Oleh Pancaksara Lukfi (PMII Rayon Pancasila, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Sabtu – 21:09 WIB
![]() |
Sumber : Pixabay |
Kegilaan (madness) merupakan sebuah terma sosial yang akrab di telinga dan tapi
hanya sepintas di pikiran masyarakat. Kegilaan didapati pada konteks budaya
manapun, dan periode waktu (sejarah) kapanpun. Sayangnya, ia mudah didengar,
tapi sukar untuk dipikirkan. Entah apa pula yang menjadi sebab, terdapat tembok
imajinatif yang menjadikan upaya pembongkaran terhadap kegilaan menjadi
terkesan pali, atau diandaikan begitu saja sebagai sebuah ketakperluan.
Hari ini kita padankan kegilaan dengan
ketakwarasan, atau secara serampangan kita memaknainya sebagai suatu keadaan
dimana seseorang mengalami pengerutan daya pikir setaraf binatang, sehingga tak
lagi pantas dilafalkan sebagai manusia. Sebab, manusia selalu mengasosiasikan
diri dengan kekuatan nalar (rasionalitas) atau kedigdayaan pikir yang
menjadikan manusia kini sebagai puncak metaforfosa dan rantai makanan mahluk di
muka bumi.
Penulis tak tahu pasti sejak kapan
kegilaan bermudarif ihwal pikiran rasional. Yang jelas, disini sarat ditemui
watak subyektifisme akut. Pendakwa kegilaan tentu tak mengdaku diri menjadi
bagian dari itu, sedang ia mengidentifikasi diri sebagai tampuk keadaban.
Diciptakanlah sebuah indikator dan standar secara semena-mena serta memberikan
cita rasa penghakiman moral disana. Bahwa ‘Si Gila’ adalah inferior, sedangkan
‘Si Pendakwa Kegilaan’ adalah superior.
Kegilaan kemudian ditandai sebagai
markah kerendahan, ketakpantasan dan kehinaan. Status moral itu mengharuskan
mereka untuk menjadi tercecer, pinggir atau marjinal. Kegilaan tak kuasa
dihadapan keperkasaan kewarasan dan keadaban sebagai ‘sang utama’. Apapun yang
menjadi bagian atau identik dengan kegilaan akan diarahkan untuk disisihkan,
dibuang dan dilenyapkan.
Lantas yang pantas menjadi soal adalah
“mengapa si waras berhak mendaku diri sebagai kewarasan, bukan justru
sebaliknya?”. Agaknya cukup jelas, bahwa relasi kuasa membutuhkan sumber
kekuasaan yang berujung pada otoritas. Baik otoritas politik, ekonomi, sosial,
budaya, agama dan sudah barangtentu otoritas akademik. Mereka adalah elit masyarakat
yang mampu memberikan patokan kebenaran. Pendek kata, mereka menguasai klaim
kebenaran.
Sifat dasar kekuasaan adalah imunitas.
Gairah pertahan diri adalah syarat kekukuhan kekuasaan, disisi lain ia selalu
merasa cemas. Kegilaan adalah produk dari kecemasan kekuasaan, digunakan
sebagai bagian dari sistem imun yang mengukuhkan diri dari serangan para
resistan. Penggelaran gila menjadikan pihak yang mencoba mengusik otoritas sebagai
mulut-mulut pemabuk yang mengoceh. Tak layak didengarkan!
Belakangan kegilaan menjelma menjadi
berbagai macam varian; tudingan tak membaca, ekstremisme, radikalisme,
ditunggangi dan segala bentuk eufemisme mutakhir dari kegilaan. Telah disebut
dimuka, bahwa kegilaan disini adalah sebuah terma sosial, ia terbuka untuk
menjadi kasus kontekstual sebab misi utamanya bukan pada bentuk, melainkan
ikhtiar penggembosan para pengganggu versi penguasa.
Sejarah mampu memberikan justifikasi
kuat bahwa kegilaan tidak pernah berfokus pada bentuk dan aksesorinya. Foucault, filsuf post-moderisme asal prancis,
mengemukakan bahwa kegilaan memiliki rupa warna yang berbeda disetiap periode
sejarah.
Pada periode yunani klasik, kegilaan
tidak berbeda denggan apa yang umum dipahami saat ini, hal ini lantaran kala
itu mereka sedang dalam masa pubertas pemikiran. Sehingga akal menempati posisi
sentral dan berada pada puncak previles. Kekederan dalam penggunaan akal layak
dicemooh, kehilangan akal adalah
kulminasi kehinaan. Demikian kegilaan didefinisikan.
Lain dengan pada masa pasca klasik akal
budhi tidak lagi ditempatkan sebagai standar dan indikator kegilaan. Kegilaan
disinonimkan dengan kerusakan moral. Runtuhnya rezim akal budhi Athena,
wijayanya kekuasaan model spartanis serta mulai bertunasnya ajaran Keristen,
menciptakan konstruksi sosial-moral yang amat kental dan kaku. Keluhuran moral
merupakan khittah, sedang rusak moral adalah kesia-siaan hidup.
Meskipun kedua periode tersebut
memiliki sudut pandang kegilaan yang berbeda, sebetulnya keduanya secara
fondasional tak berbeda. Lantaran pada dasarnya sirkulasi penggelaran kegilaan
adalah shootgun bagi elit kekuasaan.
Kegilaan pada periode renaisance berbeda sepenuhnya. Kegilaan
dirayakan sepenuhnya sebagai makna kebebasan berfikir dan berimajinasi. Ia
adalah bagian dari kebahagiaan dan kebenaran, mencerminkan ketersibakan dan
perlawanan terhadap kesemuan. Mengapa begitu? Tak lain karena terma kegilaan
dan pemaknaanya telah direbut dari kekuasaan.
Para resistantor—yang selama Dark Age direpresi oleh Gereja—memenangkan
ruang kekuasaan dan menjungkirkan makna kegilaan yang selama sebelumnya
dipergunakan untuk membungkam, malah kemudian
berubah menjadi symbol dari ekspresi kebebasan dan kebahagiaan.
Kanker Darah (Muda)
Pemuda dan darah muda memang tidak vis a vis dengan kegilaan, keduanya
adalah obyek yang kerap terkena cecaran dan tudingan kegilaan. Darah muda
adalah sebuah mitos, dimana kekuatan fisik, mental dan spiritual menyatu padu
lalu beredar dengan tensi adrenalin tinggi. Apakah betul demikian? Tak tahu
pasti,yang jelas dengan mudah dapat ditilik bahwa sebagian besar perubahan sejarah
melawan pendakwa kegilaan dialiri oleh darah muda.
Hematologi adalah bidang studi kesehatan yang
mempelajari tentang darah dan gangguan darah yang terjadi. Meskipun
metaforis,|sama halnya dengan darah secara umum, darah muda potensial
terjangkiti penyakit hematologis. Sebut saja kanker darah muda, ia menggerogoti
organ manusia pemuda, secara perlahan melemahkan dan membunuh inangnya.
Kanker darah muda cukup tampak hari-hari
ini, wujudnya berupa kepentingan, golonganisme, primordialisme, dan sentimen lain
didalam tubuh pemuda sendiri. Misalnya, aliran darah muda tersumbat oleh
pragmatisme politik akibat relasi patronase si darah muda dengan ‘senior’.
Begitu menggemaskan ketika salah satu organisasi mahasiswa islam terbesar di
Indonesia melempari gedung institusi anti-rasuah hanya karena junjungannya
terseret ke jeruji besi. Ini bukanlah kegilaan menuju pencerahan!
Gejala kembali bercokolnya
totalitarianisme ditanggapi dengan cara khas kekanak-kanakan. Mungkin ini
adalah gaya baru penciptaan kegilaan oleh kekuasaan, aliran deras darah muda
harusnya mampu mendobrak judgement kegilaan—berupa
tudingan ditunggangi, kajian bobrok, tuntutan utopis serta segala pengalihan
kontra-substansi lain. Bukan malah sibuk menciptakan citra tokoh agar di masa
depan dapat disisipkan dalam pusaran setan kekuasaan.
Kanker memang tak menghentikan aliran
darah muda, akan tetapi karena itu produksi trombosit semangat perubahan
menjadi minim. Jika dibiarkan saja, menunggu waktu ia akan mati. Cara terbaik
menghentikan kanker adalah memberagus gejalanya sedari dini. Kegilaan
eufemistis kudu diputarbalikan dan direbut untuk didekonstruksi. Menjadikan
kegilaan berupa kegarangan pemuda melawan vampirisme kekuasaan terhadap rakyat!
Sapere
aude!
Tags:
Opini