Belakangan ini Indonesia seperti menjelma menjadi negeri paling gaduh. Bukan hanya di dunia, tapi juga akhirat. Lha bagaimana tidak, setelah sejak tahun lalu dipecah-belah oleh pilkada, maka kisruh ormas, isu kriminalisasi "ulama", perppu ormas hingga FDS (Full Day School) pun jadi perbincangan tanpa ekor di negeri ini.
Saya tak akan membahas semua problematika di atas, kali ini yang akan sedikit saya singgung hanyalah soal Full Day School yang (masih) jadi polemik berkepanjangan.
Sebenarnya, isu FDS ini telah dimulai sejak lama, kira-kira tahun lalu. Namun lewat Permendikbud No. 23/2017, isu ini pun kian santer diperbincangkan, baik itu lewat adu argumen para ahli, diskusi-diskusi di warung kopi, hingga debat kusir di media sosial yang kini jadi hobi kaum kelas menengah ngehe.
Soal FDS, banyak yang setuju, namun tentu yang menolak pun tidak kalah banyak jumlahnya. Yang paling vokal menyuarakan penolakan tentu saja PBNU dan jajarannya. Kaum NU punya berbagai alasan tentang hal ini, namun yang paling utama adalah adanya FDS hanya akan mematikan Madin (Madrasah Diniyah) di pondok yang selama ini telah menjadi hal penting dan krusial untuk membentuk karakter pelajar.
Beragam aksi damai pun akhirnya digelar untuk merayu pemerintah. Yang terakhir, aksi damai dilakukan kemarin (21/07) di Semarang usai pelaksanaan salat Jumat. Massa yang hadir didominasi oleh antek-antek NU, KMPP (Koalisi Masyarakat Peduli Pendidikan) dari berbagai kota, hingga komunitas ibu-ibu pecinta selfie. Yang terakhir saya cuma becanda kok~
Dalam aksi damai tersebut, dari berbagai slogan, MMT, atau yel-yel, ada salah satu ungkapan yang berhasil membuat saya jatuh hati. Begini:
BATALKAN PERMENDIKBUD No. 23/2017
Mesakno guru-gurune ora kober njagong karo tanggane
Save madin
KMPP Blora
Waini~ Tulisan tersebut benar-benar terasa polos, tulus, dan menohok. Dalam hati, saya berterima kasih kepada teman saya yang telah mengirimkan foto tulisan tersebut. Karena berkatnya, saya akhirnya punya bahan buat nulis. Ehehehehehe.....
Kembali soal polemik FDS.
Dalam peraturannya, Pak Mendikbud, Muhadjir Effendy menetapkan bahwa setidak-tidaknya, kegiatan belajar-mengajar di sekolah berlangsung hingga pukul empat sore. Kebayang bukan bagaimana kZL-nya (baca: kesel/capek) kalau sekolah sampai jam empat sore? Murid kZL, guru juga iya. Cape deh~
Masih mending kalau nantinya siswa-siswi bener-bener jadi pinter dan berkarakter kuat, lha kalau tidak? Yang terbentuk pasti hanyalah generasi yang pikirannya mblundeti, gampang stres, dan akhirnya jadi kaum ngamukan.
Bukan cuma murid, guru-guru pun bisa jadi stres berkepanjangan, lebih-lebih bagi mereka yang masih honorer. Duh biyung, mau cari duit darimana untuk menyambung hidup jika waktu sore buat kerja paruh waktu diambil juga jatahnya oleh sekolah?
Selain soal ekonomi, membicarakan FDS juga sama artinya membincangkan kehidupan sosial-emosional guru. Jangan salah, Bruh, guru juga butuh relaksasi loh setelah seharian dibuat emosi dan mblundeti oleh murid-murid yang kakeane itu.
Hal yang biasa dilakukan untuk menghibur diri adalah keluar rumah, menghirup udara segar, becanda dengan kawan-kawan. Secara sederhana, mari sebut kegiatan ini sebagai kongkow.
Nah, hal inilah yang akhirnya menginspirasi kawan-kawan dari Blora sampai akhirnya menulis tulisan di atas. Mereka sadar betul, bahwa guru—terutama yang masih muda—juga manusia. Mereka butuh istirahat, senang-senang dengan kawan-kawan, dan ketemuan dengan pacar. #nb bagi yang punya pacar.
Lha dikira guru itu robot yang bisa disuruh apa saja? Syudah gajinya kecil, disuruh ini itu lagi. Mesakke men koe to ru-guru...
Dengan adanya FDS, hak-hak pribadi bagi guru akan lenyap. Layaknya kambing yang dikebiri, produktivitas guru akan hilang. Siapa yang akan menjamin bahwa dengan jam kerja yang sumpek itu para guru akan fokus di kelas, mampu memberikan pengajaran akademik maupun moral yang baik, serta memiliki ekonomi yang tidak gonjang-ganjing?
Siapa yang bisa menjamin kalau teman-teman para guru itu tak menggunjing karena jarang keluar rumah karena lelah? Lalu, siapa juga yang bisa menjamin bahwa hubungan mereka dengan sang pacar bisa tetap harmonis? Katakan, Ana! Katakan!
Ayolah, Pak Mendikbud, guru juga manusia, punya rasa punya hati. Tolong pikirankan lagi soal FDS ini. Ajak para ahli untuk diskusi. Ajak para pakar pendidikan, kyai-kyai pondok, dan guru-guru beserta kekasih mereka.
Ingat, mereka juga patut mendapat hak seneng-seneng dan bicara ngalor ngidul. Ya walau nggak sengalor-ngidul Jonru sih~
A. A. Rifai
Tags:
Opini