Oleh M. Kamil Firdaus (Staff Ahli Biro Sosial Politik PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Rabu - 00.50 WIB.
Ki Hadjar Dewantara lahir
di Pakualaman pada 2 Mei 1889, Beliau sempat mengenyam pendidikan agama
(mondok) di Kalasan, sebelum menempuh pendidikan di Europeesche Large School (ELS) dan School tot Opleding van Indische Arsten (STOVIA).
Pria bernama lengkap
Reden Mas Soewardi Soejaningrat, seringkali menghabiskan waktu bermain dengan
teman-temannya di luar kalangan feodalistik. Meski lahir di lingkungan keraton,
rupanya tidak membuat Ki Hadjar merasa nyaman, sehingga beliau lebih menyukai
hidup bebas bersama masyarakat kebanyakan.
Ketika menempuh
pendidikan di STOVIA, Ki Hadjar dikenal sebagai orang yang pandai dan aktif selama
proses pembelajaran di dalam kales, dan ketika di luar kelas Ki Hadjar
merefleksikan hal tersebut, terutama dalam memperjuangkan hak pribumi yang
dirampas oleh Pemerintah Kolonial. Meski demikian, Ki Hadjar tidak berhasil menuntaskan
pendidikannya di STOVIA lantaran sakit yang dideritanya.
Sementara itu Ki Hadjar
sukses mengawali dan menjalani karir sebagai wartawan dan penulis diberbagai
media massa pada saat itu, diantaranya meliputi; Sedoyo Utomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer,
dan Poesara.
Berbekal kemampuan
menulis yang baik, serta daya kritis yang dimiliki. Alhasil, menstimulus
lahirnya tulisan yang berisikan patriotisme dan nasionalisme.
Sempat begabung dengan
Boedi Oetomo pada tahun 1908, tetapi memutuskan keluar bersama dua kawannya
yakni Ernest Douwes Dekker, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Pada tanggal 25
Desember 1912 berdiri organisasi Indische Partij, yang dipelopori oleh
Ki Hadjar, Douwes Dekker, dan Tjipto atau lebih dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”.
Adapun titik tolak
pemikiran Ki Hadjar, yakni tulisan berjudul "Als
Ik Een Nederlander Was" atau "Seandainya Aku Seorang
Belanda". Tulisan tersebut, berisikan keinginan Pemerintah Kolonial
Belanda untuk memungut sumbangan pada inlander
atau pribumi untuk menyukseskan pesta seratus tahun kemerdekaan Belanda atas
Prancis.
Sebab itu, melalui
tulisan terabut Ki Hadjar melayangkan protes berupa sindiran terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda yang ingin merayakan seratus tahun kemerdekaan
Belanda di tanah jajahan.
Konsep
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Setelah pulang dari
tempat pengasingan yakni Negeri Belanda pada tahun 1919, tentu saja Ki Hadjar
memperoleh banyak ilmu dan pengalaman yang dapat selama masa pengasingan,
terutama tentang pendidikan. Hal tersebut kemudian mendasari konsep pengajaran
yang gagas oleh Ki Hadjar Dewantara.
Adapun konsep tersebut,
yakni “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.
Konsep tersebut diaplikasikan oleh
Ki Hadjar melalui Taman Siswa yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922.
Menurut saya tiga poin dari konsep tersebut sangat penting bagi proses pendidikan di Indonesia, pertama guru haruslah Ing Ngarso Sung Tuladha bahwa hal ini mirip dengan pepatah yang mengatkan “guru” merupakan orang yang harus diguguh dan ditiru, artinya penglihatan siswa terfokus kepada seorang guru. Sebagai role medel selama proses pembelajaran tentu harus mengaplikasikan sikap yang bijaksana. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa bahwa sebisa mungkin seorang guru sedikit merendahkan dirinya hanya untuk dekat dengan siswanya, hal tersebut kemudian dapat melahirkan suasana kondusif yang dirasakan dan diterima baik guru mau pun siswa-siswanya. Terakhir, Tut Wuri Handayani bahwa guru harus lebih memperhatikan siswanya, tidak hanya persoalan pemenuhan kontrak kegiatan belajar mengajar, tetapi persoalan mengenai pengenalan potensi siswa. Artinya, guru harus bisa menerima keragaman yang dimiliki oleh siswa-siswanya dengan bakat minat yang berbeda satu sama lain.