Rasionalitas Praktik Beragama di Tengah Pandemi

Oleh Ahmad Soleh (CO Transformer & Bidang Eksternal PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Kamis – 14:33 WIB

Sumber: nu.or.id

Virus Corona yang mewabah sejak bulan Desember 2019 yang berpangkal dari Wuhan memberikan dampak secara global yang bersifat multidimensi baik dari aspek sosial, ekonomi, politik hingga agama. Dampak pada persoalan agama merupakan hal yang menarik untuk dilihat lebih lanjut mengingat agama merupakan bagian dari kehidupan sosial yang memberikan kebutuhan spiritual maupun perbaikan sisi psikologis di tengah kerentanan anomi. Pandemi coronavirus memberikan pengaruh terhadap rasionalitas beragama, baik dalam lingkup individu maupun komunitas. Rasionalitas sendiri merupakan paham atau pemikiran yang mengutamakan logika, keteraturan, hal-hal logis, sesuai nalar akal sehat, sesuai hukum sebab-akibat, dapat dipikirkan secara objektif dan dapat diprediksi. Rasionalitas memberikan keyakinan pada individu atau komunitas untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap tepat dan sesuai dengan kekuatan eksternal di luar kehendak individu maupun komunitas.

Menurut Weber, dalam konteks agama, rasionalitas bekerja melalui rasionalisasi yang berkembang dalam dunia sekuler dimana semakin ‘melek’ dengan pengetahuan dan birokratisasi; maka dari itu diperlukan tugas seorang pendeta dalam melakukan penggembalaan umat dalam arti membimbing umat beragama untuk yakin dengan agama etis yang mengarah pada rasionalitas beragama. Bisa menggunakan perspektif Weber dalam melihat kondisi saat ini yakni rasionalitas substantif dan formal.

“Rasionalitas substantif merupakan tindakan-tindakan yang disusun ke dalam sejumlah pola melalui cluster-cluster nilai. Dalam konteks kehidupan beragama, rasionalitas seperti ini melekat pada aspek nilai-nilai tertentu, seperti nilai budaya atau tradisi. Rasionalitas formal merupakan tindakan rasional yang berdasarkan pada aturan, hukum dan regulasi yang berlaku secara universal cakupannya menyeluruh”.

Rasionalitas beragama di tengah pandemi global saat ini diawali oleh rasionalitas formal yang berasal dari otoritas para petinggi agama tataran formal dalam memberikan imbauan, perintah dan larangan terkait praktik-praktik kehidupan beragama dalam konteks ibadah ritual vertikal dan hal tersebut sesuai dengan protokol internasional (universal). Praktik-praktik kehidupan beragama tersebut tidak dianjurkan bahkan dilarang dilakukan secara bersama-sama atau berjamaah yang mana secara rasional hal tersebut bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 dan berfungsi sebagai langkah penyelamatan sosial.

Imbauan dan larangan untuk tidak melakukan kegiatan beragama secara berjamaah dari otoritas petinggi agama tataran formal disampaikan baik melalui media sosial, media cetak, siaran televisi maupun melalui sosialisasi secara langsung yang disampaikan oleh pihak-pihak terkait atau pihak-pihak yang berwenang baik pemerintah daerah, perangkat desa, pemuka agama tingkat lokal, aparat keamanan, aparatur negara dan pihak-pihak lain selain petinggi agama tataran formal yang terlibat dalam sosialisasi tata cara beragama di tengah pandemi global. Respon masyarakat beragamapun beragam serta dapat dibedakan menurut wilayah sosial desa dan kota. Umumnya masyarakat beragama yang tinggal di perkotaan cenderung lebih menerima rasionalitas formal panduan ibadah selama pandemi global seperti praktik ritual ibadah di rumah dan dapat dibantu dengan khotbah atau ceramah agama secara online. Rasionalitas beragama masyarakat perkotaan berupa rasionalitas substantif yang diikat dengan nilai-nilai seperti kebersamaan sosial dalam praktik ritual ibadah, tidak dilegitimasi oleh budaya atau hukum adat karena kehidupan di perkotaan sarat dengan heterogenitas, individualitas dan persaingan ekonomi, sehingga praktik ibadah merupakan kebutuhan spiritual untuk meminimalisasi rasa jenuh dan tekanan sosial dalam lingkup sosial perkotaan.

Pada masyarakat desa yang berada di perbatasan kota serta beberapa warga desa menjadi buruh sirkuler atau pekerja penglaju antar desa dan kota, maka akan ada kecenderungan warga desa mengikuti imbauan dari petinggi agama taraf formal karena pengaruh nilai-nilai sosial perkotaan yang dibawa oleh migran sirkuler dan pekerja penglaju dimana kemudian nilai-nilai adat yang menekankan ritual ibadah secara kolektif tidak terlalu diperhatikan.

Pada masyarakat yang tinggal di desa dan memiliki kekuatan hukum adat yang kuat, jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan berada dalam zona hijau COVID-19, maka kecenderungan kuat masyarakat desa tersebut keberatan dengan imbauan dari petinggi agama tataran formal dan lebih memilih untuk tetap menjalankan praktik ritual ibadah secara kolektif yang didukung oleh nilai adat desa yang menyatakan bahwa solidaritas sosial termasuk dalam praktik ritual ibadah merupakan ciri pemersatu warga, penguat ikatan sosial dan mengurangi konflik antar warga yang mana apabila terjadi konflik dapat mengganggu tatanan sosial dan tatanan ekonomi di desa.

Terlalu bertindak rasional formal secara berlebihan baik dari kalangan pejabat birokrat formal maupun masyarakat secara umum dapat menimbulkan kerentanan berupa terdistorsinya nilai-nilai kedekatan sosial dan perasaan emosional. Manusia tentu tidak hanya memiliki unsur rasionalitas, tetapi juga perasaan, emosi dan kedekatan sosial antar sesama manusia, dimana kedekatan sosial juga dapat dibangun oleh, dari dan untuk perasaan emosional. Apabila manusia ter-dekonstruksi perasaan emosionalnya, maka tentu dapat kehilangan sisi keunikan dari unsur kejiwaan kemanusiaannya.

Terlalu bertindak berdasarkan nilai-nilai budaya tanpa mempertimbangkan aspek rasionalitas pun rentan menimbulkan disintegrasi ketika sebuah perubahan sosial terjadi secara cepat dan impulsif karena mengesampingkan aspek ilmu pengetahuan yang memiliki kemampuan memprediksi dan antisipasi.

Penting untuk mempertimbangkan aspek rasionalitas formal dan rasionalitas substantif, sehingga akan lebih bijak dalam menghadapi guncangan sosial serta unsur solidaritas sosial dapat menjadi garda terdepan dalam meminimalisasi dampak negatif yang mungkin akan terjadi maupun yang sudah terjadi.

―pilih tarawih sendiri atau berjamaah itu pilihan rasionalitas kalian. Wallahu alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama