Penerapan Darurat Sipil; Menghidupkan Otoritarian Pers

Oleh A.M Adzkiya Amiruddin (Bidang Eksternal PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Jumat – 19:15 WIB

Ilustrasi (Sumber foto : Teropong Senayan)

Penutupan 2019 menjadi kenangan pahit bagi dunia, bagaimana tidak, sambutan dari virus Corona menjadikan banyak negara kuwalahan dalam mengatasinya. Ribuan korban berjatuhan akibat mahluk tak kasat mata ini. Kota Wuhan di China menjadi tuan rumah bagi wabah virus Corona. World Health Organitation (WHO) menggunakan  istilah Covid-19 untuk penyebutan virus Corona ini dan menetapkan sebagai wabah pandemi. Pandemi adalah sebuah epidemi yang telah menyebar ke beberapa negara yang umumnya menjangkit banyak orang. Sampai 26 Maret 2020 tercatat 198 negara yang terjangkit virus corona. Dengan demikian, tersisa 43 dari 241 negara yang terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sampai saat ini belum menyampaikan statusnya perihal virus ini.

Peningkatan kasus yang signifikan di Indonesia menjadi cermin yang besar bagi pemerintah dan warga negara dalam penanganan virus ini. Tercatat sampai 1 April 2020, jumlah positif corona yang terjadi di Indonesia berjumlah 1.667. Jumlah korban sembuh sejumlah 103 orang dan meninggal dunia berjumlah 150 orang. Jumlah positif corona diprediksi akan selalu bertambah dan di predikisi berakhir pada akhir Mei 2020.

Mudahnya penyebaran virus ini menjadi kekhawatiran bagi warga masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dituntut untuk saling berjaga jarak antar individu untuk meminimalisir penyebaran covid-19. Physical Distancing merupakan istilah baru yang ditetapkan oleh WHO menggantikan istilah Social Distancing. Physical Distancing dirasa lebih tepat daripada Social Distancing karena walaupun Covid-19 melanda, konektivitas sosial harus tetap terjaga dengan cara berkomunikasi secara non fisik—media sosial.

Sebagai kepastian hukum physical distancing, Pemerintah mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menjadi model penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di wilayah. PSBB ini ditetapkan untuk mengurangi rantai penyebaran covid-19. PSBB ini diatur dalam Pasal 59 UU. No. 06 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. PSBB merupakan bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat yang bertujuang untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit. Mekanisme pemberlakuan PSBB sudah diatur dalam UU No. 06 Tahun 2018 Pasal 59 ayat 3, seminimal-minimalnya pemerintah melakukan tiga hal, yaitu ; (1) Peliburan sekolah dan tempat kerja (2) Pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau, (3) Pembatasan kegiatan  di tempat atau fasilitas umum.

Untuk melengkapi instrument hukum yang mengatur tentang PSBB dalam UU No. 06 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah membuat instrument hukum berupa PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penangan Corona Virus Disease 19 (Covid-19). Kemudian muncul wacana, apabila keadaan semakin memburuk, Pemerintah akan menerapkan Darurat Sipil.

Lantas, bagaimana jadinya apabila Pemerintah menerapkan status darurat sipil dalam keadaan seperti ini?

Keadaan Darurat Sipil diatur dalam Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Undang-undang ini mengatur tentang Keadaan Bahaya dengan tingkatan Keadaan Darurat Sipil, Darurat Militer, dan Darurat Perang. Dalam Pasal 1 ayat 1 mengatur ihwal keadaan yang bisa ditetapkan sebagai darurat sipil. Presiden bisa menetapkan keadaan bahaya dalam tiga situasi, meliputi ; (1) Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; (2) Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; (3) Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Bila dalam situasi seperti sekarang Pemerintah hendak menerapkan Keadaan Darurat Sipil, maka  aspek yang paling tepat adalah nomor poin 3 ayat 1 Pasal 1 Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Keadaan bahaya dalam Perpu ini memiliki berbagai macam bentuk. Jimly Ashshidiqie (2008 : 68) menggambarkan keadaan bahaya dalam berbagai situasi, salah satu pointnya yaitu “Keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat berfungsi seagaimana mestinya”. Penerapan kebijakan Darurat Sipil akan sangat meresahkan masyarakat. Hak-hak dasar masyarakat dibatasi, dan pemerintah tidak memberikan kebutuhan dasar. Pemerintah berada dalam posisi memperbesar kewenangan dan meniadakan kewajiban.

Kebijakan darurat sipil akan diambil pemerintah ketika penyebaran virus corona semakin memburuk dan dalam kondisi up-normal. Jika darurat sipil diterapkan, Pemerintah berkuasa memaksa masyarakat untuk tetap berada di rumah tanpa memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar. Padahal, kondisi ekonomi masyarakat Indonesia sangat beragam. Banyak masyarakat yang kebutuhan dasarnya bergantung dengan kerja harian, tidak memiliki gaji tetap bulanan, apalagi tunjangan. Dengan warga tidak keluar rumah untuk bekerja, darimana warga bisa memenuhi kebutuhan dasar yang berupa sandang, pangan, dan papan. Logikanya begini, pemerintah memaksa masyarakat berdiam diri di rumah, pemerintah juga wajib menyediakan kebutuhan dasar masyarakat. Itulah penerapan dari teori pertanggungjawaban pemerintah.

Selain itu, penerapan darurat sipil akan menghidupkan kembali otoritarian pers. Pada Pasal 13 Perpu No.23 Tahun 1959 tentang Keadaan Darurat disebutkan bahwa “Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar”.

Dalam pandangan teori otoritarian pers, pers harus mampu mempromosikan kebutuhan penguasa, dan menutup segala pemberitaan yang merugikan pemerintahan. Selain itu, yang memiliki tampuk kekuasaan memiliki wewenang untuk mengendalikan pers. Dalam teori otoritarian, pers merupakan sub-ordinat bagi otoritas setempat.

Teori Otoritarian membenarkan ungkapan bahwa Negara memiliki hak yang lebih besar dibandingkan dengan hak individu. Ini terlihat dari kontrol media terutama saat terjadi perang atau konflik. Tak jarang, negara-negara yang menganut paham demokratis juga menerapkan pendekatan otoritarian sebagai satu-satunya pilihan jika dihadapkan pada situasi yang sama. Mereka melakukan hal ini guna menjaga tatanan sosial namun tidak ada pengekangan atau penyensoran terhadap pandangan kaum minoritas.

Pasal 13 ini juga berfungsi untuk mengatur arus penyebaran informasi agar sesuai dengan kehendak pemerintah. Padahal, kondisi sekarang masyarakat sedang dalam kondisi sangat membutuhkan informasi. Keadaan yang terjadi di Indonesia juga bukan keadaan peperangan ataupun konflik. Indonesia mengalami keadaan bahaya karena wabah penyakit. Dan salah satu model penanggulangan yaitu dengan cara memberikan edukasi seluas-luasnya terhadap masyarakat. Pembatasan pers sangat tidak relevan diterapkan saat ini. Pembatasan pers hanya akan menyebabkan kepanikan masyarakat yang menyebabkan menurunnya kondisi imunitas tubuh. Padahal, kunci untuk melawan virus corona adalah dengan menjaga imunitas dan menjaga jarak fisik.

Selain Pasal 13, ada beberapa pasal lagi yang mengatur tentang pembatasan pers, yaitu, Pasal 1 Pasal 17 berbunyi bahwa; Penguasa Darurat Sipil berhak: (1) Mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor tilpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan tilpon atau radio. (2) Membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar,tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia; (3) Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya telpon, telegraf, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.

Kedua Pasal tersebut sangat mengintervensi kebebasan pers massa. Bila diterapkan pada masa sekarang, sama saja hendak menerapkan otoritarian pers itu kembali. Dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 1 disebutkan bahwa “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Penerapan darurat sipil sama saja merampas kemerdakaan pers, merampas kemerdakaan pers tidak lebih merampas kedaulatan rakyat. Sudah tidak bertanggungjawab atas kebutuhan dasar rakyatnya, merampas kedaulatan rakyat juga. Double Kill.

Referensi
Buku : Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara Darurat,(Jakarta: Rajawali Pers,2008)68
Peraturan Perundang-undangan :
UU No. 06 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Darurat
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama