![]() |
YouTuber Jozeph Paul Zhang, viral karena video pengakuan nabi. /tangkapan layar/YouTube Jozeph Paul Zhang |
Beberapa waktu belakangan publik diramaikan dengan
hadirnya Joseph Paul Zhang, seorang WNI yang sekarang tinggal di Jerman. Saya
sebenarnya acuh dengan orang ini, tapi lama-kelamaan penasaran juga ingin
menyimak videonya yang viral. Saya ndak
mementingkan soal ucapannya yang mengkultuskan diri sebagai nabi ke-26, lha wong di zaman sekarang ini sudah
banyak orang mengaku Nabi. Yang jadi masalah menurut saya dan sebagian umat
muslim lain adalah pernyataannya bahwa Nabi ke-25 (Nabi Muhammad) pasti masuk
neraka.
Menarik lebih jauh lagi kita akan menemukan sosok Desak Made atau lebih masyhur dipanggil Desak, yang dianggap melecehkan Hindu dan Bali karena pernyataannya : "Bali adalah pulau setan karena jarang terdengar Adzan".
Kemudian Yahya waloni, belum habis pembahasan soal perilaku psikopat nya yang dengan bangga menabrak Anjing, kini ia kembali membuat gaduh dengan mempertentangkan tentang kursi Islam dan kursi Kristen.
Jika kita terus mundur lagi ke belakang, kita akan semakin banyak menemukan orang-orang yang melecehkan agama sendiri maupun agama lain. Saya sebenarnya tipikal yang i don't give a fuck kalau soal yang beginian. Pertama ribet, kedua pasti dibilang sok suci sama SJW walaupun hal-hal semacam ini memang sebenarnya menarik untuk dibahas.
Saya kemudian bertanya, sebenarnya pembahasan soal perbandingan agama lain & agama sendiri apakah diperbolehkan di bumi Indonesia tercinta ini ?
Kalau mengikuti tesisnya Mukti Ali, bisa dikatakan bahwa kita sudah seharusnya menerapkan ilmu perbandingan agama (comparative religion). Ilmu ini ndak langsung dimaknai persis seperti namanya, bukan membandingkan atau mempertentangkan agama satu dengan agama lain. Tapi lebih jauh lagi, sebagaimana pendapat Mircea Eliade, yakni untuk menemukan pola, kesesuaian, dan perbedaan dari banyak agama dan kepercayaan yang berkembang di dunia.
Mukti Ali menuangkan tesis ini dalam bukunya yang diberi tajuk "Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia", yang meskipun sarat kritik karena dianggap hanya bersudut pandang Islam (dan sesekali Kristen). Namun, buku ini mau diakui atau tidak telah memberikan pantikan pada penciptaan kerukunan umat beragama di Indonesia yang "konon" berbasis Bhinneka Tunggal Ika.
Sayang seribu sayang, tesis Mukti Ali ini hanya berhenti di "Menara Gading", tidak menyasar lebih dalam ke "Akar Rumput". Sedikit banyak mungkin karena pengaruh orde baru yang sangat konservatif pada pembahasan SARA di ruang publik yang dianggap sebagai upaya "menjaga ketertiban umum" atau "menjaga keamanan dan ketertiban".
Sebenarnya hal-hal semacam ini dapat menciptakan ruang-ruang diskusi antar Agama. Namun, karena sifatnya yang terbatas tadi, maka hasilnya juga terpengaruh. Yang awalnya sangat diskusi-able dan dapat menemukan pola dalam ajaran secara dalam, menjadi tidak terlaksana secara penuh. Yang sering terjadi malah membandingkan dan mempertentangkan agama satu dengan agama lain dengan standar yang cenderung normatif. Mentok di pertanyaan mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk, serta tidak memberi sedikitpun penekanan pembahasan mengenai sejarah agama maupun pola dan kesesuaiannya.
Kegagalan inilah yang menurut saya menciptakan panggung bagi orang-orang macam Zhang, Desak, & Yahya. Ini juga yang mempengaruhi pemikiran orang tentang mengenal agamanya sendiri dan agama lain bukan berdasarkan pola yang terstruktur, tapi berdasarkan batasan mana yang terbaik, harus dipuji dan diagungkan, serta mana yang buruk, pantas dicela dan harus dihina. Tidak ada pembahasan tentang agama itu memiliki kesamaan pemahaman yang filosofis, yang hanya benar-benar membandingkan secara kasat mata. Tak heran jika bangsa kita masih saja ribut soal agama disaat bangsa lain sudah menciptakan mesin terbang otomatis, observasi ke Mars dan cara kawin silang dengan Alien. Ya karena memang ilmu yang memungkinkan untuk belajar memahami agama gagal diturunkan ke publik.
Bagaimana kalau menurut antum sekalian ? Bagaimana cara kita menyikapi fenomena macam ini ? Swipe kuy