Judul
:
Maleh Dadi Segoro
Penulis
: Bosman Batubara, dkk
Penerbit
: Lintas Nalar, CV
ISBN
:
978-623-7212-42-3
Ukuran :
14,5x 20,5 cm
Halaman : 188
Harga :
79.000
Tahun :
2020
Buku “Maleh Dadi Segoro: Krisis
Sosial-Ekologis pesisir Semarang-Demak” secara umum menjelaskan krisis
sosial-ekologis yang terjadi pada pesisir Semarang-Demak yakni ekstrusi air,
Amblesan Tanah, banjir/rob, dan abrasi pantai. Fenomena krisis ekologis ini
bisa dilihat sebagai permasalahan dalam konteks yang saling berkaitan dan
menjadi satu kesatuan krisis yang terjadi di wilayah tersebut. jika dilihat
dari konteks lain, permasalahan bukan hanya menjadi krisis ekologis saja
melainkan sangat berkaitan dengan suatu mode interaksi yaitu kapitalisme. Hal
ini juga diperkuat dengan pandangan bahwa wilayah Pesisir Semarang-Demak yang
disebut sebagai wilayah mega komoditas. Dimana komoditas yang dimaksud adalah
ruang, buruh, tanah, perumahan real estate, pabrik, dan lain-lain. Hal itulah
yang diyakini menjadi penyebab utama krisis sosial-ekologis yang ada di wilayah
Pesisir Semarang-Demak.
Cara kerja dari penulisan buku ini
yaitu dengan tras-disipliner yang berarti melibatkan elemen elemen masyarakat
dan menempatkanya sama dengan pendapat pejabat/ilmuan dan kolaborasi antara
akademisi dan NGO. Serta dengan cara berjalan sambal bikin jalan yakni
berangkat dari rasa ingi tahu, konsolidasi, membuat workshop dll berupa proses-proses
sosial-ekologis dan inisiatif seperti apa yang telah, sedang, dan akan
berlangsung; dan kondisi/dampak sosial-ekologis seperti apa yang menyertai
inisiatif tersebut terutama kepada kelompok dengan kekuasaan yang relatif kecil
seperti masyarakat pesisir yang tinggal di KPSD?
Dalam buku ini juga dijelaskan Kerangka
teori: krisis sosial-ekologis dan proyek strategis nasional, dimana Krisis
Sosial-Ekologis berupa Kapitalisme sebagai penggerak utama krisis hari ini.
Pertama, ekspansi kapitalisme tidak hanya bersifat “sosial” (pencurian
nilai-lebih buruh), tapi juga “ekologis” (apropriasi air tanah). Kedua,
dialektika dua faktor penggerak (1) eksploitasi buruh dan apropriasi non-
buruh; (2) ada relasi-ekologis yang mendorong krisis.
PSN sebagai “konsep”, bukan
“proyek” , hal ini merupakan usaha untuk membuka jalan bagi arah baru
konsentrasi kapital di daerah tertentu. TTLSD akan menghubungkan Kawasan
Industri Kendal (KIK), Jateng Industrial Park Sayung (JIPS), dan proyek
komersial perumahan real estate.
Kerangka operasional menyorot
tentang permasalahan yang terjadi di Pesisir Semarang-Demak yakni ekstraksi air
tanah, amblesan tanah, banjir/rob, dan abrasi pantai, dimana Keempat hal
tersebut saling berhubungan. alur logikaya yaitu ekstraksi air tanah seringkali
disebut sebagai penyebab terjadinya amblesan tanah terutama di daerah utara
Semarang, membuat daerah tersebut semakin rawan terhadap bencana banjir yang
datang dari laut (rob) serta arus laut pada gilirannya menyebabkan abrasi
pantai, Ekstraksi air tanah pada 8 kawasan industri, PDAM memiliki peran besar
terhadap amblesan tanah karena pori pori tanah yang seharusnya diisi oleh air
tanah(Aquifer) menjadi kosong dan akhirnya tanah memadat (ambles), selain itu
tanah dengan tipe sedimen muda, juga dibebani bangunan/konstruksi, dan adanya
pelabuhan dan aktivitas pengerukan menambah amblesan tanah terjadi secara
cepat. Karena adanya amblesan tanah Banjir/rob terjadi. Banjir di Semarang
terdapat tiga jenis yakni (1) banjir yang terjadi karena adanya air yang
dikirim dari arah hulu dan mengalir ke Kota Semarang bagian bawah; (2) banjir
yang terjadi karena adanya hujan lokal di dalam kota. Hal ini terjadi karena
baik kemampuan permukaan kota untuk menyerap air yang semakin hari semakin
berkurang, juga karena daya tampung saluran-saluran drainse di dalam kota
terlampaui; (3) Banjir jenis ketiga yang cukup sering terjadi di Semarang
bagian utara adalah banjir yang terjadi karena pasang air laut, atau sering
disebut dengan banjir rob. Abrasi akan terjadi jika pembangunan TTLSD, bangunan
menjorok ke laut, reklamasi bandara/Pelabuhan dilakukan , hal ini mengakibatkan
terjadinya perubahan arus laut,
Kerangka empiris dalam buku ini
berfokus pada Proyek TTLSD yang sedang diwacanakan sebagai PSN oleh pemerintah.
TTLSD menjahit mega komoditas KPSD (ruang, kawasan industri, buruh, air tanah,
real estate, produk pabrik, dan lain-lain) dan TTLSD dianggap sebagai solusi
terhadap banjir rob dan sekaligus kemacetan yang terjadi di kota
semarang-demak. Selain itu Bedah Andal TTLSD juga digunakan dalam
mengidentifikasi kelemahan-kelamahan ANDAL yang menghasilkan 6 poin penting
yaitu : (1) analisis sempit; (2) Konsultasi publik tidak melibatkan kelompok
kritis; (3) Potensi perubahan arus laut, amblesan tanah, dan kesejarahan banjir
rob di Semarang; (4) Akan hilangnya mata pencaharian petambak udang; (5)
Hilangnya akses masyarakat terhadap kawasan sempadan pantai; (6) Tidak detil
dalam hal sumber material urugan (belakangan diketahui lokasinya di lepas
pantai Jepara). Dalam Merespon kelemahan Andal TTLSD Penulis melakukan upaya
penelitian cepat dengan salah satunya dengan Susur Pantai & wawancara
nelayan Tambak Lorok. Dari sini muncul term “Maleh dadi Segoro” dari warga yang
dijadikan sebagai judul dalam buku ini.
Sintesis Kegiatan Susur Pantai
memperlihatkan bagaimana orang seperti Enem yang bekerja serabutan sebagai
nelayan ataupun kuli bangunan, memiliki analisis yang “serupa” dengan pakar
seperti Nelwan dimana mereka sama-sama melihat bahwa salah satu penyebab dari
amblesan tanah di kawasan Demak (untuk Enem) dan Semarang-Demak (untuk Nelwan) adalah
aktivitas pengerukan reguler di daerah pelabuhan Tanjung EmasSolusi yang
didorong justru adalah masalah itu sendiri (pembebanan, perubahan arus laut,
dst). TTLSD berpotensi makin memproduksi dan mereproduksi krisis sosial-
ekologis di pesisir Semarang-Demak.