Pengertian Anak
Sebelum kita membahas siapa yang disebut anak, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu batasan usia seseorang dikatakan masih anak-anak.
Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 tahun 1973, anak ialah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak ialah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.
Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. (Huraerah, 2006: 19).
Maka, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun.
Kebutuhan yang Pelan-pelan Tenggelam
Di era milenial ini, kita seakan semakin terseret ke dalam arus kapitalisme yang tak terbatas. Orang-orang mulai bekerja keras mengumpulkan uang, uang, uang, dan uang hingga kadang mengabaikan hal yang tak kalah penting. Ilustrasi sederhana misalnya, ketika kedua orang tua bekerja keras hingga tak ada sedikit pun waktu bagi anak mereka.
Hal ini juga terjadi kepada tetangga penulis, ayahnya bekerja di Kalimantan sebagai seorang polisi, sedang sang ibu bekerja sebagai guru di Jakarta. Anak mereka berada di bawah asuhan neneknya di kota yang berbeda. Keluarga tersebut hanya bertemu sekali secara lengkap saat liburan Idul Fitri. Bukankah sebaiknya sang ibu mengikuti ayah dan mereka bersama merawat anak mereka? Tapi, kita tak bisa lantas menghakimi pola hidup mereka. Tentu ada faktor “x” yang menjadi alasan.
Anak-anak, dalam usia pertumbuhannya membutuhkan kasih sayang, pendidikan dini dalam keluarga, dan rasa aman nyaman. Mereka tidak hanya butuh uang. Kelembutan hati dan kasih sayang orang tua penting untuk masa pertumbuhan mereka. Selain itu, pendidikan karakter yang ditanamkan orang tua kepada anak juga lebih besar pengaruhnya terhadap pola perilaku anak. Orang tua menjadi benteng dari pengaruh buruk di masyarakat.
Kita memang tidak bisa menghakimi kehidupan keluarga perantauan yang mengharuskan mereka meninggalkan anak-anaknya. Kondisi seperti ini tentu tidak bisa dipaksakan agar kedua orang tua selalu di sisi anaknya. Namun, setidaknya komunikasi yang intens dapat dilakukan agar anak merasa diperhatikan.
Sudahkah Anak sejahtera?
Kesejahteraaan tak selamanya dapat diukur dengan materi. Anak dengan banyak mainan, fasilitas nyaman, dan segala hal yang menyenangkan lainnya belum tentu membuat anak itu merasa bahagia. Ya, mereka mungkin sejahtera secara fisik, tapi belum tentu secara psikis.
Contoh konkritnya ialah anak tetangga penulis yang begitu betah tinggal di rumah eyangnya di desa dan enggan pulang ke kota. Meskipun panas, serba kuno, dan apa-apa susah. Pasalnya, rumahnya di kota membatasi aktifitas mereka yang hanya bisa sekolah lalu mainan di rumah. Ia tidak bisa bebas dan aktif. Sedangkan di desa, ia bisa bermain dengan anak-anak desa, main lumpur, lari-larian tanpa ada yang melarang dan mengekang.
Belum tentu anak-anak desa yang kekurangan secara materi itu tidak bahagia. Belum tentu juga anak jalanan dengan wajah berhias debu itu sedih setiap harinya. Dunia anak cukup sederhana. Asal mereka memiliki banyak teman, keinginan dan rasa ingin tahu yang tak dibatasi, serta kebutuhan dasar tercukupi, mereka sudah bisa dikataka bahagia. Di sinilah peran pendidikan yang seharusnya mampu menjawab rasa ingin tahu seorang anak. Bukan malah mengekang kebebasan dan keaktivan mereka. Mereka adalah investasi masa depan, bukan robot yang dibentuk seperti yang kalian inginkan. Mereka punya bakatnya masing-masing.
Tags:
Opini