Oleh Ahmad Ihsanuddin (Kabiro Sospol PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Senin – 13:34 WIB
Sejarah
panjang aktivitas pergerakan mahasiswa mewarnai lika- liku peradapan manusia beserta negara sebagai
seperangkat sistem untuk pengorganisir hidup. Tidak terkecuali Pergerakkan
Mahasiswa Indonesia (PMII), lahir menjadi bagian dari puluhan organisasi
penggerak massa pada saat itu, PMII keluar dengan corak khas moderat tidak jauh
berbeda dengan induknya (NU). Banyak harapan dan cita- cita besar yang
terpanjat untuk keberlangsungan organisasi ini.
Hari
itu tepat 17 April 2020, PMII genap rayakan umur ke 60 tahunnya di tengah
kondisi negara yang sedang tidak baik- baik saja, pasalnya akibat meradangnya
Virus SARS- COV-2 atau virus corona yang telah resmi di tetapkan WHO sebagai
pandemi global, keadaan dan sistem sosial mendadak berubah 180 drajat. Semua
terpaksa untuk bersedia memaklumi apa yang sedang terjadi, segala sistem sosial
mendadak berubah, Kondisi yang rentan memaksa semua di rumahkan. Tidak
terkecuali rangkaian acara dan ceremonial Harlah PMII dengan terpaksa semua
teroganisir dalam bentuk kegiatan by daring. Tidak ada aksi dan orasi
perjuangan di tengah jalan dalam rangka refleksi harlah PMII.
Momentum
perayaan Harlah PMII bagi sebagaian orang di jadikan refleksi untuk menakar
jauhnya lompatatan proses yang sudah di lewati. Harapannya kedepan agar satu
versi yakni mengkonstruk tiap ketertinggalan dari capaian yang harus dipenuhinya. Seperti halnya perayaan harlah
yang dilakukan PB PMII dan kebanyakan PMII di banyak daerah, PMII Komisariat
Al-Ghozali Semarang pun memperingatinya, dengan kegiatan diskusi dan khataman
Al- Qur’an, via daring, sebagai wujud implementasi kebijakan untuk social distancing.
Sebuah Refleksi: Mengurai Bagaimana Masa
Depan PMII Setelah Tersandung Pandemi?
Ketika kita mencoba menerawang masa depan
PMII setelah ini, pertanyaan akan bagaimana cara kita melihat masa depan perlu
dipertanyakan terlebih dahulu diawal. Karena nantinya, hal ini akan menentukan
posisi, tantangan, dan gambaran berbagai unsur dan mekanisme didalamnya,
termasuk mekanisme kaderisasi dan gerakan alternatif yang cocok dan patut kita
ambil. Sebelum jauh menghayal masa depan, sudah selayaknya kita patut
memikirkan ulang citra diri organisasi, PMII sebagai sebuah organisasi
pergerakan kita definisikan seperti apa serta menakar sejauh mana relevansi yang
sebenarnya?
Mari kita lihat, sampai sekarang, PMII
sebagai entitas pergerakan yang sudah tidak muda, mengemban tugas mengawal dan
menjaga wacana kebangsaan dan keagamaan; ahlus sunnah wal jama’ah
(aswaja), selalu ikut larut dalam sebuah pola dan pendekatan lama yang usang.
Pola semacam ini bisa kita lihat seperti halnya parade demonstrasi, aksi protes
maupun advokasi publik, selain itu juga sudah tak perlu diragukan bila
dikaitkan sebagai social organizer. Jikapun masih baik dan perlu kita
rawat, pola diatas tidak perlu ditinggalkan.
Namun, seperti halnya prinsip yang melekat
dan terus dipertahankan oleh PMII, al mukhafadhotu ‘alal qodimis sholih wal
akhdzu bil jadidil ashlahi – memelihara tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik – prinsip yang indah dan moderat, namun
lantas apakah kemudian PMII sudah menerapkan prinsip yang terus dipertahankan
tersebut? Sudah barang tentu ketika PMII menerapkan akan dipikirkannya
formulasi baru sebagai wujud intelektual mahasiswa sehingga PMII tidak hanya
berkutat dan berputar pada pola maupun pendekatan lama. Kalaupun formulasi baru
sudah ada, seberapa efisienkah formulasi tersebut mewujudkan sinergitas seluruh
elemen dalam PMII? Dengan label beberapa agent dan social control
serta idealisme sebagai mahasiswa yang turut mengikuti, sudah efektifkah
formulasi tersebut mewujudkan transformasi sosial yang lebih baik? Tentu perlu
kita evaluasi bersama.
Langkah PMII juga turut mengalami tranformasi
perubahan paradigma sebagai wujud pembenahan dari waktu ke waktu sesuai
perkembangan akan pembacaan dinamika yang mengitari, penyesuaian diri dilakukan
agar tidak tergilas oleh zaman. Paradigma arus balik masyarakat pinggiran
sampai paradigma kritis transformatif sebagai tuntunan langkah organisasi
pernah PMII jumpai. Sekarang, entah paradigma apa yang kita gunakan, oleh sebab
paradigma kritis transformatif pernah dihapuskan dalam materi kaderisasi formal
PMII, tepat pada kepemimpinan Aminudin Ma’ruf (2014-2017). Hingga kini,
paradigma kritis transformatif mendapat banyak mendapat kritikan dan cercaan
dari berbagai arah atas ketidakrelevannya menjawab tantangan zaman. Tentu hal
ini patut menjadi kritik imanen bagi kita dan PMII, sudah sesuai dan piawaikah
kita memperlakukan paradigma kritis transformatif dan mampu mentrasformasikan
paradigma kritis transformatif menjadi rajutan-rajutan gerakan kontemporer,
atau sebenarnya kita hanya selesai pada bagian kritis dan lupa transformatif
yang membuntutinya. Menjadi semakin naif ketika sikap kritis yang dilontarkan
sebatas lari menggaung keluar dan lalai kritis kedalam; kepada kita dan PMII,
tentu hal ini lucu dan dilematis jika diproduksi secara terus menerus.
Kegagapan mentalitas semacam ini harus dihancurkan.
Sebelum jauh memikirkan paradigma baru yang
lebih relevan daripada paradigma kritis transformatif, sudah seharusnya menjadi
penting untuk PMII meredefinisi diri sendiri dengan cepat dan tepat sehingga
mentalitas PMII bukan lagi seperti yang disebutkan diatas. Pemberlakuan kembali
paradigma kritis transformatif juga perlu disampaikan, dalam hal ini PB PMII
sebagai puncak keputusan agar kedepan PMII tidak lagi buta karena kacamata
pandang dihapuskan dan sampai sekarang tak ada perumusan kesepakatan paradigma
yang digunakan. Hal ini penting sebab kader PMII dapat kembali memiliki cara
pandang yang jelas dalam melihat realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melihat masa depan berarti kita harus bersiap
diri, salah satu cara memahami masa depan adalah dengan memakai segitiga masa
depan. Ada tiga komponen penyusun; dorongan atau tren masa kini, tarikan masa
depan dan beban sejarah PMII. Pemaksanaan penafsiran terhadap ketiganya
berkelindan satu sama lain menentukan masa depan PMII. Melihat masa depan
terdekat bisa kita batasi sampai pandemi selesai. Kita tentu harus memiliki
gambaran akan apa yang harus PMII lakukan setelah hilangnya pandemi nanti.
Oleh karena PMII merupakan organisasi
kaderisasi, masa depan PMII juga turut dipengaruhi oleh sistem dan mekanisme
kaderisasi didalamnya; baik formal, non formal, maupun informal. Kaderisasi
diwujudkan sebagai sebuah proses pendidikan akan penanaman nilai-nilai luhur
baik berjenjang maupun berbasis kekeluargaan, lingkungan dan budaya organisasi,
sebagai tindak lanjut eksistensi keberlangsungan berjalannya PMII. Oleh sebab
itu, maka regenerasi menjadi bagian mutlak dari PMII.
Bertubi masalah kaderisasi begitu kompleks, perlu
ada upaya kolektif untuk merancang kaderisasi supaya lebih sistemik dan
efektif. Kenyataan utama yang perlu diingat bahwa kuantitas kader bukan lagi
menjadi satu-satunya tujuan yang harus dicapai, oleh karena kualitas kader
harus kita perhatikan dan prioritaskan. Jikapun hanya berorientasi pada kuantitas
dan mengesampingkan kualitas, kaderisasi bukan lagi menjadi bagian fundamental
organisasi, ia berjalan sebatas formalitas, tak perlu tuntutan kurikulum,
pembentukan karakter dan mentalitas kader kita buang saja. Kita juga tidak usah
mendasarkan logika pada militansi apalagi kemandirian kader yang hal ini
sebenarnya membutuhkan latihan secara terus menerus dengan pendampingan
konsisten dan pola kaderisasi yang jelas.
Permasalahan lain kaderisasi PMII juga
berkaitan dengan individu-individu kader. Seperti halnya tidak dimilikinya
percaya diri kader sehingga perkembangan kader baik sisi mentalitas maupun
pembentukan karakter dan peningkatan pengetahuan mengalami stagnansi dan
terhambat. Hal ini menyebabkan banyak ruang kreasi tidak bisa dimanfaatkan
secara maksimal. Pembacaan ulang dan kontekstualisasi pembaruan materi
kaderisasi juga perlu diupayakan secara terus menerus, sehingga nutrisi kader
dapat terpenuhi secara optimal.
Hal yang membingungkan dan harus dibahas
sekarang juga yaitu berjalannya kaderisasi PMII ditengah pandemi, salah satu
ijtihad yang bisa dilakukan adalah dengan kaderisasi online atau rekruitmen
kader online. Entah semacam apa nanti sistem dan mekanisme yang dijalankan,
baik kurikulum kaderisasi, penyampaian materi maupun keberhasilan kaderisasi,
yang pasti jika keadaan demikian secara terus menerus tidak berhenti, jalan
diatas harus segera dipikirkan.
Mengingat tantangan masa depan akan berbeda
dengan hari ini, peragaman cabang ilmu baru atau diversifikasi cabang ilmu juga
harus diperhatikan diluar kaderisasi formal, hal ini tentu disesuaikan dengan
kebutuhan kader. Waktu pelaksanaan bisa diletakkan antara jeda kaderisasi
formal. Pentingnya diversifikasi ini salah satu langkah menghadapi dan menjawab
keadaan aging population pada sektor akademik, dimana banyak usia lanjut
mendominasi bidang satu ini, selain itu juga untuk membangun pikiran oposisi
dari kebanyakan orang.
Kesiapan kader menyongsong dunia profesional
juga patut menjadi perhatian, entah jalan mana yang nantinya diambil, yang
pasti perlu bekal lebih. Hal ini penting agar eks-PMII bisa survive di
lingkungan baru maupun lingkungan yang mengedepankan pola pendidikan diluar
PMII. Sehingga PMII siap menghadapi berbagai pola profesional baik dari luar
negeri maupuan dalam negeri.
***
Sekarang, PMII sudah genap berusia 60 tahun,
ia tentu tidak muda lagi. Oleh sebab itu wajar ia dituntut bijak. Bisa dan
memiliki kemampuan memakai banyak cara pandang memahami kehidupan.
Selamat Hari Lahir 60 tahun PMII (17 April
2020)
PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang
Tags:
Berita