Teror Mabes Polri : Melacak Akar Radikalisme di Kampus

Oleh M. Kamil Firdaus (Staff Ahli Biro Sosial Politik PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) Pada Kamis - 14.00 WIB


Belakangan ini publik Indonesia dihebokan dengan fenomemena terorisme yakni kasus bom bunuh diri di Makassar dan Penyerangan Mabes polri yang dilakukan seorang perempuan.  Isu yang sedang hangat ini, pada tanggal 12 April 2021 diangkat dan diskusikan secara mendalam oleh PMII Komisariat Al- Ghozali Semarang, Universitas Negeri Semarang dengan untuk memperoleh hipotesa atas kasus terorisme yang akan dibahas.

Tema yang diangkat dari diskusi isu startegis, yakni Teror Mabes Polri? Melacak Akar Radikalisme Di Kampus. Muhammad Rafly Setiawan, Ketua PC PMII Palopo Sulawesi Selatan sekaligus pemateri pertama dalam diskusi yang dilakukan secara daring tersebut. Dalam diskusi tersebut sahabat Rafly, dengan pendekatan emipirik dari salah seorang temannya yang pernah terpapar paham islam radikalisme.

Menegaskan bahwa adanya doktinisasi pada korban yang tidak logis. Artinya, terdapat perbandingan yang tidak sebanding. Korban yang doktrin untuk memilih dari apa yang disediakan, sebagai contoh; Nabi Muhammad atau Presiden. Hal ini akan menjadi pilihan yang sulit bagi mereka yang sudah terpengaruhui. Mungkin orang yang akan berpikir secara kritis, tentu akan mempertanyakan apa yang dimaksud dari si penanya. Oleh sebab itu, kita harus bisa memahami konteks jiwa zaman dan keadaan yang menggambarkan keduanya secara rasional, bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak. Sedangkan presiden, merupakan kepala negara yang pilih rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi negaranya.

Tarulah Nahdatul Ulama sebagai penghalang bagi mereka yang berusaha menyebarkan paham islam radikal yang berujung tindakan teror. Ketika mendapati orang yang sudah terpapar radikalisme jangan dihidari atau mendeskriditkan, tetapi kita harus merangkul dan memberikan rehabilitasi. Hal ini kemudian  penting bagi kita menyediakan ruang dialog agama, guna mencegah perbuatan teror tersebut, serta memberikan pemaknaan terhadap islam yang baik.

Pembahasan mengenai isu terorisme selanjutnya disampaikan oleh Edi Subkhan, beliau merupakan pakar pendidikan kritis. Dalam diskusi isu strategis ini Sahabat Edi menawarkan bahwa perlu apa yang dinamakan perspektif, yang dimaksud adalah mengetahui akar. Jika teorisme disebabkan sebagai akar kemiskinan, tentu pernyataan ini terpatahkan karena kebanyakkan dari mereka (pelaku teror) berlatar belakang menengah ke atas, artinya secara ekonomi mereka merupakan orang berada. Sekalipun faktor pendidikan yang rendah adalah bisa dikatakan penyebab, tetapi tetap hal ini bukalahnya penyebab tunggal. Oleh sebabnya, bisa dikatakan bahwa lahirnya pelaku teror kurangnya pemahaman (kedangkalan) terhadap islam itu sendiri.

Pemahaman agama tentang hitam-putih akan menjadi masalah karena bisa dimanfaatkan oknum. Misalnya kita dihadapkan dengan orang mantan HTI katakanlah demikian, tentunya kita mempunyai pegangan yakni nalar kritis tentang pemahaman dan prilaku islam. Harus juga dipahami secara mendalam tentang aspek sosial, ekonomi, politik terutama geneologi sejarah.

Terakhir model pembelajaran agaknya penting sebab retorika yang dibawakan dari setiap modelnya jelas bisa mempengaruhi prilaku seseorang. Artinya, perlu keterbukaan agar melahirkan wawasan kita terbuka, poinnya agar tidak mudah bagi kita mengkafir-kafirkan satu sama lain.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama