Kekuasaan Sampah

oleh Aisyah SN

“ Dari kejauhan tampak rombongan manusia dalam baris yang panjang, hampir sepanjang tembok raksasa di Negeri Panda.”
###
Setiap orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Orang-orang berbaju hijau lalu lalang, mendorong wheelie bin warna-warni yang isinya pun sama beragamnya. Beberapa lagi membawa lembaran dan menggoreskan angka-angka di sana.
“Bagaimana, Aldo? Apakah berjalan lancar?” Seseorang menepuk pelan bahuku, menyapaku dengan pertanyaan.
“Seperti biasa, Pak,” jawabku, menoleh dan mengacungkan jempol. Aku kembali sibuk dengan dunia kecilku.
“Bagus.”
Ya. Di sinilah aku sekarang. Bekerja sebagai programer penyaringan zat kimia yang tertinggal dalam remah-remah benda sisa. Teman keseharianku; botol, kemasan makanan, kaleng minum, sendal jebot, sepatu soak, dan ....., ah sudahlah. Paling kalian juga tidak akrab dan tak mau membahasnya.
Tapi aku punya kisah menarik untukmu kawan, ini murni pengalamanku. Mau kau mendengarkannya? Sudahlah, lebih baik aku mulai bercerita.
###
Seorang gadis berjalan tanpa semangat di sepanjang jalan. Wajahnya kuyu, matanya sayu. Rambut ikalnya berayun-ayun kala dia berjalan. Ia memakai rok terusan sepanjang lutut. Di tangan kanannya tertenteng makanan kemasan yang nampak jelas dalam plastik transparan.
“Tuk!!” kakinya terantuk kaleng bekas. Ia mengaduh sedikit.
“Tak!!!” 
Kali ini ia menendang kaleng bekas sebelum terkena kakinya lagi. Keras, penuh tekanan. Kaleng melayang di atas bukit sampah.
“Wah, lihat di sana! Bukit itu makin lama makin tinggi,” celetuk seorang laki-laki berkaus oblong, lalu tertawa terbahak-bahak.
“Yeah!!” Teman satunya melempar kaleng bekas minumnya di bukit tersebut, beberapa benda tergeser ke bawah. “Kita lah penyumbang terbesarnya, Man!”
Mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Lalu melajukan mobilnya, meninggalkan kepulan asap. Memperburuk udara. Sesak.
Mereka, manusia-manusia yang hanya bisa memenuhi negerinya dengan tumpukan sampah di mana-mana. Sampah-sampah yang menumpuk semakin hari semakin bertambah tinggi. Meninggalkan berbagai macam bau. Yang paling utama, busuk.
Sebusuk penghuninya di sini!
Mereka tak pernah ambil pusing dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan; taman, sungai, tanah lapang, pinggir jalan. Orang-orang di sini adalah pengecualian. Bagi mereka, hidup bersama sampah adalah sesuatu hal yang tak biasa, unik, dan pertama dalam sejarah mereka. Mereka membiarkan sampah menumpuk dan membanjiri seluruh negeri. Menyemprotkan parfum bau, membentengi orang yang kan menyerang negeri ini. Karena, kalau lah dibom, maka bau busuk akan meracuni dunia.
Akibatnya, tanah di sini mati. Tak ada apapun tanaman yang bisa tumbuh. Dungunya mereka, hal ini pun mereka tak tahu. Tapi mereka tetap tertawa, gembira, senandung ria. Botol-botol minum, makanan kemasan, dan segala sesuatu yang diperlukan didatangkan dari negeri lain. Kami tak punya apa-apa yang bisa dibanggakan, selain sampah tentunya.
“Ibu....ibu... Tunggu sebentar!” Anak itu meminta ibunya berhenti, hendak mengambil sesuatu.
“Kamu mau apa, Nak?”
“Mengambil sesuatu di sana,” ujarnya sambil menunjuk botol di antara tumpukan sampah.
“Untuk apa? Hei, kamu tak perlu mengambilnya. Ayo pulang, Nak! Ibu sudah menyiapkan mainan untukmu.”
Anak itu terus berlari, tak acuh dengan teriakan sang ibu. Ia bersikeras mengambil sebuah botol unik bekas berwarna oranye.
“Untuk apa kamu mengambilnya?”
“Aku ingin membuat mainan, Bu.”
“Tak usah repot-repot. Mending beli saja. Itu sampah, nggak penting.”
“Bukan, Bu! Aku menginginkannya! Ini bukan sampah!!”
“Nak..”
“Lagipula kenapa sih orang suka membuang sampah sembarangan seperti ini?! Apa salah sampah, Bu? Mengapa mereka dibuang?! Mereka toh bisa dimanfaatkan lagi, kan?”
“Tidak, sayang...”
“Bisa. Bisa, Bu! Pasti bisa! Meski sebagian besar, sebagian yang lain dimusnahkan.” Anak itu menjawab yakin, mengutak-atik botol bekas dengan dingin.
“Sejak kapan kamu bisa bicara seperti itu, Nak?” Sang anak hanya menggeleng sebagai jawaban.
Musim pun berganti. Negeri ini mengalami musim hujan yang panjang. Air tak henti-hentinya turun selama berhari-hari. Tanah yang sudah tertutup sampah di mana-mana tak dapat menyimpan air. Sungai yang sudah dangkal lantaran sampah bludak mulai meluap dan meleber kemana-mana.
Banjir melanda!
Penduduk negeri mulai tak bisa berkutik. Sebagian besar memilih tetap di rumah. Semakin hari, banjir semakin tinggi, malahan membawa sampah pula. Orang-orang mulai mencari tempat mengungsi, beberapa tetap tinggal di lantai dua rumahnya. Terakhir, pilihan yang salah.
Penduduk kalut, negara penuh kemelut. Semuanya carut-marut.  
Orang-orang yang mengungsi tersebar ke segala penjuru, kebayakan ke arah utara. Dari kejauhan tampak rombongan manusia dalam baris yang panjang, hampir sepanjang tembok raksasa di Negeri Panda. Mereka menuju ke suatu negeri yang dikenal makmur sepanjang zaman.
Orang-orang dari negeri sampah disambut dengan (terpaksa) ramah. Mereka, penghuni negeri industri memandang sebelah mata orang-orang dari negeri sampah. Mereka menolong hanya untuk melindungi citra negara, agar tak buruk di mata dunia hanya karena tak mampu membantu. 
Negeri industri, negeri mandiri. Pantang dicap tak peduli.
Dunia tahu, mengapa banjir besar terjadi di negeri sampah. Selain karena sampah yang menggunung, juga karena penduduknya yang malas-malasan, seenaknya sendiri. Berbeda dengan negeri industri. Mereka –meski tak sekaya penduduk di negeri sampah– adalah warga negara yang mandiri dan produktif. Mereka memiliki semboyan “waktu adalah emas” karena begitu berharganya waktu yang mereka miliki.
Orang-orang dari negeri sampah diperlakukan seenaknya di tempat pengungsian. Mereka tak mendapatkan sumbangan-sumbangan layaknya orang yang terkena musibah. Mereka hanya diberi makan roti satu kali sehari. Sungguh kasihan. 
“Itulah balasan yang pantas mereka terima,” ujar salah seorang petugas pengantar roti.
“Kabarnya presiden sakit hati lantaran mereka tak mau bekerja sama. Menyetorkan sampah-sampah mereka, padahal banyak sekali.” Seorang petugas keamanan memberi keterangan.
“Mereka terkena getahnya sendiri. Rasakan itu!!” umpat seorang pemungut sampah, kakinya menginjak piring bekas hingga hancur.
“Permisi, boleh saya ikut mendorongnya, pak?” tanya seorang anak kecil, ia memisahkan diri dari teman-temannya yang bermain dan menuju orang-orang yang sibuk bekerja.
“Kamu masih kecil, Nak.”
“Kalau begitu, bolehkah saya bertanya?”
“Tentu. Tentu saja boleh, anak manis.”
“Sampah yang bapak bawa itu mau diapakan?”
“Didaur-ulang kembali, Nak.”
“Apa itu daur ulang?”
“Mengolah sampah menjadi barang-barang atau zat yang bermanfaat.”
“Wahh, kalau aku pernah membuat mainan dari botol bekas. Apa itu disebut daur ulang juga?”
Petugas sampah tak acuh, lalu melanjutkan pekerjaannya. Si anak kembali kecewa. “Iya, Nak. Itu pun namanya daur ulang, tapi masih sederhana.” Ucap sang presiden ketika jalan-jalan melihat kondisi para pengungsi.
Beberapa hari kemudian, terdengar berita yang menghebohkan. Seorang petugas keamanan telah memborgol seorang pemuda. Ia adalah pemuda yang sama saat membuang botol bekas di negeri sampah. Ia ditangkap karena diduga ketangkap basah sedang mencuri persediaan makanan negeri. 
Maka, ia pun dibawa ke tengah tanah lapang pagi harinya. Ia berada di tengah-tengah warga negara industri dan negara sampah. Warga negara industri memprovokasi agar pemerintah membakarnya, sama seperti nasib sampah yang tidak bisa didaur ulang. Ada juga yang mencaci maki lantaran sakit hati, diberi tumpangan tapi tak tahu terima kasih. Pagi itu, lapangan disulap menjadi sekisruh meja orang judi.
Gejolak semakin menggila oleh warga negera industri. Mereka menganggap sampah si  pemuda yang kini hanya bisa bertekuk lutut di tengah lapangan. Pasrah. Sedang negerinya sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Mereka terlalu bodoh untuk melakukan pembelaan. Mereka tak tahu, apa itu kebersamaan dan saling menolong.
Terjadilah penyerbuan negeri industri terhadap negeri sampah. Semua orang berbaur dan bergumul, saling pukul. Yang satu ingin memusnahkan, yang lain ingin bertahan. Semua itu terjadi di depan mata anak yang masih berusia lima tahun, yang saat itu berdiri mematung di atas panggung. 
Di pagi yang sama, presiden negeri industri berorasi dalam upacara kenegaraan. Ia menyebut-nyebut kehebatan negaranya di hadapan para penduduk yang ribut. Di sisi lain, ia juga mendukung aksi warga negaranya terhadap negeri sampah melalui orasinya. Dalam orasinya, sang presiden berkata,
“Perlakuan yang pantas bagi mereka yang tak acuh pada sampah adalah dengan menganggap mereka sama. Seperti sampah.”

###
Itu adalah kisahku belasan tahun lalu. Jika bukan karena kecerewetanku, mungkin kini aku sudah mati dalam tragedi pagi itu. Kini negeri sampah telah hilang dari muka bumi. Aku yang dulu masih kecil, yang pernah memungut sebuah botol berwarna oranye, kini menjadi pemilik usaha pengolahan sampah di negeriku. Awalnya aku diminta menjadi tangan kanan mereka,  tapi aku terlanjur bertekad untuk menyelamatkan ibu. Ibuku dan ibu pertiwiku.
Jika kalian berkunjung ke negeriku, maka kalian akan membaca satu pesan berharga di pintu gerbang perbatasan. Sebuah pesan yang diwariskan oleh Presiden Fayro saat upacara di pagi yang penuh tragedi belasan tahun lalu.
“Perlakuan yang pantas bagi mereka yang tak acuh pada sampah adalah dengan menganggap mereka sama. Seperti sampah.”


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama