Oktober Juga Kelam

Oleh Ahmad Ihsanudin (Kabiro Sosial Politik PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Rabu – 15:00 WIB
(ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay) 

Sebagai penutup dan membuka lembaran di Bulan November, perlu kiranya kita merefleksikan beberapa kejadian yang terekam di Bulan Oktober. Bukan lagi September yang kelam, melainkan kepekatan kelam tersebut juga tersalin menjadi bagian dari Oktober, Oktober juga kelam.

Oktober diawali dengan di sahkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada tanggal 5 Oktober 2020 yang sangat jelas mendapatkan penolakan dari berbagai pihak elemen organisasi masyarakat karena substansi didalamnya berisi banyak hal yang lebih condong menyengsarakan rakyat, baik buruh, petani maupun masyarakat adat. Senggama pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menutup tahun 2020 dengan menorehkan tinta yang lebih hitam nan pekat di sanubari setiap rakyat yang dipimpinnya.

Alih-alih atas nama penggenjotan investasi di tengah pandemi, kedua lembaga yaitu pemerintah dan DPR malah asik membahas dan menetapkannya menjadi undang-undang, saling bercumbu dengan dikebutnya habis-habisan serta minim partisipasi publik. Alhasil, penolakan atas disahkannya UU Cipta Kerja mendapat penolakan keras di berbagai kota, ditandai dengan #mositidakpercaya dan banyak aksi tersebar dari kota, baik besar sampai kota kecil sekalipun. Ini adalah pertanda bahwa undang-undang tersebut sangat tidak layak untuk dibahas apalagi disahkan. Hal demikian yang seharusnya membuka mata kita semua bahwa ketidakpercayaan juga patut disematkan pada wajah pemerintah juga DPR sekalian. Aksi dipenuhi intimidasi, diskriminasi serta penangkapan-penangkapan dilakukan bahkan sebelum sampai di titik aksi, bahkan sebelum melakukan aksi. Dibenturkannya pihak keamanan dengan massa aksi atas nama ketidakpatuhan dan tindakan anarkis menjadikan kedua belah pihak harus bergelut saling jatuh menjatuhkan.

Jika kemudian pemuda – sebut saja ‘milenial’ banyak duduk di kursi jajaran pemerintah maupun memenuhi separuh gedung DPR sekalipun, itu tidak mencerminkan atau merepresentasikan pemuda yang memiliki keberpihakan pada rakyat kecil, masyarakat tertindas, malah mereka yang sebenarnya sedang menindas dan membunuh rakyatnya sendiri. Idealisme pemuda sejak dalam pikiran mereka sudah hangus diluluhlantahkan kepatuhan dan loyalitas terhadap partai politik. Segala slogan dan ungkapan bualan tentang milenial di dunia politik hari ini sangat abu-abu, terlalu menggeneralisir dan menyesatkan. Mereka tidak lebih seperti ‘kerbau yang dicocok hidungnya’ oleh partai politik, yaa semua partai politik! Tanpa terkecuali!

Mereka (milenial garis istana dan senayan) bukanlah ‘teladan’ baik yang bisa mewakili generasinya, sangat tidak layak! Mereka bahkan terdiri dari negosiator investor besar, keluarga pembesar partai, makelar politik, perintis startup yang mengeksploitasi membeludaknya insan segenerasinya yang rentan sebagai tenaga kerja aktual maupun tenaga kerja digital. Senyum dan lambaian tangan mereka atas nama milenial adalah semu. Saya ingat dengan ungkapan Sukarno yang paling dikenang tentang pemuda. “Beri aku seribu orang tua,” ujar Sukarno “niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Dan, mereka tidak akan pernah menjadi bagian dari sepuluh pemuda yang dibayangkan Sukarno!

Perbedaan diantara milenial istana dan senayan dengan milenial generasinya yang diluar istana yang berjuta kali lipat lebih banyak adalah mengenai keberpihakan dan keterbatasan akses ditengah jumlah mereka membeludak. Generasi milenial merupakan bagian dari apa yang dibangga-banggakan oleh para teknokrat sebagai bonus demografis. Lebih-lebih, banyaknya jumlah milenial berarti banyaknya orang yang berpotensi diraup menjadi pengguna, mitra, atau penontonnya. Mereka dituntut kreatif di tengah penjejalan fakta bahwa kesempatan berkreasi merupakan kemewahan milik segelintir. Mereka sedang dan akan dipatahkan oleh hidup; tidak adanya kejelasan sosial-ekonomi, berada di tengah pilihan dilematis – bekerja atau tidak bekerja sama sekali.

Oktober juga tidak bisa dipisahkan dari momentum Sumpah Pemuda. Pada peringatannya, tepat pada tanggal 28 Oktober 2020 kemarin dan memang ritual perayaan sudah dilakukan saban tahun, adalah tonggak bersatunya pemuda dalam berserikat dan menolak ketertindasan yang dibungkus rapi atas nama kemapanan. Satu hal yang menjadi perhatian besar dalam momen tersebut adalah pernyataan Megawati dalam Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober milik partainya.

Megawati skeptis dan menganggap remeh ‘milenial’ akan sumbangsih mereka terhadap bangsa dan negara, Ia beranggapan bahwa milenial sekarang hanya bisa demo dan merusak fasilitas publik. Mungkin saja, Megawati lupa dengan ungkapan Sukarno – bapaknya sendiri yang sangat getol dan menggebu-gebu jika menyerukan segala hal yang berkaitan dengan pemuda. Patut kiranya sekali lagi saya mengingatkan Megawati dengan ungkapan Presiden pertama Indonesia itu; “Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”.

Untuk menutup tulisan ini, ada sedikit kasus kecil yang bisa menjawab pernyataan Megawati berkaitan dengan tidak tahunya beliau akan sumbangsih generasi milenial, salah satunya kiriman di laman facebook milik VA Safi’i. bahwa sumbangsih generasi milenial adalah bermain PUBG dan TikTok. Untuk bisa bermain PUBG dan TikTok, mereka harus menggunakan handphone dan internet. Untuk bisa mendapatkan handphone, mereka harus membeli dengan uang bukan handphone hasil bagi-bagi gratis dari pemerintah. Dengan membeli handphone, berarti generasi milenial sudah ikut membayar pajak. Pajak inilah yang kemudian oleh elit politik makan dan korupsi. Inilah satu sumbangsih generasi milenial: membayar pajak! Lalu, PUBG diinstal di handphone yang telah dibeli tersebut, setelah itu, agar bisa dimainkan, maka harus terhubung dengan internet. Di sinilah mereka harus membeli pulsa. Dari membeli pulsa tersebut, ada sekian persen yang masuk ke negara sebagai pajak. Jadi membeli pulsa sama dengan membayar pajak. Seperti pajak membeli handphone, maka pajak membeli pulsa tersebut, kemudian elit politik makan, curi dan korupsi. Jadi, kontribusi atau sumbangsih generasi milenial adalah demonstrasi menuntut uang hasil main PUBG yang elit politik korupsi!

Sekelumit rentetan perjalanan Indonesia di Bulan Oktober, adalah duplikasi kelamnya Bulan September. Dan, Oktober juga kelam!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama