Oleh Hasan Labiqul Aqil (Ketua 2 Bidang Eksternal PMII Al Ghozali Unnes 2019-2020/Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Kajian Budaya dan Media Universitas Gajah Mada) pada 03 November - 09.06 WIB.
Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan
Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon. Aturan ini ditandatangani pada
29 Oktober 2021, setelah hampir tiga tahun tidak ada kejelasan. Perpres
bernomor 98/2021 ini akan menjadi dasar bagaimana indonesia mengubah cara
pandang terhadap konservasi, manajemen hutan, dan terutama mitigasi krisis
iklim. Kemungkinan Perpres no 98/2021 ini juga menjadi oleh-oleh bagi Jokowi
ketika menghadiri Konferensi Iklim ke-26 atau Conference of The Parties (COP26)
(Maulana, 2021a).
COP26 diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia pada 31
Oktober 2021 hingga 12 November 2021. Selain membahas komitmen US$ 100 miliar
setahun negara maju, perdagangan karbon menjadi salah satu agenda penting dalam
COP26 melalui skema kerja sama penurunan emisi. Indonesia memiliki target
menurunkan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan
international pada 2030 dari prediksi emisi sebanyak 2,869 miliar ton setara CO2.
Perdagangan karbon akan menjadi salah satu proposal Indonesia dalam mencapai
target itu.
Dengan Perpres 98/2021, Indonesia memiliki aturan
dasar dalam melaksanakan praktik perdagangan karbon. Dengan kata lain,
pemerintah hendak membangun pasar wajib bagi pelaku usaha yang memproduksi
emisi. Ada tiga jenis perdagangan karbon yang diatur dalam peraturan nilai
ekonomi karbon: perdagangan emisi (cap and trade) antara dua pelaku
usaha, pengimbangan emisi (carbon off set) usaha penyerapan kerbon
sejumlah emisi yang diproduksinya, dan pembayaran berbasis kinerja.
Dalam cap and trade, pemerintah kelak akan
menentukan batas emisi (cap) yang diizinkan bagi tiap sektor. Mereka
yang mengeluarkan emisi melebihi batas harus membeli hak mengemisi kepada orang
lain yang memproduksi emisi lebih rendah dari batas itu. Sedangkan dalam carbon
off set skemanya mirip dengan pembayaran berbasis kinerja. Lembaga
internasional akan menghargai upaya pemerintah Indonesia menurunkan emisi atau
menyerap karbon dengan harga per unit karbon. Ada juga pilihan lain, seperti
melakukan usaha penyerapan emisi di lain lokasi, seperti konservasi, restorasi
gambut atau mangrove, serta menanam pohon (Maulana, 2021b).
Peraturan ini sudah lama ditunggu banyak pihak karena
akan menentukan bisnis ke depan. Dengan peraturan ini, konservasi akan memiliki
nilai tinggi dan nilai tambah. Mereka yang melakukan perlindungan lingkungan
bisa menjual upaya itu kepada mereka yang mengeluarkan emisi. Namun seperti apa
kilas balik lahirnya perdagangan karbon?
Kilas Balik Lahirnya Perdagangan Karbon
Isu lingkungan adalah salah satu isu
internasional selain HAM, sebab persoalan lingkungan dianggap dapat memengaruhi
aspek kehidupan lainnya. Berbagai persoalan yang menjadi perhatian dalam isu
lingkungan telah ramai menjadi perhatian dunia sejak diselenggarakannya
konvensi lingkungan pertama, yaitu konvensi Stockholm, Swedia pada 5-16 Juni 1972, meskipun
pembahasan dalam konvensi ini baru difokuskan pada pemeliharaan lingkungan dan
kesehatan manusia dari bahayanya bahan kimia beracun. Berawal dari perjanjian
tersebut, berbagai isu persoalan lingkungan mulai menjadi perhatian utama PBB
dan beberapa negara di dunia (PCB Free Indonesia, 2016).
Salah satu isu lingkungan yang penting
untuk dibahas yaitu terkait perubahan iklim yang dampaknya sudah secara nyata dirasakan oleh masyarakat di seluruh
dunia. Perubahan iklim berimplikasi pada perubahan cuaca
yang tak menentu, seperti mencairnya gunung es di kutub utara yang menyebabkan
negara-negara kepulauan kecil terancam tenggelam. Perubahan iklim tidak dapat dipisahkan dari
emisi karbon. Menyadari risiko yang akan muncul, negara industri penghasil
pemanas global lebih dulu berupaya mengelola emisi karbon.
Jual beli emisi karbon, biasa disebut
perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan
kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi
perubahan iklim.Pembeli emisi karbon biasanya negara industri
maju (Annex-1 parties), sementara penjualnya adalah negara berkembang (Non-Annex
1 Parties) dengan hutan yang luas sebagai penyerap karbon dioksida sebagai
penjual sertifikat (Sukadri, 2012). Hutan
menjadi sasaran utama karena fungsinya sebagai penyerap karbon dioksida.
Melalui hutan lindungnya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indonesia
merupakan salah satu negara penjual emisi karbon yang aktif.
Namun, bisnis jual beli karbon di Indonesia tak
semudah yang dibayangkan, terdapat carut marut persoalan eksternal yang menimpa
bisnis ini, mulai dari kebakaran hutan, masalah laten sengketa dengan
masyarakat adat, dan kongkalikong dengan perusahaan sawit.
Permasalahan di Balik Perdagangan Karbon
Indonesia telah menjual emisi karbon sejak tahun
2005, salah satunya melalui proyek CDM (Clean Development Mechanism) atau
Mekanisme Pembangunan Bersih. Selain CDM ada skema lain, yakni REDD (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation) atau Penghindaran
Emisi melalui Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan. Salah satu proyek
perdagangan Karbon di Indonesia adalah Katingan Mentaya Project melalui PT
Rimba Makmur Utama (RMU) di Kalimantan.
PT RMU adalah perusahaan restorasi ekosistem yang
hendak memulihkan areal bekas HPH yang rusak. Jasa pemulihan itu berupa
penyerapan karbon yang dihargai oleh perusahaan lain yang menghasilkan emisi. Bisnis
jual beli karbon ini diminati perusahaan bonafit dunia yang hendak mencuci
dosa, Shell misalnya. Perusahaan minyak dan gas asal Belanda ini memiliki
kampanye setiap 1 cent dari harga bensin yang pelanggannya beli di Eropa, akan
mereka donasikan untuk program Katingan Project (Narasi News Room, 2020).
Selain itu, ada juga perusahaan otomotif seperti Volkswagen
dan lembaga perbankan BNP Paribas yang menjadi klien bisnis PT RMU. Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan, hingga akhir September lalu, ada 28
transaksi 42.455,2 ton emisi setara CO2 senilai Rp 1,2 miliar.
Tak semulus yang kita bayangkan, bisnis ini mengalami
beberapa problem. Pertama kebakaran hutan, berdasarkan data yang diolah oleh
tim Narasi dan Tempo (2020), titik hotspot kebakaran hutan yang terjadi sejak
bulan Januari 2020, berada di dalam hutan karbon, total luas lahan terbakar
berkisar 1.900 hektare. Jika dianalisa mulai dari Juni sampai Oktober 2020,
kebakaran yang terjadi jauh lebih baik dibanding 2015 lalu. Dampak mengerikan
terjadi di tahun 2015, laporan audit perusahaan PT RMU menyebut dampak
kebakaran ini mencapai 9.000 hektare.
Masalah yang kedua yakni laten, sengketa lahan dengan
masyarakat adat. Ada ratusan hektare tanah PT RMU yang diklaim telah diambil
warga secara ilegal, seperti warga adat Dayak Misik. PT RMU belum bisa
menunjukkan batas yang positif terhadap wilayah masyarakat, sedangkan
masyarakat mengaku tanah yang mereka duduki adalah tanah adat.
Masalah lain yang muncul adalah area konservasi di
sisi timur berbatasan langsung dengan perkebunan sawit milik PT Persada Era
Agro Kencana atau disebut PT PEAK. Aktivitas PT PEAK ini (perkebunan), biasanya
akan membuat jaringan-jaringan kanal, yang bertujuan untuk menguras air yang berada
di wilayah itu. Kanal-kanal ini akan menyebabkan gambut di wilayah itu menjadi
kering, sehingga ketika musim kemarau panjang seperti tahun 2015 hingga 2019
kebakaran akan terjadi.
Hampir lebih dari 7.000 hektare hutan yang terbakar
pada tahun 2015 berawal dari api yang merambat dari area sawit milik PT PEAK.
Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin PT PEAK bisa mendapatkan izin dari KLHK?
Selidik demi selidik, sebagian area yang diminta PT RMU sudah diberikan untuk
dijadikan lahan sawit. Sejak pertengahan tahun 2012, KLHK sudah membuka pintu
bagi PT PEAK di kawasan itu. Desember 2013, Zulkifli Hasan juga menandatangani
izin pelepasan hutan kepada PT PEAK.
Menurut Laporan (Mighty Earth, 2018) menyebut,
hasil sawit PT PEAK dikonsumsi perusahaan multinasional; Sebut saja, Unilever,
Kraft, Nestle, dan Pepsi. Tentu saja ini paradoks, disaat Shell dan Volkswagen
mencoba cuci dosa, dengan merestorasi lahan gambut di Katingan. Di sisi lain,
Unilever, Kraft, Nestle, dan Pepsi jadi konsumen perusahaan yang merusak lahan
ekosistem ini.
Dalam pandangan common sense mungkin posisi
atau kedudukan fenomena perdagangan karbon bersifat netral dan normatif. Namun
dalam perspektif teori kritis, Perdagangan karbon tidak lepas dari ideologi
yang berperan, ideologi yang dimaksud adalah sistem kerangka berpikir yang
tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang
mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok
sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya (Adams, 2004; Thompson & Yaqin, 2003). Teori
kritis meninjau bahwa fenomena perdagangan karbon bersifat ideologis atau
menyatakan keberpihakan.
Ideologi Perdagangan Karbon di Indonesia
Selain PT RMU di Kalimantan, ada juga proyek restorasi
ekosistem yang ada di Sumatera yaitu PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT). PT Alam
Bukit Tigapuluh adalah perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh beberapa LSM
lingkungan seperti WWF, Masyarakat Zoologi Frankfurt, dan Proyek Orangutan yang
terletak di Kabupaten Tebo, Jambi. Setelah lima tahun beroperasi, di situs web
PT ABT, sepanjang 2019, mereka telah menghasilkan 1.187 kilogram, atau lebih
dari 1 ton madu (WatchDoc Documentary, 2021).
Jika kita menggunakan harga jual madu tertinggi per
kilogram di toko daring, yaitu Rp 110 ribu, jadi pendapatan kotornya adalah Rp
130 juta dalam setahun, atau rata-rata Rp 11 juta per bulan, uang itu hanya
cukup untuk membayar empat pekerja dengan standar upah minimum di Jambi.
Sedangkan konsesinya mencapai 38 ribu hektare.
Sejak lima tahun perusahaan seperti PT ABT belum
menghasilkan uang secara signifikan jumlah dari restorasi ekosistem oleh karena
itu bantuan internasional digunakan untuk menjalankan perusahaan dan membayar
pajak. Di sinilah kita bisa mengetahui apa yang terjadi, yaitu, hubungan
mutualistik antara negara industri dengan negara pemilik hutan seperti
Indonesia.
Negara-negara industri berkepentingan untuk
menunjukkan komitmen dalam melestarikan lingkungan dan pengurangan emisi. Sedangkan
Indonesia masih bisa mendapatkan uang dan menjalankan perekonomian tanpa
merusak lingkungan. Ini juga salah satu praktik perdagangan karbon. Dana yang
dikeluarkan untuk melestarikan hutan dapat dihitung sebagai kompensasi dari
polusi yang mereka hasilkan secara berkelanjutan dari kegiatan industri.
Menurut video dokumenter yang dipublikasikan oleh
WatchDoc di kanal Youtube mereka (2021), PT Alam Bukit Tigapuluh diberikan
konsesi restorasi ekosistem oleh pemerintah Indonesia seluas 38 ribu hektar
yang terdiri dari dua blok. Areal yang telah dibuka berada di Blok 2, di Desa Pemayungan
yang telah ditempati oleh warga dan petani. Pada 2019, kawasan itu terbakar.
Kebakaran tersebut mempertajam konflik antara warga dan perusahaan. Bertukar
tuduhan, perusahaan menuduh warga sengaja membakarnya, untuk membuka lapangan
di wilayah konsesi mereka. Sementara warga mengaku tanaman mereka berada di
lahan yang terbakar.
Perdagangan karbon di balik mengurangi emisi, terdapar
ideologi bisnis pro kapitalisme. Bahwa upaya pelestarian lingkungan itu juga
bagian dari hak asasi manusia, namun justru diukur dalam kantong, atau hanya
dilihat dari nilai ekonominya. Ada kepentingan profit dan keberpihakan pada
bisnis perusahaan yang mempengaruhi kebijakan perdagangan karbon. Hal tersebut
yang mengukuhkan kekuasaan dari pengisaha industri dalam mengelola sumber daya
yang ada di Indonesia hanya demi kepentingan pribadi bukan demi kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Negara maju dan korporasi transnasional yang telah
memulai proses industrialisasi dan mengeluarkan emisi lebih awal, bukankan
mereka juga yang seharusnya terjun dalam menurunkan emisi secara langsung?
Bukan negara negara berkembang.
Referensi
Adams, I. (2004). Ideologi Politik Mutakhir
(Political Ideology Today). Penerjemah Ali Noerzaman. Yogyakarta: Penerbit
Qalam.
Maulana, R. (2021a). Akhirnya Jokowi
Tandatangani Perpres Perdagangan Karbon. Forest Digest. https://www.forestdigest.com/detail/1393/perpres-nilai-ekonomi-karbon
Maulana, R. (2021b). Koboi Karbon
Penunggang Perdagangan Karbon. Forest Digest.
https://www.forestdigest.com/detail/1394/perdagangan-karbon-cop26
Mighty Earth. (2018). Mighty Earth Rapid
Response Report 11.
Narasi News Room. (2020). Omong Kosong
Perdagangan Karbon di Borneo. https://www.youtube.com/watch?v=tJ2Utsg6Uqg
PCB Free Indonesia. (2016). Konvensi
Stockholm. http://www.pcbfreeindonesia.menlhk.go.id/konvensi-stockholm
Sukadri, D. (2012). Masukan untuk REDD
dan LULUCF. UN-REDD Programme.
Thompson, J. B., & Yaqin, H. (2003). Analisis
ideologi: kritik wacana ideologi-ideologi dunia. IRCiSoD.
WatchDoc Documentary. (2021). Kinipan.
https://www.youtube.com/watch?v=3LnT4_8Titc&t=5924s