Pengertian banjir adalah suatu fenomena yang terjadi saat aliran air berlebihan merendam suatu daratan. Jenis banjir bermacam – macam diantaranya yaitu, banjir rob, banjir lumpur, banjir lahar, banjir bandang, serta banjir yang diakibatkan oleh hujan yang terus menerus. Penyebab terjadinya banjir secara umum adalah maraknya pembuangan sampah sembarangan sehingga dapat menyebabkan penyumbatan, amblesan, permukiman dibantaran sungai, intensitas curah hujan yang tinggi, tanah yang tidak dapat menyerap air, drainase yang buruk dan masih banyak lagi penyebab terjadinya banjir tanpa kita sadari. Pertanyaannya adalah apakah banjir sebuah fenomena alam yang sifatnya kebetulan ?, atau terdapat hal lain yang menyebabkan banjir sering menghantui permukiman, terutama saat musim hujan.
Diskusi kali ini, pemantik mengambil studi kasus banjir Jakarta yang sering terjadi setiap tahun dan menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat. Apakah skema banjir yang terjadi di Jakarta disebabkan oleh system drainase yang buruk ? Menurut Bosman Batubara mengenai beberapa penyebab terjadinya banjir di Jakarta, disebabkan oleh berubahnya kehidupan sosio-ekologis. Khusus di Jakarta, terdapat berbagai jenis banjir yang terjadi disana, Pertama. Banjir yang datang dari laut, kedua banjir yang terjadi akibat hujan deras di daerah tangkapan banjir (kiriman), ketiga yaitu banjir hujan local, dan keempat banjir yang terjadi karena kombinasi adanya penyebab-penyebab yang telah disebutkan sebelumnya.
Banjir yang datang dari laut yaitu banjir rob. Hal ini terjadi secara berangsur karena semakin banyaknya gedung-gedung menjulang tinggi dan besar, sehingga mengakibatkan permukaan tanah perlahan turun sekitar kurang lebih 20 cm per tahun, seperti halnya fenomena rob yang marak terjadi di Jakarta.
Kedua, banjir di daerah tangkapan (kiriman). Hal tersebut merupakan banjir kiriman dari daerah bogor. Secara geografis, letak administrasi Bogor lebih tinggi dibandingkan Jakarta. Jika Bogor terjadi hujan deras, secara otomatis air tersebut akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, yaitu Jakarta melalui sungai Ciliwung, ketika air sungai melebihi kapatsitasnya akan meluap menggenangi daratan. Disisi lain, semakin banyaknya koversi lahan tutupan menjadi permukiman. Misalnya di daerah Bogor, berbagai macam bangunan Villa dan perumahan banyak didirikan, sehingga kurangnya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai drainase, terutama ketika musim hujan. Sejak era Presiden Soeharto terdapat Keputusan Presiden (Keppres) tentang tata ruang Bogor, Puncak, dan Cianjur. Selain itu, juga terdapat lampiran Keppres tentang peta dengan skala 1:25.000. Skala detail tersebut, menunjukan bagian peruntukannya masing – masing. Baik sebagai permukiman, perkebunan, atau lahan komersial. Namun, realita di lapangan jauh dari kata ideal. Keppres itu tidak ditaati, kenyataan yang tidak dapat dimungkiri adalah kaum borjuis dapat dengan mudah mendirikan vila, tanpa memandang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kawasan tersebut.
Terdapat fungsi hidrologi dari hutan yang dapat menjaga keseimbangan ekologi diantaranya yaitu, pertama, dedaunan hutan dapat melakukan fungsi intersepsi terhadap hujan yang turun, sehingga sebagian air itu dapat tertahan disana; kedua, jaringan pepohonan di hutan membantu air untuk masuk kedalam soil, selanjutnya meresap kedalam batuan sarang dan menjadi air tanah; ketiga jaringan akarnya memperkuat ikatan tanah untuk tidak tererosi. Apabila area hutan ini berkurang maka semakin berkurang pula tiga fungsi diatas. Adanya alih fungsi hutan dan lahan menjadi permukiman merupakan imbas dari kebijakan otonom i daerah.
Realitas tersebut dapat dilihat bagaimana fungsi hutan menjadi kawasan penyangga, interseptor air hujan, serta pencegahan erosi tanah perlahan hilang drastis dan sistematis oleh rezim yang memanfaatkan kebijakan otonomi daerah. Banjir yang terjadi belakangan ini tidak terlepas dari persoalan sosial politik dan ekologi dimasa lampau. Cuaca ekstrem yang melanda berbagai wilayah akibat dampak dari pemanasan global, mengakibatkan hujan terus turun dibeberapa daerah. Hujan yang turun tidak terdrainase dengan baik sehingga, mengakibatkan erosi tanah. Selain itu, menyebabkan semakin bertambahnya laju aliran permukaan air di daerah hulu. Pertambahan laju aliran air inilah yang membuat sungai melebihi kapasitasnya, sehingga terjadi banjir yang melanda daerah hulu.
40% atau sekitar 24.000 ha dari seluruh wilayah DKI Jakarta adalah dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut. Dataran yang rendah ini dialiri oleh 13 sungai yang bermuara di Laut Jawa. Saat ini, Jakarta merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini terus bertambah dikarenakan terdapat daya tarik terutama di bidang ekonomi. Tingkat pertambahan penduduk yang tinggi, menimbulkan tekanan pada lingkungan hidup Jakarta yang semakin lama bertambah bebannya. Perpaduan antara kondisi geografis yang rendah dan dialiri oleh banyak sungai, serta rusaknya lingkungan hidup akibat tekanan pertumbuhan penduduk, menyebabkan Jakarta rentan terhadap ancaman bencana banjir. Jika dibiarkan, Jakarta akan menjadi perairan (tenggelam).
Banjir di Kota Jakarta berkaitan erat dengan berbagai faktor seperti, pembangunan fisik di kawasan tangkapan air di hulu yang kurang tertata baik, urbanisasi yang terus meningkat, perkembangan ekonomi dan perubahan iklim global. Sesungguhnya banjir di kota ini bukanlah masalah baru. Pemerintah kolonial Belanda pun sudah sedari awal dipusingkan dengan banjir dan tata kelola air Jakarta. Hanya berselang dua tahun setelah Batavia membangun sistem kanal, tahun 1621 kota ini mengalami banjir. Catatan pertama dalam sejarah Hindia Belanda, di mana pos pertahanan utama VOC di Asia Timur itu dilanda banjir besar. Selain itu, banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, terutama ketika wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora. Tercatat dalam sejarah banjir besar terjadi pada tahun 1654, 1872, 1909 dan 1918.
Belum selesai sampai disini, permasalahan sampah juga menjadi hal yang harus diperhatikan lebih. Menggunungnya sampah di beberapa tempat, terutama dalam aliran sungai, menjadi salah satu faktor yang memperparah adanya banjir. Sampah yang menggunung di aliran, dapat menyumbat dan menutup pintu air di sungai. Terhalangnya pintu air sungai oleh sampah, menyebabkan peningkatan tinggi muka air di segmen. Misalnya, tertutupnya 3 dari 4 pintu air di karet dapat menyebabkan debit air semakin tinggi. seharusnya ke empat pintu air berjalan dengan baik, namun hanya 6 meter saja, dikarenakan tertutup oleh sampah. Peningkatan tinggi muka air di segmen Manggarai - Karet mencapai 10 meter. Hal ini dapat berpotensi tanggul jebol. Oleh karena itu, peran dan kontribusi stakeholder sangat penting dalam pelestarian lingkungan.
Penggunaan air tanah dengan berlebihan juga menjadi perhatian tersendiri, dikarenakan dapat menyebabkan permukaan air tanah menjadi turun. Bedasarkan sumber berita BCC News, penyebab banjir beberapa hari ini yang terhitung sejak tahun baru 2020, akibat dari fenomena tanah jakarta yang turun. Sebanyak 60% masyarakat menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk minum, mck, masak dll. Secara ilmiah, ketika air tanah dipompa terus menerus maka, akan terjadi penurunan tanah. Sejak tahun 1970 hingga 2020, sekitar 4 meter (atau setara dengan 2 kali tinggi ondel ondel) permukaan tanah di Jakarta sudah turun dari posisi semula, sehingga gedung, rumah dan bangunan yg lain turut tenggelam. Akibat lainnya yaitu, tidak adanya ruang terbuka hijau dan resapan air yg memadai sehingga, banjir yang berasal dari air hujan maupun kiriman tidak dapat terdrainase dengan baik.
Pemantik menutup diskusi dengan statement berikut ”Saya mengambil kesimpulan ini berdasarkan sumber yang dibaca pada salah satu media sosial. Mungkin, sedikit gambaran bahwa penanganan banjir, seharusnya bisa dimulai sejak dini yaitu, melalui penerapan kurikulum disekolah, tidak hanya mengenai bencana banjir, akan tetapi, beberapa bencana-bencana yang kemungkinan terjadi. Pelajaran yang pernah didapat pada saat menduduki bangku sekolah hanya berorientasi pada paradigma bahwa penyebab banjir akibat dari masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Hal tersebut bukan satu-satunya penyebab banjir. Terdapat beberapa hal yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir, justru jarang disampaikan dalam kurikulum sekolah diantaranya yaitu, pembalakan dan perubahan fungsi hutan, hilangnya daerah resapan hijau, penurunan permukaan tanah karena berat beban bangunan, penyempitan dan pendangkalan sungai, investasi yang tidak ramah lingkungan, keberpihakan negara terhadap investor, kesalahan tata guna lahan yang melibatkan uang dan kekuasaan.
Namun, tidak dapat dimungkiri bahwasanya pemerintah lebih mementingkan pembangunan insfrastruktur dan pengembangan kawasan perkotaan tanpa memperhatikan prinsip AMDAL sehingga, banjir sering melanda berbagai daerah maupun kota. Beberapa kebijakan pemerintah yang cenderung kontroversial lebih mengutamakan kepentingan beberapa pihak daripada memperhatikan daya dukung lingkungan. Namun, tidak semua hal merupakan salah pemerintah. Kesadaran harus digalakan baik dari pemerintah, swasta, maupun rakyat biasa. Mereka merupakan komponen penting yang berperan untuk mengembalikan fungsi lingkungan demi keberlangsungan hidup manusia. Kesadaran diri agar lebih peduli terhadap lingkungan merupakan kunci untuk menanamkan nilai cinta lingkungan terhadap anak-anak, sehingga strategi tersebut mampu meningkatkan kapasitas sumber daya manusia sejak dini. Salah satu contoh peduli terhadap lingkungan yaitu, mengganti penggunaan plastik dengan tas kain, mengganti sedotan plastik dengan sedotan stainless yang dapat dipakai berulang kali, dan tidak membuang sampah sembarangan. Perilaku tersebut merupakan contoh bijak dan ikut andil dalam pelestarian lingkungan. Harapan besar untuk kedepan, kinerja pemerintah melalui kebijakannya mampu memikirkan jangka panjang mengenai daya dukung Lingkungan. Selain itu, masyarakat juga harus kerja nyata melalui kiprahnya dalam bidang pelestarian lingkungan, bersinergi dengan pemerintah demi kelestarian lingkungan hidup nusantara.”