Pada Akhirnya Kita Sendirilah yang Harus Bergerak

sumber: Pikiran Rakyar
Hari-hari ini kita dihadapkan dengan situasi yang teramat sulit untuk melakukan banyak hal. Kasihan sekali rasanya melihat manusia yang hanya sekadar untuk makan pun, mereka harus mewanti-wanti kehadiran para perwira berseragam yang datang hendak membubarkan―kecuali mereka yang banyak duit dan punya jabatan. Kita takut. Kita waspada. Di sisi lain kita juga “gemas” dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah kita―ibarat kata, ada yang lucu tapi bukan pelawak. Cara pemeritah negara kita menangani pandemi virus corona begitu menyorot perhatian banyak kalangan.

Bersyukurlah pada teknologi yang telah mempertemukan kita walau sebatas daring semata. Tanpa pertemuan pun berdialektika tetap harus berjalan. PMII Rapan (Rayon Pancasila) Unnes menggelar diskusi “Tawazuna” daring pada Kamis, 16 April 2020. Tema dari diskusi itu adalah “Menakar Efektivitas Jurus-jurus Kebijakan Pemerintah yang Dikeluarkan Demi Menghadapi Covid-19” dengan pemantik Iqbal Syariefudin, dan Abdul Manan sebagai moderator. Selain untuk berdiskusi, silaturahmi juga harus tetap berjalan. Apalah daya, tanpa bertatap muka secara langsung, aplikasi Zoom menjadi medianya.

“Apakah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sudah tepat?” pertanyaan awal sebagai penggerak diskusi.

PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadi jalan yang ditempuh pemerintah dalam menangani Covid-19. Hal ini tertuang dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kita semua setuju―peserta diskusi―langkah yang dipilih sudah tepat diterapkan untuk saat ini. Namun, juga bisa dikata lambat pengambilan kebijakan oleh pemerintah. PP ini sejatinya merupakan penegasan ulang UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tidak begitu banyak yang berbeda atau hal-hal baru dalam PP ini. PSBB baru bisa dilakukan jika sudah mendapat izin dari Kemenkes, untuk daerah yang sudah dinyatakan sebagai zona merah Covid-19. Kemudian, tanggung jawab kebutuhan pokok masyarakat berada di tangan Pemerintah Daerah tentunya dengan pertimbangan besarnya ancaman, demografi penduduk, sumber daya, dan sebagainya.

Sebelum hadirnya PP Nomor 21 Tahun 2020, sempat terjadi permainan retorika dan wacana-wacana yang kerap mengarah pada darurat sipil. Kita mengenal, lockdown, karantina wilayah. Wacana-wacana ini menimbulkan kecemasan terhadap sebagian masyarakat. Karena sebagaimana pasal 1 ayat 1 angka 3 Perpu Nomor 23 Tahun 1959, seharusnya darurat sipil diterapkan apabila hidup bernegara dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan timbul gejala-gejala yang membahayakan hidup negara.

Bahaya yang dimaksud juga perlu dicermati, menurut Prof. Jimmy Asshidiqie, bahaya yang dimaksud adalah keadaan yang disebabkan karena bencana alam atau kecelakaan dahsyat yang dapat menimbulkan banyak sekali korban jiwa. Oleh karena itu, tidak diperlukan sebuah operasi khusus yang dilakukan komando militer dalam menanggulangi bencana Covid-19. Dalam situasi ini, militer hanya bersifat sebagai pembantu dan, penanggulangan bencana tetap berada di tangan pejabat sipil.

Setelah terbitnya PSBB, ketidaktegasan pemerintah pusat mengenai hal-hal yang dibatasi begitu nampak. Jika hanya mengenai physical distancing. WFH (work from home), dirumah saja, home scholling, penutupan tempat-tempat umum, dan akses perhubungan yang dibatasi, tanpa pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020 pun langkah tersebut sudah terlaksana dan sudah ada produk hukum yang lebih jelas yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.


Koordinasi Petinggi yang Tidak Serasi
Untuk alasan kemanusiaan, langkah Menkumham Yasonna Laoly dalam upayanya membebasan napi demi mencegah penyebaran virus Corona menjadi valid. Alasannya adalah karena di lapas sendiri, satu sel menampung banyak sekali napi hingga mencapai tiga puluhan orang, bahkan beberapa sel bisa menampung lebih banyak. Namun, bagaimana dengan napi koruptor?

Kita tahu bahwa napi koruptor mempunyai sel tersendiri di lapasnya. Satu napi diberi satu sel elite dengan segala kemewahannya―seperti yang bisa di lihat terhadap penelusurannya sel koruptor di channel mata najwa. Tentu saja rencana pembebasan napi koruptor menjadi banyak pertanyaan dan kecurigaan terhadap publik. Namun Ia mengatakan bahwa tidak ada rencana pembebasan napi korupsi maupun napi narkotika tegas Menkopolhukam Prof. Mahfud MD. Disusul dengan Presiden Joko Widodo bisa dilihat kanal youtube, yang menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak pernah mewacanakan pembebasan napi korupsi maupun napi narkotika, hanya napi pidana umum saja yang akan diberi hak asimilasi, pembebasan bersyarat, dan remisi.

Selalu ada risiko dibalik setiap tindakan. Begitupun dengan pembebasan napi. Beberapa kali diberitakan mengenai napi yang diberi hak asimilasi justru mengulangi kejahatan kembali. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemidanaan kita perlu diperbaiki. Hukum pidana seharusnya menjadi obat terakhir dan memberikan efek jera terhadap perilaku tindak pidana kejahatan. Lebih jauh lagi memberikam edukasi kepada para napi untuk sadar dan kembali menjadi manusia yang humanis.

Untuk Mereka yang Tak Bekerja, Tak Dapat Uang
Himbauan “di rumah saja” membuat perekonomian rakyat kecil mati. Perekonomian pada sektor informal lumpuh. Para pekerja no work no pay, buruh harian, ojek online, supir angkot, pedagang kaki lima dan lainnya menjadi imbas kebijakan PSBB. Untungnya pemerintah cukup serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi kredit cicilan motor selama satu tahun, pemberian relaksasi listrik gratis selama tiga bulan bagi pengguna listrik 450 va ke bawah, dan penambahan nilai dana manfaat kartu sembako menjadi Rp200.000 per bulan. Kebijakan ini akan berlangsung selama sembilan bulan dan diberikan kepada dua puluh juta penerima―semoga benar adanya dan terealisasikan, Amin.

Solidaritas Kita Semua
Pada hakikatnya kita bisa melewati pandemi ini jika kita semua saling bekerja sama dan mempunyai kesadaran kita masing-masing. Kita tidak mau tertular dan kita tidak mau menulari. Prinsip itu harus ditanamkan dalam diri setiap masyarakat dan seluruh bangsa Indonesia.

Penguatan militer dan penguatan masyarakat adalah bentuk alternatif yang disampaikan Iqbal berdasarkan esai yang ditulis oleh Yuval Noah Harani. Penguatan militer yang dimaksudkan di sini berbentuk pengumpulan data yang mana data dari masyarakat itu dapat disalahgunakan. Pada penguatan masyarakat, pemerintah harus membuka data seluas-luasnya mengenai penyebaran virus corona. Terutama untuk peta persebaran virus, pergerakan orang yang terkonfirmasi positif corona, riwayat perjalanan, riwayat komunikasi, riwayat pertemuan, dan sebagainya. Hal ini akan menjadi landasan untuk mengambil langkah tepat yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan jajarannya sampai dengan tingkat RT demi melakukan tindakan penanganan dan pencegahan penularan virus corona.

Alternatif kedua yang dibahas yaitu tentang solidaritas global. Di tengah pandemi ini, alangkah indahnya jika negara-negara di dunia saling bahu-membahu membantu, bertukar informasi, dan memberikan ilmu pengetahuannya terkait penanganan dan pencegahan virus corona ini. Kita bisa melihat Palestina dan Israel yang bekerja sama memberantas virus corona. Sudahi konflik hari-hari lalu. Jika solidaritas global dapat tercapai, jumlah korban akan menurun, penanganan dan pencegahan virus bisa dilakukan dengan cepat, tidak ada lagi kebijakan-kebijakan yang mengundang tawa. Informasi yang cepat dan akurat, dan tentunya kita bisa kembali beraktivitas seperti biasanya adalah hal-hal yang kita nantikan.

Pemerintah tentu saja telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberantas pandemi corona ini. Kalau kata dr. Erlina Burhan, mereka yang berada di garda terdepan bukanlah tenaga medis, tetapi masyarakat itu sendiri dengan peran memutus rantai penyebaran virus. Walaupun kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah terkesan mengundang banyak perhatian dan kecaman sekaligus tawa, setidaknya marilah kita melakukan apa yang kita bisa. Melakukan berbagai hal sesuai dengan bidang keahlian kita entah itu memberikan edukasi, pelayanan kesehatan, cek medis, hiburan, seni, karya tulis, dan sebagainya. Dan pada akhirnya kita sendirilah yang harus bergerak.

PMII RAYON PANCASILA

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama