Oleh Labiqul Aqil (Ketua Bidang Eksternal PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Sabtu – 13:57 WIB
Namun ada sedikit angin segar yang berhembus datang dari China. Kabarnya China telah berhasil mengembangkan vaksin untuk menangkal COVID-19 dan memulai uji coba klinis kepada pasien di China. Vaksin tersebut dikembangkan oleh para peneliti akademi ilmu kedokteran militer di Wuhan, China yang dipimpin oleh ahli perang biologis (Biowarfare), Chen Wei. Perempuan berusia 54 tahun ini adalah ahli Epidemiologi, Virologi, dan Biokimia paling terkenal di negeri tirai bambu tersebut.
Di zaman dulu, tercatat dalam sejarah bahwa pandemi virus yang mematikan pernah ada. Nama virus dan kadar kedahsyatannya boleh berbeda, tapi substansinya sama, yaitu pandemi, mudah menular dan mematikan. Di tahun 2003 ada virus Sars, di tahun 2012 ada Mers, di tahun 2014 ada Ebola di Afrika. Di zaman Rosul SAW dan para sahabat, terdapat virus pandemi bernama Tha'un dan Judzam (kusta, lepra).
Sebagai kader PMII yang juga seorang santri sekaligus mahasiswa hendaknya kita memperhatikan sikap dalam menghadapi tantangan COVID-19 yang sedang mewabah saat ini:
Mempertahankan Aqidah Aswaja
COVID-19 menjadikan tidak sedikit orang khususnya yang sebelumnya memegang teguh Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) seperti kita, seketika tergelincir ke dalam aqidah selain Aswaja, Jabariyah dan Qadariyah misalnya.
Beberapa orang memasrahkan diri sepenuhnya secara total kepada Allah dengan tidak melakukan upaya pencegahan terhadap kemungkinan penularan virus, seperti tidak pernah mencuci tangan, enggan memakai masker ketika sakit dan pergi keluar rumah, sambil berkata “Takut kok sama virus, takut ya sama Allah SWT jangan takut sama corona”.
Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Memang ada benarnya kita harus takut kepada Allah SWT, tapi di sisi lain pernyataan ini menjadi cacat karena Allah tidak bisa dibandingkan dengan COVID-19. Logika ini syarat akan dasar teologis yang masuk dalam golongan Jabariyah. Inti dari paham Jabariyah adalah semua urusan manusia sudah diatur oleh Allah SWT sehingga tidak ada ruang ikhtiar bagi manusia.
Kemudian sebagian orang lainnya memasrahkan diri secara penuh kepada ikhtiarnya masing-masing dan melupakan takdir Allah, selalu mencuci tangan bahkan memakai hand sanitizer, memakai masker bahkan ketika tidak sedang sakit, dan juga tidak mau bersalaman dengan sesama. Karena dengan cara seperti itu dia yakin pasti tidak akan terkena COVID-19.
Ikhtiar seperti ini juga sebenarnya dapat menjadikan seorang muslim terperosok ke dalam paham teologi Qadariyah. Inti dari paham Qadariyah adalah berkeyakinan bahwa manusia memiliki kehendak bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.
Agar tidak terperosok ke dalam paham Jabariyah maupun Qadariyah, kita sebagai kader PMII yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah harus senantiasa berpegang teguh pada prinsip moderat dalam segala hal termasuk ketika ada musibah. Di antaranya adalah pasrah kepada takdir Allah dan ikhtiar baik lahir maupun batin harus berjalan beriringan.
Menjaga Akhlak Mulia
Mengutip dari NU Online, seperti yang disampaikan oleh Almukarom KH Ubaidillah Shodaqoh Rois Syuriah PWNU Jateng, bahwa salah satu upaya menjaga akhlak mulia kita adalah dengan cara husnudzon atau berbaik sangka kepada Allah SWT atas semua peristiwa di alam ini.
Hendaknya Kader PMII memandang bahwa COVID-19 adalah makhluk ciptaan ALLAH SWT. Hadirnya di tengah-tengah kita juga atas kehendak ALLAH SWT.
Namun berbeda lagi ketika ada seorang oknum ustadz yang menyatakan bahwa COVID-19 merupakan tentara ALLAH yang diciptakan karena efek dari kasus Uighur, dimana Allah ingin membela muslim Uighur dengan menciptakan virus yang memporak porandakan negara China. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa virus ini merupakan alat Allah SWT untuk balas dendam terhadap penyiksaan muslim di Uighur.
Terlepas dari benar atau tidaknya penyiksaan muslim Uighur oleh otoritas China, sebenarnya pernyataan oknum Ustadz ini menimbulkan beberapa perspektif, memang ada benarnya ketika menganggap bahwa COVID-19 merupakan tentara Allah, ini artinya kita masih menganggap bahwa COVID-19 merupakan ciptaan Allah. Tapi jika kita melihat fatality rate yang disebabkan oleh virus ini, ternyata tidak hanya China yang menyumbang korban jiwa, tetapi Italia, Korea Selatan, bahkan Iran juga terkena dampak dari virus ini. Bahkan Arab Saudi juga menutup aktivitas di masjidil haram.
Jika COVID-19 merupakan tentara ALLAH SWT, apakah tentara ALLAH SWT ditolak dan dicegah untuk masuk ke tempat sucinya sendiri?
Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan seperti ini merupakan stigma negatif, ujaran kebencian, dan disinformasi yang ditujukan oleh sebagian golongan terhadap golongan yang lain di atas kepentingan tertentu. Mengesampingkan akhlak mulia dan lebih mengutamakan emosi daripada kebijaksanaan merupakan hal yang lebih berbahaya daripada virus COVID-19 itu sendiri.
Melakukan Telaah Sains
Cara berpikir yang salah terhadap munculnya virus COVID-19 adalah virus yang lebih mematikan daripada COVID-19 itu sendiri. Memfitnah sekelompok babi yang tidak bersalah sebagai penyebab munculnya COVID-19, atau memendam hidup-hidup ribuan ayam yang dilakukan oleh peternak India adalah sedikit contoh sesat pikir yang berbahaya.
Sebagai kader PMII yang memiliki warisan paradigma yang luhur yaitu kritis transformatif, idealnya tidak terbawa arus disinformasi, hoax, bahkan ujaran kebencian. Alih-alih terbawa arus demikian, kader PMII harusnya mampu mengkritisi informasi seputar COVID-19.
Menghadapi tantangan pandemi ini, kita sebagai kader PMII sebaiknya juga meniru sikap beberapa tokoh cendekiawan dan ilmuan di masa kejayaan islam pada masa abad 9 s.d. 12 M, seperti Ar-Razi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusd. Jika mereka hidup di zaman sekarang, dalam menghadapi tantangan seperti ini pasti sudah menggunakan telaah sains dan melakukan riset terhadap munculnya virus ini dan bagaimana cara menanganinya. Bukan memanfaatkan fenomena pandemi dan menggunakannya sebagai ujaran kebencian serta membawa-bawa nama agama untuk kepentingan ego kita.
Memandang Islam hanya sebuah agama akan memiliki keterbatasan dalam menjawab tantangan, karena hanya akan terbatas dalam urusan akidah dan syariah, berbeda ketika memandang islam sebagai sebuah Ilmu, islam sebagai sebuah sains. Islam tergantung pada orang-orang di dalamnya, apakah mereka mampu menjawab persoalan sains ini menggunakan ilmu atau hanya akan terbatas menggunakan agama.
Semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita semua
Tags:
Opini