflik agraria
sepanjang tahun 2016, dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melipatkan
86.745 KK yang tersebar diseluruh provinsi di Indonesia. Jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, konflik agraria pada tahun 2015, hanyalah sebanyak 252 konflik. Hal ini
menunjukkan bahwa konflik agraria pada tahun 2016, mengalami peningkatan dua
kali lipat. Angka ini akan terus bertambah, mengingat pemerintahan Jokowi mencanangkan
pemerintahannya atas garis infrastruktur. Garis pembangunan nasional yang
membuat lahan-lahan rakyat dimangsa oleh investor yang diperparah dengan
politisi-politisi korup. Kebijakan atas masifnya pembangunan infrastruktur
tersebut tertuang dalam Perpres No. 3/2016. Disini kita akan melihat ratusan
proyek yang akan berdampak langsung kepada rakyat.
Konflik
agraria ini sangatlah meresahkan rakyat yang terdampak, karena mereka langsung
berhadapan dengan pihak korporasi dan pemerintahan, yang melibatkan pihak
keamanan, yang tentunya berpihak kepada korporasi. Pada titik ini kita akan
melihat, masifnya perampasan lahan, kriminalisasi terhadap petani, yang bahkan
juga memakan korban luka-luka hingga korban jiwa. Kenyataan ini bertambah miris
ketika tidak ada lagi perlidungan
lagi bagi rakyat yang
berkonflik, kecuali solidaritas dari warga lain. Hal tersebut terkonfirmasi
dengan abainya pemangku kekuasaan ketika dimintai perlindungan, bahkan ketika
mereka secara mutlak menang secara hukum di MA, seperti kasus semen di Rembang,
mereka harus menelan pil pahit ketika pihak Gubernur justru mengangkangi hukum dengan menerbitkan izin baru.
Dari sinilah akan timbul
sebuah pertanyaan kembali, pembangunan nasional yang dicanangkan oleh
pemerintahan pada hakikatnya berorientasi kepada siapa ? Rakyat atau para
investor yang memiliki banyak modal ? Jika kita tabrakkan dengan teori
pembangunan seperti yang dikonsepsikan Gus Dur, sejauh ini orientasi
pembangunan nasional kita, masihlah bersifat elitis dan teori pembangunan yang
sekuler. Sangat sedikit sekali perhatian diberikan pada orientasi dan teori
pembangunan nasioanal yang diambil dari ajaran agama.
Pembangunan nasional yang elitis serta sekuler
ini, yang digunakan dalam menilai majunya perekonomian sangatlah berbeda dengan
pembangunan yang nasional yang lebih mengedepankan nilai-nilai spiritual ( baik
aspek spiritual keagamaan maupun aspek-aspek yang lain). Teori pembangunan
nasional yang sekuler selalu bermula dari tinggi rendahnya pendapatan nasional
sebuah negara, dengan menggunakan berbagai pertimbangan kuantitatif. Sedangkan
pembangunan nasional yang bersifat spiritual yang bersumber dari ajaran agama
ataupun keyakinan, senantiasa bermula dari tanggung jawab menciptakan
masyarakat yang adil dan sejahtera, sehingga tidak membuka jurang kesenjangan sosial yang begitu lebar.
Yang tentunya kebijakan-kebijakan yang diambil selalu berorientasi terhadap
kemashlahatan rakyat. Hal tersebut salah satunya terkandung dalam kaidah fiqh
yang berbunyi, “tasharraful al imam ‘ala ar-ra’iyyah manutun bi al maslahah”
( kebijaksanaan dan tindakan imam ( pemimpin ) haruslah berkaitan langsung
dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin ).
Secara tidak langsung, pembangunan yang serba
elitis dan sekuler tersebut, selalu mengakibatkan terjadi banyak konflik di akar
rumput, yang tentunya rakyatlah yang menjadi korban. Karena pembangunan
nasional yang bersifat sekuler hanya mementingkan kaum kaya, yaitu para
investor dan komprador kapitalis. Hal tersebutlah yang pada hakikatnya terus
menyebabkan krisis ekonomi secara terus-menerus, karena perekonomian kita akan
terus ketergantungan dengan para pemodal.
Dari kedua teori pembangunan tersebut, kita akan
disuguhi dua pilihan, teori pembangunan yang elitis dan sekuler, ataupun
pembangunan nasional yang bersifat menyeluruh, yaitu pembangunan yang
berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Saya pribadi, lebih memilih pembangunan
yang bersifat spriritual, dengan orientasi utama adalah menciptakan masyarakat
yang adil serta sejahtera. Karena sangat kontradiksi dan parodoks sekali, jika
kita bangsa yang berpancasila dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa,
lebih memilih pembangunan nasional yang bersifat sekuler. Karena seolah-olah,
kita berTuhan hanya ketika sedang beribadah ataupun sedang berada di Masjid
(bagi umat Islam). Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan ataupun
duniawi bukanlah urusan agama ataupun Tuhan. Akan lebih paradok lagi, jika kita
melihat sejarah Indonesia, yaitu pernah membunuh lebih dari 500.000 lebih orang
yang diisukan tidak berTuhan, akan tetapi justru kemudian hari dalam berbangsa
dan bernegara justru sama sekali tidak berTuhan. Dari sinilah sebenarnya kita
akan lebih tahu, siapa yang tidak berpancasila ?
Sebagai penutup, kita munculkan kembali pertanyaan
untuk kita renungkan secara bersama-sama, lebih memilih pembangunan nasional
yang elitis dan sekuler, dengan kesenjangan sosial yang semakin lebar ? Atau
memilih pembangunan nasional yang bersifat spiritual yang lebih berorientasi
pada keadilan dan kesejahteraan rakyat.