Konflik Urutsewu dan Keterlibatan Aparat dalam Carut Marut Hak Tanah Masyarakat

Oleh Suryadi (PMII Rayon Pancasila, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Sabtu - 09.09 WIB

Masalah agraria kerap muncul dibeberapa wilayah Indonesia. Salah satu wilayah konflik agraria saat ini adalah kawasan yang terletak di Urutsewu Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Urutsewu merupakan sebutan untuk daerah yang membentang di pesisir selatan Kabupaten Cilacap hingga Kulonprogo. Yang termasuk wilayah Urutsewu meliputi Kecamatan Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesantren, Ambal, dan Mirit. Konflik ekologi politik muncul di wilayah Urutsewu khususnya Buluspesantren, Ambal, dan Mirit. Koflik tersebut didasari oleh adanya persengketaan antara warga sipil dengan aparat militer atas hak kepemilikan tanah. Karena Kepemilikan hak atas tanah merupakan hak dasar yang juga merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Atas dasar pertimbangan tersebut maka menjelang peringatan hari HAM Internasional, PMII Rapan bersama FNKSDA Semarang mengadakan diskusi bersama dengan tema “Perampasan ruang dan persekutuan aparat bersama oligarki: kasus Urutsewu mempertahankan tanahnya”. Diskusi di pantik oleh sahabat Suryadi bersama Dera selaku Koordinator FNKSDA Semarang. Awal mula diskusi di jelaskan mengenai sejarah terjadinya konflik, pemicunya adalah  adanya klaim atas tanah di sepanjang pesisir selatan Kebumen oleh TNI AD, terutama sejak dimulainya pembebasan tanah untuk pembangunan Jaringan Jalan Lintas Selatan (JJLS). Tidak hanya itu, penetapan wilayah Urutsewu sebagai wilayah pertahanan dan uji coba senjata telah merenggut hak-hak masyarakat Urutsewu, mulai dari hak atas tanah hingga hak atas rasa aman.

Dok. Diskusi Konflik Urutsewu

Salah satu persekutuan yang mesra antara aparat dan oligarki dapat dilihat dari munculnya penambangan pasir besi, perusahaan tersebut bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan TNI AD dalam satu hubungan bisnis. Dengan mengatasnamakan pembangunan demi mencapai kesejahteraan. Namun ironisnya masyarakat sekitar tidak melihat penambangan sebagai alternatif untuk mencapai kesejahteraan. Karena bagi masyarakat yang sebagian besar adalah petani, penambangan akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial ekonomi.

Peristiwa 16 April 2011 menjadi tonggak penting dalam perjuangan masyarakat Urutsewu sekaligus menjadi peristiwa yang melukai masyarakat di mana represi yang dilakukan oleh militer hanya ditanggapi pemerintah dengan “diam”. Proses hukum pun hanya mampu mengadili warga yang melakukan perusakan pada peristiwa tersebut, namun tidak dengan terbuka mengadili tentara TNI AD yang juga melakukan pelanggaran hukum. Hal ini ditandai dengan jatuhnya 13 korban kekerasan fisik dan penembakan serta perusakan 12 sepeda motor permanen yang salah satunya merupakan milik penulis yang saat itu sedang mengumpulkan data penelitian.

Ketika konflik pemanfaatan sumber daya alam terjadi dan bereskalasi akibat aktor dan faktor yang diungkapkan dalam diskusi tentu harus ada penyelesaian konflik yang lebih baik. Tidak semata-mata penyelesaian hukum ataupun penyelesaian yang sifatnya ad hoc. Tantangan terbesarnya adalah menciptakan penyelesaian konflik yang mampu memulihkan hak masyarakat dan restorasi lingkungan, memperbaiki kebijakan, meninjau ulang izin, hak atas tanah dan berbagai bentuk penguasaan tanah oleh instansi pemerintah dan militer, dan memastikan tata kelola yang baik dijalankan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama