KH. As'ad Syamsul Arifin

Oleh Adhim Bagas Wisnu Aji (PMII Rayon Garuda, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Rabu – 15:11 WIB



KH. As’ad Syamsul Arifin adalah seorang tokoh Nahdlatul Ulama sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah dan Syafi’iyah di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan asal Pamekasan, Madura yaitu Raden Ibrahim dan Siti Maimunah yang lahir di Mekah pada tahun 11897 M/ 1315 H. KH. As’ad Syamsul Arifin lahir di Mekkah ketika Ibunda Siti Maimunah sedang melaksanakan ibadah haji. Tak hanya lahir di Kota Mekah, kedua orangtua beliau juga bermukim dan memperdalam ilmu agama disana. KH. As’ad Syamsul Arifin masih memiliki darah bangsawan, ayahnya yang bernama KH. Syamsul Arifin atau Raden Ibrahim merupakan keturunan Sunan Ampel dari jalur sang ayah, sedangkan sang Ibu masih memiliki garis keturunan dari Pangeran Ketandur, yaitu cucu Sunan Kudus.

KH. As’ad Syamsul Arifin merupakan seorang ulama besar. Pada masa pendirian NU, K.H. Hasyim Asy’ari menemui orang-orang alim yang tersebar di Pulau Jawa, Madura hingga Mekah guna meminta pendapat terkait tujuan beliau untuk mewadahi ulama tradisional di Nusantara. Hingga tibalah KH. Hasyim Asy’ari meminta pendapat kepada Syekh Kholil Al-Bangkalani yang merupakan gurunya semasa remaja, serta guru dari KH. As’ad Syamsul Arifin sendiri. Pada saat itu, Syekh Kholil mengutus KH. As’ad Syamsul Arifin untuk menemui KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng guna menyampaikan sebuah pesan. Pesan tersebut berupa tongkat yang disertai ayat-ayat Al-Qur’an. Tradisi santri menyebut pesan semacam itu dengan Isyarah (perlamban) yang maknanya dianggap lebih kuat dibandingkan dengan pesan eksplisit.

Setelah menerima tongkat tersebut KH. Hasim Asyari semakin membulatkan tekad untuk mendirikan organisasi bagi kalangan Islam Tradisionalis, hingga akhirnya lahir Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926. KH. As’ad Syamsul Arifin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 3 November 2016 berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor 90/ TK/ Tahun 2016.

Dakwah
Setelah beberapa tahun memperdalam ilmu agama di Mekah, Kiai As’ad kemudian pulang ke Indonesia. Setelah sampai di Indonesia, Kiai As’ad tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, beliau memutuskan untuk memperdalam ilmu dan melanjutkan belajar. Hingga pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, Kiai As’ad dan ayahnya beserta para santri yang ikut dari Madura membabat alas di Dusun Sukorejo untuk mendirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang yaitu Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah. Sebuah pesantren sederhana dengan beberapa gubuk kecil, mushola dan asrama santri yang cukup untuk ditinggali santri merupakan hasil usaha Kiai As’ad dan ayahnya. Pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebut yang kini dikenal dengan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.

Kiai As’ad tidak hanya menguasai ilmu agama saja, beliau juga menguasai ilmu bela diri. Penguasaannya pada tradisi silat lokal membuat beliau disegani banyak orang, bahkan oleh para jawara kampung di Daerah Situbondo. Namun beliau tidak pernah menggunakan kemampuan bela dirinya untuk berdakwah. Justru beliau memiliki cara yang unik tersendiri dalam berdakwah, hal ini terjadi karena pada waktu itu sering terjadi pencurian sandal di Masjid. Dalam dunia pesantren, ada istilah untuk membahasakan pencurian sandal yakni ghosob meminjam” barang orang lain tanpa seizin dari si pemilik barang. Suatu ketika kehilangan sandal semakin massif di waktu sholat jum’at, hal ini dikarenakan yang mengikuti Sholat Jum’at tidak hanya santri Kiai As’ad melainkan juga warga sekitar. Sehingga kehilangan sandal bukan hanya sandal murah milik santri, melainkan juga sandal bermerek milik warga yang mana hal ini sudah dikategorikan sebagai tindak pencurian. Melihat kondisi ini, Kiai As’ad mendatangi salah satu pemimpin preman disekitar wilayah pesantren guna meminta tolong untuk mengatasi hal tersebut. Pemimpin preman yang diajak berbicara tidak marah, justru merasa senang karena telah dimintai tolong oleh seorang ulama besar. Pemimpin preman tersebut bukanlah takut akan ilmu bela diri yang dimiliki oleh Kiai As’ad, melainkan ia kagum dan menghormati beliau sebagai sosok alim ulama, bahkan melawannya hanya bisa membuat kualat. Dengan tegasnya pemimpin preman tersebut mengiyakan dan mulai menjaga sandal para jama’ah, walaupun preman tersebut tak sembayang jum’attoh juga selama ini preman tersebut tak pernah menjalankan ibadah sholat.

Minggu demi minggu berlalu, si pemimpin preman ini merasakan hal yang aneh. Sebagai sosok pemimpin para preman—bajingandiwilayahnya dan sosok orang yang paling ditakuti, menjaga sandal adalah pekerjaan yang hina untuk level sekelas dirinya. Seharusnya yang dijaga adalah sandalnya bukan dirinya yang menjaga sandal orang-orang rendah seperti tukang becak, kuli bangunan, dan sebagainya. Pemimpin preman tersebut pun menghadap ke Kiai As’ad, dia mengutarakan bahwa seharusnya dirinya lah yang sholat jum’at dan dijaga sandalnya, bukan sebaliknya. Lalu dengan gestur tubuh orang bingung, Kiai As’ad berkata kepada pemimpin preman tersebut, “Kalau sampeyan ikut sholat jum’at, terus nanti siapa yang harus jaga sandal jama’ah ?”. Pemimpin preman tersebut pun bingung, menganggap benar apa yang Kiai As’ad katakan. Namun pada akhirnya ia memiliki ide untuk menyuruh anak buahnya menggantikan dirinya menjaga sandal dan ia dapat melakukan sholat jum’at, dengan begitu martabat dirinya sebagai pemimpin preman akan kembali— bertambah alim—.

Jum’at pun datang, si pemimpin preman tak lagi menjaga sandal para jama’ah. Dia menyerahkan pekerjaan itu kepada anak buahnya. Minggu demi minggu pun berlalu, si anak buah ini pun merasakan hal yang sama seperti pemimpinnya, ia menganggap bahwa menjaga sandal jama’ah adalah hal yang hina untuk sekelas dirinya dan menganggap yang harus dijaga adalah sandal miliknya. Dia pun kemudian menyuruh anak buahnya untuk menggantikan menjaga sandal sehingga dapat menjalankan sholat jum’at. Hal ini terus dan terus terjadi, hingga tanpa disadari bahwa preman-preman yang ada disekitar pesantren setiap minggu selalu mengikuti sholat jum’at bersama jama’ah hanya karena alasan sepele yakni ingin sandalnya dijaga orang lain.

Begitulah karomah Kiai As’ad dalam berdakwah, tak menggunakan narasi-narasi keras untuk berdakwah kepada dedengot justru menggunakan cara-cara yang dianggap sepele dengan memanfaatkan gengsi para preman, akhirnya beliau mampu mengajak preman-preman tersebut ke jalan kebaiakan.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama