Tanyalah pada Ahli di Bidangnya, Bukan yang Banyak Followersnya

 Oleh M. Yusrul Hana  pada 28 November 2022 - 20.54.

Beberapa waktu lalu ada influencer yang sempat menghebohkan jagad maya dengan opininya tentang hukum pernikahan beda agama. Sebenarnya bukan pertama kali beliau membuat heboh, beberapa waktu sebelumnya beliau juga ramai dibicarakan netizen terkait keputusannya soal childfree dalam rumah tangganya.


Saya tidak akan lebih jauh mempermasalahkan preferensi pribadinya, pilihannya soal childfree, ataupun pendapatnya soal nikah beda agama. Alasan pertama karena males dicap "Keminter" dan harus debat sama SJW & alasan kedua sudah banyak referensi baik yang sifatnya bacaan (Qur'an, Kitab & Buku-buku) atau pendapat Kiai/Ustadz/Alim Ulama yang sudah membahas persoalan-persoalan tersebut. Justru yang patut soroti dan terasa aneh bagi saya adalah, kok ada orang yang mengambil pendapat soal nikah beda agama ke orang yang bukan pakar dibidang itu ? Ya pasti akan bias landasan pendapatnya lah.


Kenapa sih masih banyak orang yang suka begitu ? Kalau misal kita bingung dengan suatu hukum (lebih-lebih hukum agama) ya seharusnya bertanya dengan ahli agama, bukan ke influencer. Pun dari sisi yang ditanya seharusnya juga bisa selektif dalam menjawab pertanyaan, jika ada hal-hal yang tidak dikuasai/tidak diketahui secara pasti jawabannya (apalagi terkait hukum dalam agama) hendaknya tidak usah dijawab. Atau, kalau tangannya gatel tetep pengen jawab, ya diperkaya dulu keilmuan dan referensinya, kalau mau main aman sih lebih baik langsung bertanya ke orang yang lebih paham. Perlu diingat betul, hukum agama itu tidak bisa hanya sekedar pakai "In My Opinion".


Iya, saya paham betul pertanyaannya datang dari pribadi, jawaban yang dihasilkanpun adalah pendapat pribadi. Tapi masalahnya influencer yang ditanya dan berpendapat itu punya jutaan followers, yang mana opininya bisa jadi pembenaran hukum bagi mereka yang awam, lebih-lebih dalam kasus ini (sebagaimana gambar terlampir diatas) di kalimat pembukaannya saja tertulis "Setuju sama kak...", itu artinya pendapat influencer tersebut dijadikan pembenaran atas hal yang dilakukan si penanya. Parahnya lagi ada perkembangan opini dari yang awalnya pertanyaan spesifik ke persoalan nikah beda agama malah meluas merembet ke legalitas LGBTQ, inikan kacau.


Hal ini cukup menggelitik saya baik dari pihak penanya yang seharusnya lebih bijak mencari orang untuk bertanya (apalagi kalau pertanyaannya tendensius dan cenderung sensitif) maupun dari pihak yang ditanya (seharusnya memiliki kesadaran dalam memilih mana yang harus dijawab dan mana yang tidak). Sebab sekali lagi, orang awam bisa menjadikan opini "idola" mereka menjadi sebuah pembenaran. Nah, pertanyaan saya berkembang nih, sebenarnya yang dicari dari pertanyaan tersebut itu apasih ? kebenaran atau pembenaran ?


Kalau yang dicari kebenaran, seharusnya merujuklah pada sumber yang shahih dan teruji. Tapi kalau yang dicari pembenaran, ya sudah, pasti selalu ada pendapat dari pihak lain (tanpa memandang siapa dia, seberapa dalam kapasitas keilmuannya) yang bisa digunakan sebagai pembenaran atas segala sesuatu.


Lebih-lebih kalau kita telaah lagi, jawaban "Sang Influencer" agaknya ada beberapa kalimat yang cukup mengganjal. Salah satunya adalah kalimat "Yang penting value kedua belah pihak bisa sesuai".


Lah ? Apakah agama & ajarannya itu bukan termasuk value ? Bagaimana bisa dua orang beda agama bersatu dengan alasan value mereka saling sesuai ? Bagaimana bisa mengkompromikan aqidah yang berbeda dalam satu keluarga ? (Ini pertanyaan ya, bukan pelintiran).


Sebenarnya kalau mau dipaksa bisa-bisa saja, tapi syaratnya adalah agama dikesampingkan & aqidah dinomorduakan. Nah, disitulah titik kritisnya, dalam persoalan ini sebenarnya agama masih digunakan sebagai pedoman atau tidak ? Atau yang lebih dipentingkan adalah asas kebebasan pernikahan dengan siapa saja ?


Sependek pengetahuan saya, Muslim yang berusaha taat seharusnya tidak bisa menerima logika berpikir semacam itu, sebab agama bagi seorang Muslim seharusnya diposisikan sebagai pedoman moral dan nilai.


Saya yakin opini saya juga tidak bisa diterima oleh mereka yang terlanjur terlena dengan pembenaran, saya males debat dengan mereka yang mengaku "open minded" tapi kalau ada orang diluar "circle" mereka berbeda pendapat (khususnya soal yang menyangkut hal-hal kegamaan) selalu dicap kolot, mabok agama, najis baperan dan cap-cap lain yang terkesan childish.


Saya hanya sekadar mengingatkan. Diterima Alhamdulillah, tidak diterima juga terserah. Setidak-tidaknya kewajiban "Amar Ma'ruf" saya sudah gugur, kalau toh anda tidak mau "Nahi Mungkar" ya silahkan (resiko tanggung sendiri).


Untuk yang masih mau mendengar, sekali lagi saya tekankan, apabila ada permasalahan (dalam hal ini persoalan keagamaan), maka bertanyalah pada mereka yang betul-betul paham, bukan ke influencer.


Perlu diingat patokan kebenaran itu bukan di influencer, bukan di banyaknya followers, bukan ! Patokan yang konkret adalah jawaban dari mereka yang betul-betul paham. Spesifik untuk pertanyaan soal agama tanyalah ke mereka yang kompeten, ke Kiai, Ustadz, atau Alim Ulama. Kalau ada kesempatan sowan ke rumahnya atau datangi majelisnya.


Sebagai penutup, ada maqolah yang bagus dari Ibnu Hajar Al-Asqolani :

إذا تكلّم المرء في غير فنّة اتى بالعجاىٔب


" Orang yang kalau bukan dibidangnya itu ngomong (apalagi soal agama), pasti bakal muncul hal-hal 'ajaib' "


(Opini ini disadur dari komentar-komentar di Facebook, story Instagram, maupun Tweet di Twitter tentang persoalan hukum nikah muda versi Influencer)


1 Komentar

Lebih baru Lebih lama