![]() |
Ilustrasi generasi milenial. Sumber : marketeers.com |
Jujur
saja, mungkin kita sering kesal karena status yang kita buat dengan penuh
penghayatan dan meres utek ternyata tak selalu mendapat banyak like dari
teman-teman di Facebook, sedang di sisi lain, saat kita melihat status orang
lain yang bisa dikatakan wagu cum njelehi, ternyata malah mendapatkan like yang luar biasa banyaknya.
Mungkin
kita juga pernah merasa nggondok ketika sedang mengajak berbicara dengan
seseorang, ternyata dia tidak mendengarkan gara-gara lebih memilih berasyik ria
dengan gawainya. Atau bahkan kita juga pernah mengalami sendiri, berkumpul
melingkar dengan teman-teman dan disitu tidak ada komunikasi sama sekali, yang
ada hanyalah kumpulan orang-orang yang sedang cengar-cengir sendiri di depan
gawainya masing-masing, dan yang lebih parah lagi, ternyata kita sedang saling
berkomentar satu sama lain di media sosial. Ngguapleki.
Media
sosial memang telah mengubah cara kita berkomunikasi. Sekarang kita bisa dengan
mudah dan murah berkomunikasi dengan siapa saja: keluarga yang jauh, teman satu
sekolah yang bertahun-tahun tak bertemu, hingga dengan selebriti idola dan
tentunya satu lagi yang tak kalah penting adalah: mantan.
Media
sosial idealnya membuat para penggunanya terhubung dengan orang-orang terdekat
setiap waktu selama 24 jam sepekan. Namun, dalam penelitian baru-baru ini
ditemukan fakta lain bahwa media sosial justru membuat kita merasa semakin
kesepian. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk menggunakan media sosial,
peluang merasa terisolasi menjadi lebih besar. Rupanya, media sosial tidak
membuat pengguna menjadi dekat dengan orang-orang, tapi justru membuatnya
merasa lebih kesepian.
Internet
dalam hal ini punya andil dalam proses keterasingan dan kesepian yang dialami
oleh manusia. Media sosial, mulai dari Facebook hingga Twitter, kata Stephen
Marche, penulis dari The Atlantic, membuat kita mampu berjejaring dengan
banyak orang. Tapi dengan segala kemudahan dan konektivitas yang ada ini, media
sosial membuat kita lebih kesepian. Segala kesepian inilah yang membuat manusia
menjadi semakin mudah depresi dan mudah sakit. Sebuah gejala epidemik kesepian
karena teknologi mulai muncul dan pelan-pelan memangsa masyarakat kita.
John
Cacioppo, direktur Center for Cognitive and Social Neuroscience di
University of Chicago menjelaskan bahwa internet bagi banyak orang adalah
bentuk lain relasi dan keintiman. Relasi di internet serupa dengan relasi yang
dibentuk dengan hewan atau Tuhan dalam ritus agama. Semua dilakukan untuk
mengisi kekosongan dan kesepian yang dimiliki manusia. “Tapi pengganti tak akan
pernah bisa menggantikan kehampaan akan sesuatu yang nyata,” kata Cacioppo.
Menurutnya, relasi fisik antar manusia adalah bentuk komunikasi paling nyata.
Perkembangan
teknologi yang berimplikasi terhadap perubahan gaya hidup masa kini, terutama
di kalangan milenial, turut membawa dampak negatif bagi seseorang. Psikolog dan
konsultan edukasi di Boston, Christopher Willard, PsyD., menulis dalam situs
Mindful bahwa perangkat komunikasi kita menciptakan ilusi bahwa ada hal yang
lebih penting di luar sana dibanding pengalaman yang sedang dijalani saat ini.
Pemikiran semacam inilah yang juga turut menyokong seseorang untuk mundur dari
kehidupan media sosial. Alih-alih merayakan kehidupan komunal yang tak jarang
merupakan khayalan semata—karena tak semua orang benar-benar mengenal atau
dekat dengan satu sama lain di Twitter, Instagram, atau Facebook—, ia justru
memandang penting momen intim dengan dirinya.
Paradoks
utama media sosial adalah ia menghubungkan banyak orang dalam waktu yang
singkat tapi kerap kali para pelakunya merasa kesepian. Mengapa dengan segala
kemudahan berjejaring, berkomunikasi, dan berinteraksi manusia masih mengalami
rasa kesepian? Ada sebuah anekdot menarik tentang media sosial yang barangkali
pernah kita alami. Yaitu, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Ketika kita bertemu muka dengan orang, kerap kali, kita sibuk membuka ponsel
ketimbang berinteraksi terhadap sesama. Menariknya saat kita jauh, kita
membutuhkan interaksi fisik dan berasa butuh teman ngobrol.
Dalam
penelitiannya Cacioppo, menyebut bahwa banyak orang yang merasa akan
mendapatkan teman dan sahabat di media sosial. Orang-orang merasa dapat membawa
kembali teman lama mereka di Facebook untuk mengatasi rasa kesepian dan
kesunyian yang mereka miliki. “Mereka salah,” kata Caciopo. Ide bahwa internet
akan memberikan dunia yang lebih terhubung dan ramah itu cuma omong kosong.
Cacioppo
menjelaskan interaksi sosial antara manusia di luar media sosial semestinya
yang menentukan kedalaman relasi manusia, bukan sebaliknya. Menggunakan media
sosial tidak melahirkan jaringan sosial baru, ia hanya memindahkan satu bentuk
interaksi ke medium yang lainnya. Dalam hal ini, Facebook tidak menciptakan
relasi hubungan baru, tetapi juga tidak menghancurkan yang ada.
Begitulah
postur umun kehidupan kita kini dihempaskan kemajuan-kemajuan sains dan
teknologi yang diwariskan modernisme, materialisme, dan kapitalisme. Satu sisi
kita banyak tertolong olehnya, sisi lain kita lebih sering dihancurkan olehnya.
Sebuah pedang bermata dua, yang selalu siap memenggal hidup kita kapan saja
Bersosialisasi
dengan siapa pun melalui media apa pun memang tidak salah. Namun demikian,
penting diingat bahwa cara apa pun yang dipilih dalam berinteraksi dengan dunia
luar, jangan sampai hal tersebut membuat kita menjauhkan diri dari mereka yang
dekat atau ada di depan mata. Mengasah kemampuan intrapersonal dengan menghilang
sejenak dari keramaian tak kalah penting bagi kondisi psikologi seseorang
karena tak selamanya, solusi dan kebahagiaan ditemukan di tengah ingar bingar.
Bahrun M. Syafi'i/Kader Rayon Nusantara PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang