Oleh: Wita Usika Oktaviani (Rayon Bahasa dan Seni), pada Sabtu - 10.25 WIB
Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/ZSuPmo5rJS6ttXfQ9
Jambul itu melenggak-lenggok, mirip dengan tarian dedaunan yang asyik menggesek satu sama lain. Sekitar tiga meter dari pohon glodhokan, ada pohon yang bisa dijadikan tempat persembunyian anak kecil yang bermain petak umpat. Si pemilik jambul membayangkan di balik pohon itu ada Bunda Wewe yang muncul menyapanya. Angin masih setia menyapu permukaan wajah si pemilik jambul, rambut tampan itu menyamai ketampanan bulan di malam hari. Mendesah, si pemilik jambul kembali menggerakkan tangan kirinya, tangan kanannya menopang dagu dia yang sedikit terbelah, kemudian tangan kirinya benar-benar kembali beraksi.
Dipolesnya kanvas tak berdosa itu dengan warna hitam yang pekat, tipis-tipis si pemilik jambul menyisipkan warna merah muda di tepi warna hitam. Melirik warna lain, si pemilik jambul mengambil warna ungu yang telah terkontaminasi oleh warna putih, dia tidak jadi mengambil warna lilac. Pada akhirnya tangan kiri itu mengambil warna merah.
"Heh, saya kira kamu diculik setan, ternyata di sini."
Si pemilik jambul hanya terkekeh, masih sok sibuk dengan karya tangan dirinya, yang bebas memulas kanvas yang ia dapat di bawah meja rias.
"Anda sudah mendapatkan apa?" tanya pria dengan kumis tebal di antara hidung dan bibir tebalnya itu pada si pemilik jambul.
"Mendapatkan ini," jawab si pemilik jambul pelan, sepelan tangan kiri dia yang mengusapkan kuas yang digenggamnya.
Pria berkumis tipis itu meludah, lantaran kesal dia melampiaskannya dengan meludahi kanvas di depannya.
"Warna alami itu, jangan baper," ucap dia terkekeh.
"Sanoto!" geram si pemilik jambul menatap tajam pria berkumis.
"Sudahlah Barata... payu berapa benda burik ini? Sekarang ambil barang-barang yang bisa kita jual dengan harga mahal."
Si pemilik jambul kembali mendesah, dia menyenderkan tubuh kurusnya di punggu kursi yang dia ambil di pojok kamar seorang gadis.
“Kamar ini pasti banyak barang berharganya, itu lihatlah ada foto remaja cantik, pasti dia punya perhiasan dan alat belajar yang canggih-canggih,” gumam pria berkumis sambil menyenderkan tubuhnya gempal yang keberatan membawa tiga lipat daging dibawah dadanya.
“Bara.”
“Hmm.”
“Anda marah?”
Si pemilik jambul mengangkat beban tubuhnya, dia berdiri dan meninggalkan pria berkumis serta hasil lukisannya di balkon kamar. Dia mulai melancarkan aksinya, menghabiskan semua barang-barang berharga yang dapat dijual dengan harga tinggi. Tas yang tingginya hampir sama dengan anak berumur 7 tahun itu sudah penuh barang curian. Ya, Sanoto dan Barata adalah perampok, merampok rumah-rumah mewah yang tengah ditinggal penghuninya. Mereka merampok setiap musim sukacita—di mana orang-orang tengah merayakan tahun baru di alun-alun kota. Mereka memaling tidak setiap ada kesempatan, mereka hanya membutuhkan waktu satu malam untuk menunaikan list-list rumah yang telah disematkan selama beberapa bulan sebelum berselancar.
Sudah ada empat rumah yang mereka lahap, dari sorot mata Sanoto dan Barata sudah ada coretan lelah, tetapi di catatan kertas lecek yang Sanoto genggam masih ada empat rumah yang harus mereka kunjungi malam ini. Di bawah pohon monoon longofolium tadi, Barata meletakan tas yang berisi barang hasil curian. Sanoto yang kebingungan hanya melihat saja, sabar menunggu dan beranggapan bahwa rekan kerjanya tengah sedikit kepayahan membawa harta rampokan.
Barata melihat ke atas, meski malam hari, dia mampu melihat ada duri yang tak begitu lancip di atasnya, duri-duri itu menguatkan asumsi Barata, bahwa pohon di samping pohon glodhokan adalah pohon durian.
“Saya mau durian ini, Pak.”
“Orang gila mana yang mau durian langsung dari pohonnya? Gak bisa, kita beli saja nanti sekalian dengan tokonya.”
“Kita bukan pembeli, kita pencuri sekarang, Pak,” jelas Barata mengingatkan Sanoto.
Sanoto membuang napas gusar, dia mendekati Barata seraya menjelaskan padanya sekaligus memberi peringatan.
“Jangan bodoh, masih ada empat rumah lagi. Hasratmu makan durian, hambat dahulu. Saya janji besok pagi pulang dari kota ini akan membawakanmu lima durian ke rumah.”
Barata berdecak tak setuju. “Barang curian lebih lezat, Pak. Beda kalau beli. Itulah jiwa pencuri,” jelas Barata.
“Tapi Bar… kalau Anda tetap mau durian, mungkin subuh nanti duriannya baru jatuh. Anda mau memanjat? Yang ada Anda tidak bisa turun dan kita ketahuan maling,” jelas Sanoto memperlihatkan sikap bijaknya.
Barata patah hati, tadi tidak jadi melukis, kini dia juga tidak boleh makan durian. Barata menggendong kembali tas, kini mereka berdua kembali berjalan meninggalkan rumah mewah itu, yang dindingnya tersusun dari dua bahan, semen bercat coklat susu dan kayu jati yang beberapa diukir dengan begitu dalam pahatannya, menandakan sangat mahal membelinya. Sanoto dan Barata sempat berunding untuk mengambil dinding tersebut, tetapi tidak terlaksana sebab akan merepotkan mereka. Padahal mereka sangat nafsu mencurinya.
Sudah ada ribuan langkah kaki Sanoto dan Barata tempuh, semua terwujud, delapan rumah sudah berhasil mereka rampok. Saat adan subuh berkumandang, mereka menepi sebentar untuk menunaikan kewajiban.
Tidak seperti biasanya, Sanoto mengusap wajahnya beberapa kali padahal doa sudah selesai.
“Bar… saya mau merem sebentar, tidak tahu kenapa awal tahun saya jadi mengantuk berat, biasanya tidak ….”
Barata mengangguk mempersilakan orang yang lebih tua darinya itu untuk merehatkan badan di serambi masjid. Barata duduk senderan sambil menghitung dalam batin sandal-sandal milik jamaah. Ada dorongan untuk mencuri, tetapi ia ingat bahwa harga sandal mungkin hanya cukup untuk membeli pulsa lima ribu di konter.
Entah serangan dari arah mana, Ketika angin fajar menyapu permukaan wajahnya yang masih lumayan basah atas bekas air wudu, Barata ikut terlelap tanpa ada halangan lagi. Mungkin jika Sanoto melek, dia dilarang tidur.
***
“Mohon maaf, dengan berat hati kami memutuskan tidak menjemut Anda dan rekan Anda. Keputusan ini sudah kami diskusikan dengan pimpinan, dalam undang-undang telah dituliskan bahwa maling tidak akan dijemput dengan kondisi diantaranya yaitu pertama tertangkap, kedua tidak mendapatkan hasil, ketiga kabur tidak ada kabar.”
“Tapi kita maling yang kemalingan, Bos. Tidak ada dalam undang-undang,” jawab Sanoto dengan deru napas menggebu-gebu. Tidak terima mendengar keputusan dari seberang panggilan seluler di wartel, jika Sanoto bisa melihat wajah orang itu, pasti dia sudah sejak tadi meninjunya.
“Jemput kami, Bos. Kami tidak punya harta lagi, sepeser pun. Kami—”
Hening, panggilan terputus karena masa sudah habis. Sanoto membenturkan keras kakinya melampiaskan kesal, Barata terkejut melihat kobaran marah dari Sanoto.
“Taik! Uangku sudah habis,” geram Sanoto.
Barata yang sudah paham atas masalah apa yang tengah dihadapi, mencoba tetap tenang. Dia melihat ke arah depan, pemandangan macet kota Semarang akibat aktivitas yang banyak menggunakan kendaraan bermotor. Ada anak SMA yang hendak berangkat sekolah, tenaga pendidik yang berangkat ke kampus, mahasiswa yang segar bugar dan tenaga kerja yang suntuk mencoba tetap semangat kerja demi keluarga.
Atas keramaian tersebut, tiba-tiba terlintas gambar pohon Durian di benak Barata, bau air got yang sejak tadi bersemayam di pangkal hidung kini sontak berganti menjadi aroma durian yang menggugah hasrat.
“Pak San, aku menagih janjimu, pagi ini katanya akan membawakan lima buah Durian,” tagih Barata membuat Sanoto semakin merah wajahnya, rambut diantara hidung dan bibir tebalnya itu berpotensi rontok atau mungkin saja terbakar.
“Anda mau saya bunuh?” tanya Sanoto.
“Bukan … saya mau durian.”
Jika tidak ramai, jika tidak di depan jalan raya, hari ini Barata sudah mati ditangan Sanoto.
“Tenang Bapak San … mari kita serius ambil buah Durian, terus kita jual, dan kita kumpulkan uang itu untuk ongkos pulang.”
Sanoto kini kembali membuang ludahnya, kini ludah itu jatuh di got yang tak jauh dari mereka berbincang.
“Tak sudi saya pulang ke kota asal, kita sukses di Semarang saja.” Sanoto sudah jenuh dengan pekerjaanya, mungkin.
“Wah tidak bisa begitu Pak, saya punya pujaan hati di Jogja, saya tidak kuat LDR lama.”
Sanoto merenung, benar juga. Dia juga punya rutinitas setiap sore Kamis untuk ziarah ke makam Ibu dan Bapak kandungnya yang sudah meninggal 25 tahun lalu dan punya tanggungan lain di sana.
“Ya sudah, ayo kita ambil Durian dan kita jual.”
“Em … tapi kita berdua sudah tidak jadi maling pagi ini, kita harus negosiasi dahulu dengan pemilik rumah itu.”
Sanoto setuju, dia kembali membaik. Tetapi masih berat hati mendapat musibah kemalingan pagi ini. Dua tas yang tinggal disetorkan ke Jogja, malah dimaling sehingga menjadikan mereka terjebak di kota kiriman. Ya, mereka berdua adalah maling yang bekerja dibawah perintah orang lain. Pimpinan mereka tidak belas kasih, padahal mereka sedang dilanda musibah yang tak pernah mereka duga.
Mereka kembali ke rumah itu dengan jalan kaki, belum sempat sarapan bahkan meneguk air sedikit pun.
“Kalau begini, aku sudah tidak mau bekerja sama Bos,” curhat Sanoto.
“Tujuanmu sendiri bekerja untuk dia karena apa, Pak? Mengingat masih ada pekerjaan lain yang lebih menjamin dan pastinya halal.” Barata menanggapi.
“Karena kerjanya cuman di akhir tahun, cuman satu malam pula, tapi untungnya selama satu tahun, dijamin satu tahun dan itu tidak kerja sama sekali selama satu tahun, itu tujuan saya agar bisa mengurus anak saya yang lumpuh.”
Barata hanya mengangguk paham, dia tidak tahu banyak tentang Sanoto sebagai rekan kerjanya tahun ini. Setiap tahun, Barata mendapat rekan kerja yang berbeda. Tahun lalu, dia bersama seorang pria berumur 65 tahun. Mengingat masa itu, membuat Barata lebih bersyukur di hari ini—masalah tahun lalu lebih membuat Barata kehabisan akal ketimbang masalah tahun ini. Waktu itu, pria berumur 65 tahun itu sudah tidak begitu kuat membawa hasil barang curian, dan jalannya begitu lamban. Sehingga hasil mereka sedikit dan hanya ada tiga rumah saja yang terselesaikan dengan dua tas anak sekolah yang tidak penuh isinya.
Tahun ini masalahnya dia kemalingan, rasanya ingin mengambrukan Monas, tapi itu bukan solusi. Barata dan Sanoto sudah berunding dengan pemilik rumah yang tengah mengaduh kemalingan.
“Pak, saya menawarkan jasa, bagaimana jika Bapak berkenan menjual buah Durian itu, nanti hasilnya kita bagi dua? Jadi, sebenarnya Bapak masih punya harta, ada Durian itu kalau di jual dan diinovasikan menjadi sumber harta Bapak,” jelas Batara kali ini pandai berkata.
Untungnya, Sanoto dan Barata direkrut oleh pemilik rumah itu. Membantu menjual durian, dan mengolah beberapa durian untuk dijadikan modal jualan. Inovasi tersebut berjalan mulus, dagang mereka laku keras sehingga berniat menanam pohon Durian lagi. Tetapi, sebelum berbuah Durian mereka sudah pulang ke Jogja sehingga pemilik rumah itu yang mengelola dan kembali kaya raya.
Ya, berkat ide cemerlang Barata dan Sanoto, mereka sama saja mengembalikan harta pemilik rumah, jadi sudah kembali kaya dan mereka juga sudah kembali ke Jogja, gara-gara Maling Kemalingan.
---Tamat---
Tags:
Cerpen