Oleh Najmul Ula, pada Sabtu – 13:50 WIB
![]() |
Sumber: Suara.com |
Keterpilihan figur asal Solo tersebut mendapat respon positif oleh banyak kalangan. Ia tidak terlahir dari klan besar atau sekongkol elite yang selama ini bercokol di pusaran politik negeri, dan praktis menapaki karier politik dari tangga terbawah. Sederhananya, ia adalah outsider.
Orang baik, begitu orang menjulukinya. Ia membawa banyak kebaruan dalam janji kampanye yang ia sebut Nawacita. Sembilan cita-cita bangsa. Ada gaung revolusi mental, ambisi membangun infrastruktur, dan gumaman soal kehadiran negara—dalam konteks apa pun(?).
Lima tahun berlalu, janji-janji sang orang baik boleh ditagih.
Baiklah, kita tidak bisa heran bila rezim ini membanggakan infrastruktur. Perubahan di bidang infrastruktur bisa disampaikan dengan angka-angka, yang tentu saja, mudah diartikan sebagai “peningkatan” atau “pembangunan”.
Total kilometer jalan tol mengalami penambahan dengan jumlah signifikan. Bandara, bendungan, jembatan, pos lintas batas negara, dan sejumlah infrastruktur lainnya bisa ditelusuri dan disimpulkan: rezim ini membangun lebih banyak daripada rezim sebelumnya.
Namun, bagaimana dengan aspek-aspek berbangsa dan bernegara lainnya? Kita mulai dengan “revolusi mental”. Indikator untuk mengukur itu tak bisa dijabarkan dengan bahasa angka. Bahkan sejak awal, tolok ukur untuk mengetahui ukuran keberhasilan revolusi mental juga awang-awang.
**
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Bukan itu persisnya yang dikatakan Presiden Sukarno, tapi saya yakin begitulah yang maksud sang proklamator. Problematika muncul lantaran sejarah bisa bersinonim dengan narasi ciptaan.
Sejarah adalah fakta yang ditulis pemenang. Sebagai entitas yang memiliki sifat memaksa dan mencakup semua, tentu saja negara adalah pemenang di banding rakyatnya. Jadilah ia menulis sejarah, mempropagandakannya, dan menciptakan ingatan semu di benak rakyatnya hingga bergenerasi.
Sejarah pahlawan akan ditulis bagaikan epos, dipenuhi heroisme dan romantika perjuangan. Sejarah akan menyampaikan aksi heroik sang pahlawan, tapi tidak dengan dosa-dosa yang dilakukannya. Negara akan menceritakan sejarah dengan nada memuja-muja, meski sebenarnya ia suram dan penuh pemalsuan.
Siapa tak pernah dengar peristiwa gelap 1965. Narasi pemberitaan di hari itu kelabu, karena hanya media massa produksi angkatan bersenjata yang boleh terbit. Tentara akhirnya menjadi panglima, di barak dan di istana negara. Akademisi asing yang menuduh telah terjadi pembohongan publik dan mengawarkan analisis awal yang berbeda, dicekal dari negeri ini hingga rezim tentara itu jatuh.
Pola serupa terjadi di banyak kasus. Kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penembakan misterius, Talangsari, Tanjung Priok. Meski negeri ini sudah tidak lagi dikuasai tentara (tidak secara kasat mata, setidaknya), penegakan untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia tersebut amat jauh dari realisasi.
**
Barangkali, satu-satunya langkah maju dalam penegakan kasus HAM di masa Presiden Joko Widodo adalah Simposium Sejarah Nasional untuk Tragedi 1965. Acara yang digelar Lemhanas tersebut perlu dicatat, lantaran menjadi event pertama yang digelar pemerintah mengenai tragedi 1965, dan secara umum memberi rekomendasi positif berkaitan dengan penyelesaian kasus tersebut.
Namun, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan saat itu, Luhut Panjaitan, menafikan simpulan Simposium dengan menyatakan "negara tak perlu meminta maaf” karena “keterlibatan negara masih jauh”. Entah apakah pendapat tersebut mewakili suara Presiden Joko Widodo, atau hanya sentimen pribadi Menteri Luhut yang merupakan purnawirawan, yang jelas, negara masih belum mau mengakui kesalahannya di masa lampau.
Apa yang dilakukan presiden berikutnya sangat bisa dianggap sebagai kemunduran. Menteri baru pengganti Luhut adalah Wiranto. Padahal, 16 tahun sebelumnya, Presiden Abdurrahman Wahid mencopot orang yang sama dari jabatan yang sama atas alasan diduga kuat melakukan pelanggaran HAM semasa menjabat sebagai panglima TNI.
Melompat ke periode keduanya, Jokowi memberi pos menteri pertahanan kepada eks lawan politik yang diduga menghilangkan beberapa mahasiswa pada kerusuhan 1998. Baiklah, Jokowi juga menunjuk sipil pertama sebagai Menko Polhukam. Akan tetapi, Menko Polhukam sipil, yang sebelumnya menjadi idola publik berkat opini-opini bernas terkait demokrasi dan hak asasi manusia, tampak sama saja dengan mereka yang dari tentara.
Komentarnya bahwa tak ada pelanggaran HAM apa pun di era Jokowi, serta klaimnya bahwa “kalian tak tahu apa-apa tentang HAM”, tentu saja membuktikan adagium lama bahwa negara itu sombong, demikian pula para pejabatnya. Sang Menko Polhukam sipil seakan membuktikan perkataannya di masa lampau bahwa “malaikat pun bisa jadi iblis jika masuk sistem di Indonesia”, seakan menjadi kenyataan bahwa ia sendiri, telah terperangkap dalam sistem.
Tags:
Opini