Oleh Suryadi (PMII Rayon Pancasila, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Kamis – 20:35 WIB
Warga berkumpul seusai penggusuran kampung Tambakrejo, Kelurahan
Tanjungmas, Semarang Utara. - Bisnis/Alif N.
13 Oktober 2019,
mengunjungi warga Tambakrejo bersama kawan-kawan Sekolah Rakyat Maroon (SRM)
dengan tujuan menelusuri kronologis terkait penggusuran permukiman warga
Tambakrejo. Perjalanan menuju lokasi disuguhi pemandangan gedung menjulang
tinggi berderetan sepanjang kota semarang. Dampak dari kemajuan industri
membawa semarang menjadi lebih baik. Namun, hal tersebut membawa pertanyaan
besar, apakah warga Tambakrejo juga merasakan dampak positif tersebut atau
justru sebaliknya? Melihat setiap sudut Tambakrejo, berbagai macam kendaraan
proyek lalu lalang untuk menggencarkan misi pembangunan yang dinaungi oleh
Pemerintah Kota Semarang, demi arah pembangunan yang lebih baik. Entah faktanya
memang begitu atau sebuah opini yang dilontarkan untuk melindungi kepentingan
tertentu.
Sesampainya di
lokasi Tambakrejo, teringat kejadian ketika penggusuran berlangsung disini.
Kenangan pahit yang dialami warga tambakrejo masih terngiang di kepala.
Tumpukan tanah yang rata menjadi saksi bisu kekerasan dan penindasan oleh
ribuan Satpol PP sehingga meninggalkan bekas luka yang tersimpan rapi
dibalik kenangan itu.
Sekilas tentang
Tambakrejo
Tambakrejo adalah
sebuah kelurahan yang terletak di sebelah utara wilayah Kecamatan Gayamsari,
Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. kawasan ini sering dilanda banjir,
terutama saat air laut mengalami pasang atau biasa disebut dengan banjir rob.
Berbagai tindakan preventif dilakukan untuk mengantisipasi datangnya banjir
kiriman. Warga Tambakrejo yang notabene menempati bantaran sungai sejak tahun
1989, memanfaatkan lahan kosong sebagai tambak ikan, bandeng, dan udang.
Melihat tempatnya yang strategis, laham kosong tersebut digunakan sebagai
permukiman oleh warga Tambakrejo. Jumlah penduduk Tambarejo kurang lebih
berjumlah 97 kk atau sekitar 400 jiwa. Mereka tercatat sebagai warga resmi
terbukti dengan KTP, akte kelahiran dan dokumen kependudukan lainnya
(.idntimes.com).
Sebagian besar
mata pencaharian masyarakatnya adalah Nelayan. Beberapa diantaranya sebagai
buruh pabrik, pedagang bahkan ada juga yang menjadi pemungut sampah. Setelah
sekian lama tinggal di kawasan ini bersama keluarga dan sanak kerabat serta
hidup berdampingan dengan kekayaan alamnya, namun ketentraman warga Tambakrejo
mulai terganggu pada awal 2018 setelah adanya sosialisasi proyek mengenai rencana
pengendalian banjir dan normalisasi sungai Banjir Kanal Timur (BKT). Saat
lokalisasi, warga langsung mendapat surat peringatan pertama akan adanya
penggusuran pada 22 Januari 2018 silam. Isi dari surat tersebut adanya larangan
mendirikan bangunan di sepanjang bantaran sungai, selain itu warga juga diminta
untuk segera membongkar permukimannya. Bulan berikutnya mendapat peringatan
kedua, warga diberi waktu 4 x 24 jam, pada tanggal 8 februari (IDN times).
Permasalahan
berawal ketika warga Tambakrejo tidak boleh lagi menempati atau mendirikan
permukiman di wilayah tersebut. Tidak hanya itu, berbagai permasalahan baru
juga ikut muncul terkait nasib mereka kedepannya. UUD 45 pasal 28; UU 39 Tahun
1999 tentang hak asasi manusia; Konvenen Ekosos yang telah diratifikasi dalam
UU No 11 tahun 2005, dimana UU tersebut mengatur hak-hak warga negara seperti
hak hidup sejahtera lahir dan batin, hak bertempat tinggal, hak perlindungan
harta benda pribadi, hak hidup yang layak dan hak mendapatkan ganti kerugian
terhadap barang pribadi milik mereka.
Konflik Tak
Berkesudahan
Wacana mengenai
penggusuran sudah lama dicanangkan, Namun, pada era Hendrar wacana ini mencuat
kembali dengan program Banjir Kanal Timur (BKT). Selama masa tersebut belum ada
kesepakatan antara warga Tambakrejo dan pemenrintah. Baik Pementiha Kota
ataupun Gubernur. Hingga akhir tahun 2018 barulah terjadi mediasi yang
ditengahi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Tepat pada tanggal 13
Desember 2018, terjadi mediasi antara warga Tambakrejo, Pemerintah Kota
Semarang dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juang yang ditengahi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hasil mediasi ini menghasilkan 10 pasal
kesepakatan yang dibubuhi tanda tangan di atas materai.
Beberapa pasal
tersebut antara lain : warga Tambakrejo bersedia pindah di sekitar lokasi;
pemerintah bersedia membangunkan rusunawa di dekat lokasi yang mencakup 97 KK;
pemerinatah bersedia membayar kompensasi sebesar 1.500.000 per KK. Namun hasil
mediasi tersebut berhenti pada kertas saja tanpa adanya tindak lanjut dari
pihak terakit. Justru pada tanggal 3 Mei 2019 datanglah Satpol PP yang siap
menggusur permukiman warga namun, berhasil dihentikan oleh warga. Enam hari
setelahnya, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2019, Ribuan Satpol PP mendatangi
Tambakrejo dan upaya penggusuran tidak dapat dihentikan. Ratapan dan tangisan
warga tidak menyentuh hati nurani mereka, penggusuran tetap terjadi sesuai
perintah semestinya. Tindakan seperti itu jelas upaya melawan hukum, para kaum
elit mengingkari hasil mediasi sebelumnya. Rusunawa yang dijanjikan di dekat
lokasi tidak kunjung dicanangkan dan tanahnya pun baru selesai perataan sekitar
30 %. Tidak lama kemudian berselang munculah berbagai aksi solidaritas peduli
Tambakrejo yang membantu dan membangun tenda-tenda sementara untuk warga
Tambakrejo.
Sejak penggusuran
tersebut, tidak ada perhatian sedekitpun dari Pemerintah Kota maupun Gubernur.
Warga korban penggusuran hidup di tenda-tenda hasil solidaritas bersama.
Tanggal 12 Mei 2019 baru ada iktikad baik dari Gubernur yang memediasi antara
warga Tambakrejo, Pemerintah Kota , BBWS serta Komnas Ham. Hasil kesepakatan
ini yaitu PemKot bersedia membuatkan bedeng-bedeng untuk hunian warga
Tambakrejo yang permukimannya digusur. Sesungguhnya, Gubernur sudah menyiapkan
Rusunawa mewah yang berlokasi di Kudu. Warga korban penggusuran menolak dengan
penguatan bahwa, sebagian besar matapencaharian warga korban penggusuran
sebagai Nelayan yang notabene tidak bisa jauh dari laut. Pertimbangan laiinnya
yaitu, mahalnya biaya sewa rusunawa, listrik dan air sebagai penunjang hidup
sehari – hari.
Bertahan dan
Melawan
Minggu, 13 oktober
2019. Kehidupan warga Tambakrejo terlihat lebih baik dari sebelumnya, walaupun
mereka harus bersempit ria tinggal di Bedeng-Bedeng yang dibangun oleh
Pemerintah Kota. Bayangkan saja, Bedeng dibuat hanya 3 buah yang terbagi
menjadi 17 kamar per bedeng. Ukuran per kamarnya kira-kira hanya 2 meteran. Di
kamar yang sempit ini dihuni per keluarga dengan fasilitas Mck dan Kamar mandi
10 buah. Namun, hidup dalam keterbatasan tidak mengganggu semangat bertahan
warga Tambakrejo. Mereka tetap bersama-sama dalam suka maupun duka. Senyum
mereka tetap hangat menyambut kedatangan kami dan senang hati menceritakan
kronologi dan penderitaan yang mereka alami.
Mengenai janji
yang dilontarkan oleh Walikota Semarang, salah satu warga bercerita bahwa
beberapa waktu silam, Pak Hendrar mendatangi lokasi dan berjanji akan
mendirikan rusunawa di dekat lokasi penggusuran setelah pembangunan proyek BKT
selesai. Rencananya akan dibangun pada awal tahun 2020, setidaknya akhir tahun
sudah dapat ditempati. Hal ini menjadi harapan warga bersama-sama menunggu dan
akan menagih janji tersebut. Berkat pendampingan LBH, aktivis, dan berbagai kalangan
solidaritas Tambakrejo, kini perubahan demi perubahan mulai muncul. Warga
korban penggusuran di Tambakrejo yang sebagian besar Nelayan juga mencari
penghasilan lainnya seperti berjualan toko kelontong. Banyaknya pengunjung yang
datang ke lokasi sebagai faktor pertimbangan yang mempengaruhi warga untuk
berjualan. Kedepannya, diharapkan ketika program BKT sudah selesai dapat
meningkatkan ekonomi warga dengan memanfaatkan potensi sebagai wisata bahari
ataupun tempat pemancingan. Menurut salah seorang warga Korban Penggusuran.
Tambakrejo akan dibangun pintu masuk dan tiket parkir yang menjadi harapan
bersama sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan warga setempat. Tambakrejo
telah melawan demi hak – hak yang semestinya didapatkan dengan Sebaik-baiknya
dan sehormat-hormatnya.
Editor : Nafira
Tags:
Opini