Intermedialitas Ceramah Keagamaan KH Bahauddin Nursalim

Oleh Hasan Labiqul Aqil (Ketua 2 Bidang Eksternal PMII Al Ghozali Unnes 2019-2020/Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Kajian Budaya dan Media Universitas Gajah Mada) pada Jumat - 16.04 WIB.

(Source:Akurat.co) 

KH Bahauddin Nursalim, atau yang akrab disapa Gus Baha merupakan tokoh agama islam yang berasal dari kalangan pesantren tradisional. Ulama yang berasal dari Narukan, Kragan, Rembang ini memulai ceramah keagamaannya di sebuah rumah yang dikontraknya di daerah Pleret, Bantul, Yogyakarta. Ceramah keagamaan Gus Baha diadakan dengan metode pembacaan kitab klasik, atau yang biasa dikenal di pesantren dengan kitab kuning, pengajian ini dimulai sekitar tahun 2003.

Pengajian yang diselenggarakan oleh Gus Baha ini diadakan secara sederhana ala pesantren. Awalnya diikuti lima orang, hingga kemudian ramai didatangi banyak orang dari berbagai kalangan. Fenomena naiknya popularitas Gus Baha menjadi menarik, karena beliau berasal dari kalangan tradisional pesantren, berceramah dengan metode tradisional, dan juga fokus kajian pada teks-teks klasik. Namun, ceramahnya dapat tersampaikan berbagai kalangan, mulai dari dosen di berbagai kampus, aparat negara, anggota dewan, hingga kelompok islam modernis bahkan muslim lintas madzhab.

Naiknya popularitas Gus Baha tentu tidak hanya dikarenakan satu faktor tunggal medium ceramah yang diselenggarakan di rumahnya – yang dihadiri oleh lima orang saja. Akan tetapi isi pengajian kitab Tafsir Jalalain dan Nashoihul ‘Ibad ini dapat tersebar luas karena termediatisasi melalui berbagai macam medium. Mulai dari Youtube, Instagram, Telegram, Facebook, dan lain sebagainya. Oleh karena itu fenomena ceramah Gus Baha tidak terlepas oleh dimensi intermedialitas.

Menurut Gabriele Rippl (2015: 11) intermedialitas mengacu pada hubungan antara media dan karenanya digunakan untuk menggambarkan sejumlah besar fenomena budaya yang melibatkan lebih dari satu media. Hubungan antar media ini kemudian membentuk apa yang disebut “lintas-media” atau yang dalam bahasa inggris disebut “intermedialitas”.

Bentuk intermedialitas ceramah keagamaan Gus Baha dapat dikaji secara luas, tergantung pada medium yang dipilih. Pengajian Gus Baha memang pada mulanya hanya direkam dalam bentuk audio tanpa visual yang masih begitu panjang – sekitar 40 menit hingga 1 jam – yang kemudian dibagikan melalui grup atau kanal Telegram, hingga kemudian viral karena sudah diunggah ke Youtube dengan sedikit editan, karena sudah dipotong durasinya atas kebutuhan pembentukan formasi makna, dan ditambah foto Gus Baha sebagai visual pendamping audionya.

Hal ini tentu selaras dengan yang dikatakan Klaus Bruhn Jensen (2016: 972) bahwa intermedialitas mengacu pada keterkaitan media komunikasi modern. Media yang berbeda mengacu dan bergantung satu sama lain, sebagai sarana ekspresi dan pertukaran, baik secara eksplisit maupun implisit; mereka berinteraksi sebagai elemen dari berbagai strategi komunikatif; dan mereka adalah konstituen dari lingkungan sosial dan budaya yang lebih luas.

Menurut Klaus Bruhn Jensen (2016: 972) ada tiga konsep intermedialitas yang dijelaskan. Pertama, Discursive Intermediality, dengan konsep ini intermedialitas dibicarakan dalam konteks formasi makna melalui beragam wacana sekaligus, termasuk melalui kombinasi beberapa modalitas, yakni bagaimana makna dibangun dengan mengaktifkan berbagai modalitas, seperti musik, video, visual, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, Intermedialitas ceramah keagamaan Gus Baha dapat kita lihat dengan bagaimana wacana seputar keagamaan dibentuk oleh kanal- kanal media sosial yang ada. Wacana seputar keislaman, tasawuf, tafsir Al-Quran, hukum fiqih, hingga sejarah diproduksi di dalam konsep ini.

Kemudian yang kedua, Material Intermediality, masih terkait dengan konseppertama, jika Discursive Intermediality berbicara tentang bagaimana makna dibentuk melalui beragam wacana, Material Intermediality berbicara tentang bagaimana beragam wacana tersebut dikombinasikan melalui beragam media; seperti menggunakan media cetak, elektronik dan platform media baru. Intermedialitas ceramah keagamaan Gus Baha dalam konteks ini dapat ditemui dengan banyaknya konten yang tersebar melalui beragam media, selain media baru arus utama seperti Instagram, Youtube, Facebook, Telegram, dan Twitter, konten ceramah Gus Baha juga termediatisasi melalui kaos custom dan cat bergambar Gus Baha beserta kutipan ceramahnya di belakang bak truk. Wacana seputar keislaman yang sudah disampaikan di atas direproduksi didalam konsep ini.

Konsep yang terakhir, Institutional Intermediality, yaitu interrelasi antara media yang satu dengan media yang lain sebagai institusi sosial, salah satu bentuknya adalah konvergensi media, bahwa digitalisasi akan menghasilkan penggabungan media dan praktik komunikatif yang sebelumnya terpisah. Beberapa jenis jaringan dapat mendistribusikan konten yang sama; beberapa jenis konten dapat digabungkan dalam satu jaringan atau saluran; dan beberapa platform atau perangkat dapat berfungsi sebagai titik akses ke jaringan dan konten yang berbeda. Seperti contohnya adalah konvergensi media ‘Santri Gayeng’ yang secara terpusat memublikasikan ceramah Gus Baha secara terverifikasi melalui Youtube, Facebook, Instagram, dan Twitter.

Selain tiga konsep intermedialitas menurut Klaus Bruhn Jensen di atas, ada juga tiga bentuk intermedialitas menurut Irina O. Rajewsky (2005: 51). Pertama, Media Transposition, yaitu transformasi satu produk media menjadi produk media yang lain; adaptasi satu bentuk media ke media yang lain, contohnya di sini adalah awal mula ceramah Gus Baha termediatisasikan melalui banyak video pendek di Instagram karena mengambil berbagai video yang ada di Youtube, sedangkan video di Youtube merupakan bentuk adaptasi dari rakaman audio ceramah yang tersebar di Telegram.

Kedua, Media Combination; atau bisa disebut Mixed-media, yaitu kombinasi antara minimal dua bentuk artikulasi media, seperti dalam audio ceramah Gus Baha yang digabung dengan instrumen musik Rapuh dari Opick dan ditambahi dengan visual kutipan atau subtitle serta foto Gus Baha hingga terbentuklah sebuah Video.

Terakhir, Intermedial Reference, bahwa satu medium merujuk pada medium yang lain; satu produk media menjadi referensi atas produk media yang lain. Misalnya adalah kitab Tafsir Jalalain dan Nashoihul ‘Ibad, yang dibacakan Gus Baha, telah menjadi sebuah referensi atas medium yang lain.

Dengan demikian luasnya intermedialitas ceramah keagamaan Gus Baha, menjadi hal yang wajar ketika berbagai lapisan dan kalangan masyarakat dengan mudah dapat mengakses konten ceramahnya. Akan tetapi yang perlu diperhatikan bahwa terlepas dari konsep dan bentuk intermedialitas di atas, fenomena Gus Baha telah termediatisasi sedemikian luas sehingga menggambarkan sejumlah besar fenomena sosial budaya tersendiri.


Referensi

Jensen, K. B., & Craig, R. T. (2016). The International Encyclopedia of Communication Theory and Philosophy, 4 Volume Set. John Wiley & Sons.

Rajewsky, I. (2005). Intermediality, intertextuality, and remediation: A literary perspective on intermediality. Intermédialités: histoire et théorie des arts, des lettres et destechniques/Intermediality: History and Theory of the Arts, Literature andTechnologies, (6), 43-64.

Rippl,G.(Ed.).(2015). Handbookofintermediality:Literature–image–sound–music (Vol. 1). Walter de Gruyter GmbH & Co KG.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama