Homo Viator: Manusia adalah Makhluk Peziarah

Oleh Hasan Labiqul Aqil (Ketua 2 Bidang Eksternal PMII Al Ghozali Unnes 2019-2020/Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Kajian Budaya dan Media Universitas Gajah Mada) pada 26 Oktober - 16.12 WIB.

(Sumber foto: Google)

Homo viator adalah istilah yang diperkenalkan oleh filsuf Eksistensialisme Kristen Prancis, Gabril Marcel dalam buku yang berjudul sama Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope. Istilah ini mengacu pada konsep yang sudah ada sejak dulu, dalam tradisi pagan, yang menganggap bahwa kehidupan mulai dari kelahiran hingga kematian sebagai sebuah perjalanan atas pembelajaran, proses memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan, atau dalam tradisi kristen perjalanan menuju pengampunan. Ziarah di sini berarti ‘perjalanan’ dalam hidup dari lahir hingga mati.

Sayangnya, makna ziarah selama ini, oleh tradisi kita telah tereduksi hanya sebuah aktivitas ziarah kubur; mengunjungi makam, entah makam leluhur, guru, atau para begawan. Jika kita mendengar kata ziarah seolah dalam pikiran kita hanya terbayang praktik mengunjungi pemakam rutin tiap kamis sore, atau dalam momen tertentu seperti haul. Padahal kata ziarah adalah serapan dari bahasa Arab yang berasal dari kata kerja (fi’il) زار – يزور yang memiliki makna berkunjung. Sedangkan kata ziarah adalah bentuk masdar dari fi’il زار yaitu زيارةَ.

Dari sedikit penjelasan diatas maka bisa kita pahami bahwa kata ziarah memiliki makna berkunjung, serta tidak ada pengkhususan penggunaan kata ziarah diartikan untuk mengunjungi kubur atau makam. Sehingga memiliki makna yang umum, makna ‘berkunjung’ atau ‘perjalanan menuju’ masuk pada kata ziarah. Apabila kita menginkan makna yang khusus, maka kita harus menambahkan qoid (pengikat /pengkhusus kata), misalnya ziarah kubur. Jadi dikotomi semantik ‘ziarah’ ke para wali yang telah mendahului kita dan ‘sowan’ ke para senior, rasanya kurang tepat. Karena kalimat “ziarah ke para senior” – yang masih hidup di dunia, ternyata bisa juga digunakan.

Agaknya, kini kita perlu mengembalikan makna ziarah menuju lebih umum kembali, yakni perjalanan atau berkunjung, terlepas dari perjalanan ke mana, atau mengunjungi apa.

Ziarah secara spiritual bisa saja memiliki arti ‘perjalanan menuju’ atau untuk mencapai kesucian tertentu sesuai keimanan masing-masing, ia memiliki nilai reflektif yang dapat dijadikan pelajaran (lil i'tibar). Ziarah secara spiritual bahkan dapat dilakukan dengan cara meditasi atau perenungan. Ziarah yang terbaik bukanlah perjalanan fisik, bukan juga perjalanan menuju tempat-tempat suci, akan tetapi perjalanan menuju diri sendiri. Mungkin kita akrab dengan slogan yang sering dikampanyekan oleh Habib Husein Ja'far Al-Hadar, bahwa tuhan tidak di Ka'bah, Vatikan, maupun Tembok Ratapan, akan tetapi tuhan ada di hatimu, kira-kira ziarah secara spiritual adalah demikian, yaitu proses perjalanan menuju tuhan yang sebenarnya ada di hati kita.

Selain spiritual, ziarah juga memiliki dimensi sosial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia dalam melakukan ‘perjalanan’ pastinya bertemu dengan manusia yang lain. Pertemuan antar manusia ini kemudian menjadikan manusia ada dalam sebuah dilema, ingin menjadi dirinya sendiri di satu sisi, namun juga harus hidup bersama dengan manusia lain. Ia menjadi personal sekaligus impersonal secara bersamaan.

Kita tidak dapat mengelak bahwa hidup kita ditentukan oleh orang lain, oleh sebab itu kita disebut homo viator makhluk peziarah, berjalan dengan kaki sendiri namun dalam mata-mata atau bergandengan dengan orang lain. Hidup yang baik, adalah hidup yang melakukan perjalanan secara mandiri, independen, atau otonom, namun juga tetap mendengarkan pendapat orang lain, menerima nasihat dan tidak anti kritik. Mendengarkan pendapat yang lain bukan berarti hidup kita dikontrol dan dijajah, akan tetapi kita menilai dan memutuskan menjadi apa kita atas pengalaman perjumpaan dalam perjalanan yang kita lintasi.

Dalam hidup kita dapat memilih menjadi apa saja, nasib baik barangkali berpihak pada kita dan memenuhi keinginan kita, akan tetapi kadang juga berkata lain dari yang kita inginkan. Analoginya, beberapa manusia berjalan di jalan raya tanpa hambatan, semuanya berlangsung mulus, dan selalu sampai kepada tujuan. Sementara yang lain ada yang berkerikil dan berlubang, yang mengharuskannya untuk berhenti sejenak, berusaha menghindar, lalu sampai ke tujuan meskipun tidak secepat berjalan di jalan raya yang mulus.

Satu hal yang pasti dari peziarahan — yang tidak bisa kita pilih maupun ingkari, dan hanya bisa kita terima — berujung pada kematian. Berawal dari kelahiran yang tidak kita pilih, kehidupan yang kita jalani, takdir yang telah kita terima, akan bermuara pada satu peristiwa kematian. Kematian adalah kepastian, kita tidak bisa menghindarinya, hanya bisa menerimanya. Kita bisa berjuang untuk hidup dengan baik; dan itu hanya bisa membantu untuk menunda datangnya kematian, begitu juga kita tidak bisa membatalkannya. Ujar-ujar lama berkata bahwa “sejak kita dilahirkan, kita sebenarnya berada dalam perjalanan menuju kematian”. Apa pun jabatan kita, seberapa banyak gelar akademis kita, kita berujung pada pencapaian gelar yang sama: Almarhum/almarhumah.

Manusia sebagai sosok yang berziarah, adalah sosok “yang dalam proses menuju”, sosok yang belum arrive, yang belum tiba di terminal penghabisan. Lalu proses menuju apa?, jika boleh meminjam istilah dari Nietzsche, ziarah adalah proses menuju manusia super, Ubermensch, atau dalam istilah PMII dikenal sebagai Insan Ulul Albab. Menurut Nietzsche, ziarah adalah transformasi diri, apa saja yang mengenai diri kita, dengan seluruh diri kita, ditransformasikan sedemikian rupa sehingga kita semakin menjadi diri sendiri.

Peziarahan menantang kita untuk terus mencari dan memperbarui diri tanpa kenal istirahat. Suatu rigoritas yang ketat, proses yang melelahkan. Ketika kita merasa sudah sampai tujuan pun, kita diminta untuk mengempaskan lagi apa yang telah kita capai, dan melanjutkan ‘perjalanan’ lagi. Bagaimanapun, ziarah sesungguhnya amat indah, mengantarkan kita jatuh ke dalam pelukan ketakterbatasan yang tak dapat dibatasi oleh apapun juga. Ada kalimat dari Nietzsche tentang peziarahan yang begitu indah:

“Menuju lautan-lautan baru
Ke sana—pergi menuju ke sana itulah yang kukehendaki
Pada diriku sendirilah aku percaya, pada tanganku sendiri
Terbuka, lautan membuka diri, dalam biru
Meluncur, kapalku dari Genoa menginginkan dirinya
meluncur.

Bagiku, segalanya berpendar dengan kilatan baru
Sang Tengah Hari berjaga-jaga dalam ruang dan waktu—:
Hanya matamu—secara mengerikan
Menghunjam diriku, oh ketakterbatasan!”

Sekali lagi, manusia adalah homo viator, makhluk peziarah yang melintasi waktu dari lahir hingga mati. Apa yang terjadi setelah kematian? Apakah kita masih terus berziarah? Bisa jadi, alam kubur, hari kebangkitan, yaumul mizan, yaumul hisab, sirat hingga surga dan neraka adalah peziarahan kita di chapter selanjutnya.

Referensi:

Jafar Al Hadar, Husein. (2020). Tuhan Ada di Hatimu. Noura Books

Marcel, Gabriel and Wolfgang Ruttenauer. (1944). Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope

Wibowo, A. Setyo. (2004). Gaya Filsafat Nietzsche

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama