Fiqh Sosial Kyai Haji Sahal Mahfudh



Salah satu ulama Aswaja yang tersohor di bumi Nusantara adalah Kyai Haji Sahal Mahfudh yang akrab disapa Mbah Sahal. Baliau merupakan kyai asli Kabupaten Pati. Ulama yang memiliki nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Al-Hajaini ini lahir di Desa Kajen pada 17 Desember 1937. Beliau merupakan putra dari pasangan Kyai Mahfudz dan Hj. Badi’ah yang sedari lahir hidup dan mengabdi di lingkungan pesantren. Beliau juga masih satu nasab dengan Mbah Muttamakin.

Kyai Sahal memiliki lima saudara, satu laki-laki dan empat perempuan. Saudara laki-lakinya bernama M. Hasyim dan telah meninggal ketika melawan agresi militer Belanda pada tahun 1949, sedangkan keempat saudara perempuannya telah diperistri oleh para ulama tersohor.

Sejak kecil, Kyai Sahal telah diasuh dan dididik sendiri oleh ayahnya. Setelah ayahnya wafat, kemudian dilanjutkan oleh pamannya yang bernama Abdullah Salam. Beliau memiliki kegemaran membaca buku. Dikisahkan bahwa beliau memiliki setidaknya 1800 buku koleksi yang bervariasi, mulai dari buku pengetahuan agama, pengetahuan umum, bahkan buku-buku bacaan ringan. Kegemarannya membaca membawanya ke dalam lingkup dunia pemikiran yang luas.

Beliau memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri, Kyai Sahal mulai nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur di bawah asuhan Kiai Muhajir. Di Bendo Kyai Sahal mendalami keilmuan tasawuf dan fiqih termasuk kitab yang dikajinya adalah Ihya Ulumuddin, Mahalli, Fathul Wahab, Fathul Mu’in, Bajuri, Taqrib, Sulamut Taufiq, Sullam Safinah, Sullamul Munajat dan kitab-kitab kecil lainnya. Selanjutnya tahun 1957-1960 beliau belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Di Pesantren Sarang Kyai Sahal mengaji tentang ushul fiqih, qawa’id fiqh dan balaghah. Pada pertengahan tahun 1960-an, Kyai Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen.

Selama masa usianya, beliau telah memiliki kiprah di dunia Islam. Tak hanya berkiprah di dunia pesantren, beliau juga mengabdikan diri di organisasi-organisasi Islam. Peran dalam organisasipun sangat signifikan, terbukti beliau dua periode menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah priode 2000-2010. Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain yang sekarang masih diemban oleh beliau adalah sebagai Rektor INISNU (sekarang berganti menjadi UNISNU) Jepara, Jawa Tengah (1989-sekarang) dan pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati (1963 - Sekarang).

Kyai Sahal juga merupakan seorang intelektualis yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia. Dirinya juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem sosial di sekelilingnya. Oleh karena itu, beliau pernah mendapatkan perhargaan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqh serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. 

Beliau menikah dengan Dra Hj Nafisah binti KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang pada tahun 1968/69 dan dikaruniai putra tunggal bernama Abdul Ghofar Rozin. 

Pemikiran Fiqh Sosial
Kepemikiran Kyai Sahal Mahfudh dipengaruhi oleh pamannya –yang sedari kecil mengasuhnya– dan juga pemikiran Imam Ghozali. Namun, salah satu konsep pemikirannya yang paling terkenal ialah mengenai “fiqh sosial”. Apa itu fiqh sosial? Mari kita kupas bersama-sama.

Fiqh merupakan bagian dari syari’ah. Fikih yang mengatur hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta disebut fiqh ibadat, sedangkan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia disebut mu’amalah. Definisi fiqh menurut istilah syara’ ialah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil terperinci[1].

Perbuatan manusia tidak melulu mengenai bagaimana dirinya beribadah kepada Tuhan, yang meliputi tuntunan sholat, zakat, puasa, dan berbagai jenis ibadah lainnya. Fiqh muammalah yang diangkat di sini mencakup seluruh perbuatan manusia kepada manusia lain, yang tentunya lebih kompleks dan variatif. Hukum-hukum yang digunakan sebagai acuan ditulis dan dikaji ratusan tahun silam, sehingga kemungkinan masalah yang muncul di masyarakat sekarang sudah tidak referen.

Pesantren yang tumbuh subur dalam lingkungan masyarakat mau tak mau memiliki hubungan dengan masyarakat sekitarnya. Sebagai pencetak generasi intelektual muslim yang memiliki akhlaq mulia, pesantren secara otomatis dipandang sebagai pemberi teladan bagaimana sebaiknya masyarakat bersikap. Bahkan, pesantren juga dijadikan kiblat masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari mereka.

Sebagai kyai di pesantren, Mbah Salah merasakan hal ini. Beliau merasa bahwa sebagai publik figur suatu pesantren dan masyarakat sudah sepatutnya terjun langsung dan membimbing masyarakat agar bertindak sesuai dengan aturan Islam, namun bukan berarti saklek seperti zaman dulu. Tentu saja saklek ini tak bisa dipaksa karena kondisi zaman sudah berbeda. Itulah kenapa, beliau kemudian menggagas adanya fiqh sosial, sebuah konsepan baru mengenai fiqh dalam masyarakat. Tujuannya agar masyarakat senantiasa berada di dalam koridor Islam tanpa meninggalkan zaman modernya.

Menurut KH. Ali Yafie, segala problematika kehidupan yang timpang dalam masyarakat menjadi kewajiban untuk mengatasinya dengan cara bersama-sama. Kondisi kemelaratan dan kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat, akses ekonomi yang tidak merata dalam masyarakat termasuk dalam penyediaan lapangan pekerjaan, kondisi kesehatan masyarakat dan lingkungan yang buruk dan penyediaan sarana pendidikan yang masih kurang bagi golongan masyarakat bawah adalah permasalahan yang harus dicarikan solusinya bersama.[2]

Posisi fiqh sebagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan perilaku keislaman pada dataran praksis operasional, harus mampu menjawab problem kemanusiaan umat. Dimensi transformatif fiqh belum dieksplor secara mendalam menjadikan fiqh belum bisa merubah realitas yang timpang dalam masyarakat menuju realitas sosial yang adil dan membebaskan.[3] Para pemikir Islam sepakat bahwa umat Islam perlu melakukan refleksi kritis terhadap pemikiran dan perilaku dalam praktek keberagamaannya.

Salah satu pemahaman fiqh yang lebih mengarah pada pemanfaatan bersama adalah pemaknaan yang dijadikan pijakan dasar dalam konteks fiqh sosial. Sasaran utama dari fiqh sosial adalah tegaknya kebersamaan dalam masyarakat agar terciptanya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan semua yang berlawanan dapat teratasi.

Ada dua golongan dalam memahami fiqh sosial. Pendapat pertama mengatakan bahwa fiqh mu’amalah sama dengan fiqh sosial, karena menganggap semua persoalan sosial ekonomi masyarakat dapat dikategorikan dalam fiqh mu’amalah. Pendapat yang kedua mendefinisikan fiqh sosial berbeda dengan fiqh mu’amalah, karena masalah yang menimpa masyarakat tak hanya masalah ekonomi semata, melainkan cabang yang lebih luas yakni permasalahan sosial kemasyarakatan yang patut mendapat penanganan segera. Walau bagaimanapun juga, penjabaran dari fiqh yang tercermin dari kerja kemasyarakatan yang mengutamakan solidaritas untuk kemakmuran bersama yang tak hanya dalam tataran konsep namun juga dalam prakteknya yang berdasar hukum fardhu kifayah ini dapat diformulasikan menjadi fiqh sosial.[4]

Kyai Sahal berhasil melakukan pergeseran paradigma fiqh dari paradigma “kebenaran ortodoksi” menjadi paradigma “pemaknaan sosial”. Jika yang pertama menundukkan realitas pada kebenaran fiqh dan berwatak hitam putih dalam memandang realitas, maka paradigma yang kedua menggunakan fiqh sebagai counter discourse (perlawanan) dan melihat wataknya yang bernuansa. Untuk tujuan pengembangan fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj) memahami syari'at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Bahkan fiqh dulu pun banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan fiqh, Kyai Sahal akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam konteks metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli). Secara qauli pengembangan fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab kuning atau melalui pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah Ushul al- Fiqh maupun Qawa'id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji pengembangan fiqh bisa dilakukan dengan cara pengembangan teori masalik al-'illat agar fiqh yang dihasilkan sesuai dengan maslahat al-'amah.

Fiqh yang bertebaran di kitab kuning masih dipandang sebagai suatu kajian tekstual. Konsep-konsepnya dianggap tinggi, nomor dua setelah Al-Quran. Sehingga, seakan-akan hukum fiqh masih jauh mengambang di langit, belum dapat dipahami secara kontekstual, melainkan baru secara tekstual. Berangkat dari pemahaman inilah, Kyai Sahal mencoba untuk membumikan fiqh tetapi dengan tidak menghilangkan keotentikannya. 

Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial dalam pendayagunaan sumber ekonomi dalam Islam adalah keseimbangan yang didasarkan pada pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier. Pemenuhan kebutuhan tersebut haruslah menemui kesimbangan dan tidak boleh berlebihan.

Alternatif yang mungkin dapat ditempuh dalam “menghidupkan” kembali tradisi berfikir manhaji (metodologis) dengan mengakomodasi berbagai manhaj yang telah dirumuskan para ulama mazhab sunni, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, sadd az-zari’ah dan lain-lain secara simultan. Pendekatan tekstual yang sudah dalam aturan fiqh apabila dikombinasikan dengan pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan dan mengakomodasikan dimensi kemaslahatan dan kebutuhan riil dalam masyarakat.

Seperti hasil yang telah dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah[5] dan P3M[6] fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol: pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; kedua, perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu') ; keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial[7].

Jika dicermati kembali kelima poin di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab dapat diterapkan untuk pemecahan masalah sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta akan menghilangkan peran khazanah klasik. Maka, dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diharapkan tidak tercerabut dari akar tradisi ortodok. Untuk menyikapi khazanah klasik tersebut, digunakanlah prinsip "al-muhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah" yang artinya mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru yang terbukti lebih baik)[8]

Dalam pandangan Kiai Sahal, gagasan tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan fiqih secara mutlak. Justru dengan pemahaman seperti itu, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat dipahami secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu sendiri.

Karena pandangan fiqh yang sangat formalisitik itulah dalam konteks sosial yang ada, ajaran syari'at yang tertuang dalam fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Zakat misalnya, sebenarnya merupakan ajaran Islam agar kita senantiasa berbagi kepada sesama dalam lingkup sosial ekonomi. Namun, sayangnya, hal itu masih dipandang sebagai bentuk formalitas, yaitu seorang muslim wajib mengeluarkan zakat di waktu tertentu untuk melaksanakan suatu tuntunan atau malah dipandang sebagai kewajiban.

Dari uraian tersebut, kebutuhan akan pergeseran paradigma fiqh sangat dibutuhkan, yaitu pergeseran dari fiqh yang formalistik menjadi fiqh yang etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah hukum ke dalam 'illat hukum. Atau dengan kata lain sudah saatnya kita mengintegrasikan pola pemahaman qiyasi murni dengan pola-pola pemahaman yang beroreintasi pada maqasid al-syari'ah.[9]

Inilah yang dimaksudkan dengan ciri keempat fiqh sosial yang mencoba menghadirkan fiqh sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara.

[1] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), Terj. Noer Iskandar Al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, Jakarta : Rajawali, 1989, hlm. 2
[2] Ika Nurfajar RJ, “Studi Analisis Studi Analisis Pemikiran Kh. Ma. Sahal Mahfudz Tentang Peran Pesantren Maslakul Huda dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat”, skripsi 2008, hal 34
[3] M. Kholidul Adib Ach, “Fiqh Progresif : Membangun Nalar Fiqh Bervisi Kemanusiaan”, dalam Jurnal Justisia Edisi 24 Tahun XI 2003, hlm. 2
[4] Ibid, hal 35
[5] Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiah (RMI), adalah salah satu lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).
[6] Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) atau The Indonesian Society for Pesantren and Community Development merupakan lembaga yang dilandasi bahwa pondok pesantren sangat berpotensi untuk memberikan sumbangan pemikiran pada masyarakat, selain terbukti telah melakukan usaha-usaha kreatif yang bersifat rintisan dan pengembangan. Lembaga yang berdiri pada 18 Mei 1983 ini bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan pemikiran Islam tentang pendidikan dan sosial, meningkatkan peran pesantren dalam pembangunan serta mengembangkan sumber daya manusia kearah terwujudnya kecerdasan dan kesejahteraan bangsa. Sumber www.lp3es.or.id.
[7] http://www.pergas.org.sg diakses tanggal 14 Januari 2017 pukul 21.49
[8] http://imron-rosidi.blogspot.co.id diakses tanggal 14 Januari 2017 pukul 22.01
[9] Ika Nurfajar RJ, “Studi Analisis Studi Analisis Pemikiran Kh. Ma. Sahal Mahfudz Tentang Peran Pesantren Maslakul Huda dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat”, skripsi 2008, hal 77

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama