Bagaimana Cara Bersyukur?

 Oleh Wita Usika Oktaviani (Rayon Bahasa dan Seni, PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Jum'at, 7 Februari 2025, 20.05 WIB


Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/iH7w7duoLKKxxaim6


Menjadi mahasiswa adalah anugerah yang tidak semua orang mendapatkannya. Duduk di bangku perkuliahan merupakan satu kesempatan yang paling berharga. Membayar biaya kuliah yang mahal serupa memerah pohon karet, melunasinya ditebus dengan keringat darah, memperjuangkannya dengan air mata, mempertahankanya dengan suka duka. Itu yang Denien rasakan dan hadapi dengan kedua mata terus berkaca-kaca. 

Disaat semua teman Denien berebut pemesanan SKS mata kuliah, memperdebatkan memilih dosen dan kelas, pamer IP semester, hanya Denien yang merasakan bahwa sebaiknya dia berhenti saja untuk melanjut kuliah, untuk merajut mimpinya, untuk meraih cita-citanya. 

“Nduk ….” 

Gadis dengan hijab coklat susu yang selalu membalut mahkotanya itu sesegera mungkin menghapus jejak air mata di kedua pipinya, mencoba menarik kedua sudut bibir, tersenyum palsu. 

“Ya Mak?” tanya Denien menoleh. 

“Kamu kenapa? Malam-malam kok ngelamun di luar. Gak bagus gadis ayu!” tegur perempuan tua dengan umur 54 tahun. 

“Ini nyari udara seger, sumpek di dalam rumah.”

Mak Tasinem itu menghela napas panjang, dia ikut duduk di samping Denien kemudian menarik pelan kepala cucunya untuk bersandar di tubuhnya. Tangisan kembali pecah, di sela-sela tangisan Denien menyempatkan mengendus aroma khas tubuh Nenek. 

“Kenapa lagi to?” tanya Mak Tasinem baik hati, bagi Denien Mamak adalah orang yang paling paham perasaanya, orang yang paling mengerti situasinya. 

“Gimana kuliah Denien? Temannya suka jahil?” tanya Mak Tasinem, kembali mendapat gelengen dari Denien. Mak Tasinem tidak mau memaksa, akhirnya meminta Denien untuk tidur agar tenang.

Pagi hari, Denien sudah mengekor di belakang Mak Tasinem keliling pasar. Denien membantu membawakan barang jualan Mak Tasinem yaitu menjual kacang tanah, perkilo dijual dengan harga yang menurut Denien itu hanya cukup untuk beli makan siang saat dirinya berada di kota rantauan. Tetapi, nyatanya Mak Tasinem selalu memberi uang saku padanya. Mak Tasinem seperti tidak pernah kehabisan harta. 

“Kamu masuk sekolah kapan, Nduk?” tanya Mak Tasinem sambil menggelar layar untuk alas duduk. 

“Tanggal 10 Mak,” jawab Denien. 

“Kurang berapa hari itu? Hari ini memang tanggal berapa, ya?” tanya Mamak, maklum faktor umur. 

“Tanggal enam Mak.” 

Mak Tasinem menghitung jari, “Oh, ya berarti kurang 4 hari lagi Nduk,” ungkap Mak Tasinem sambil duduk, mulai membuka barang dagangannya. 

Denien hanya tersenyum tipis kemudian ikut duduk di samping Mak Tasinem. “Terus kamu ke sini kok tiba-tiba? Ada masalah Nduk?”

Denien menghela napas lelah, dia kemudian mengangguk. “Ya sudah, Mamak gak maksa kamu buat cerita. Intinya besok pulang, pasti Bapak Ibu nyariin kamu.” 

Gadis mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra itu hanya tersenyum tipis, masih belum bisa membeberkan masalahnya kepada Mak Tasinem. Tetapi, Denien lagi-lagi tidak bisa memberontak, jangankan berontak, menolak saja Denien pikir-pikir lagi. Yang hanya bisa ia lakukan sekarang adalah menuruti permintaan Mak Tasinem. 

Pulang dari pasar, Denien sebisa mungkin mengusir kegundahan hatinya, dia manfaatkan untuk membuat roti brownies—karena Mak Tasinem pasti suka. Selesai berbelanja bahan-bahan, Denien langsung terjun ke pawon (dapur) Mak Tasinem. Di dapur ini masih menggunakan tangku tradisonal yang hanya mampu menyala ketika ada kayu kering diguyur solar kemudian tersulut api. Tetapi karena memasak brownies tidak menggunakan api besar, Denien  meminjam kompor milik Bude Darmi—rumahnya gabung dengan rumah Mak Tasinem, jadi mereka berdua satu atap dapur. Hanya saja, Mak Tasinem tidak menggunakan kompor gas ketika masak, sebab itu milik Bude, yang membeli gas juga Bude. 

“Walah, ini pasti ini kalau ada aroma manis-manis gini!” 

Denien tersenyum bahagia mendengar suara Bude memujinya. Kalau begini, dia tidak ingin pulang karena di rumah ini lah Denien merasa dihargai dan dianggap ada. Perempuan dengan tubuh sedikit membungkuk itu tersenyum ke arah Denien yang tengah mencuci tangannya yang licin karena margarin. 

“Mending kamu to sekolah masak, orange pinter masak kok masuk kuliah jurusan bahasa Inggris, sastra malah,” omel Bude berpihak pada Denien.

“Gak papa Bude, ‘kan nantinya masak di luar negeri, harus bisa bahasa Inggris,” jawab Denien bertolak belakang dengan suara hatinya. 

“Alah, duwur-duwur ngopo? Kenapa tinggi-tinggi kalau mimpi? Kamu itu ya, titisan Bapakmu emang, terlalu maksa!” kata Bude, Denien ingin menyanggah tetapi dia tidak mampu. 

“Ini, pakai buat jajan. Kamu loh jadi kurus semenjak kuliah, ojo diet!” kata Bude sambil memasukkan secara paksa selembar uang di saku baju Denien. 

Denien tersenyum, menahan tangis. Dia sebenarnya ingin memeluk Bude Darmi, tetapi entah seperti ada pembatas goib yang mengahalangi niat baiknya. 

“Nanti Rando gimana Bude? Buat uang jajan Rando aja,” kata Denien berusaha mengembalikan uang pemberian Bude.

“Wes wes! Rando ki bocah sembarang panganan doyan!” tolak Bude.

“Lanjutkan masak rotinya, Bude tunggu di belakang.”

Denien mengangguk patuh, “tinggal matang aja kok Bude. Nanti aku panggil, kita makan bareng sama Mamak dan Rando,” jawab Denien. 

Tuntas dari kesibukan di dapur. Denien kembali merasakan kehangatan saat berada di tengah-tengah keluarga dari ibunya. Senyum Mak Tasinem menunjang semangat Denien, tawa lepas Bude Darmi memicu kebahagiaan Denien, dan melihat Rando lahap makan membuat Denien merasa dihargai. Brownies buatannya habis ludes. Rasanya Denien ingin kembali memasak untuk mereka bertiga, tetapi sekarang waktunya adalah pulang. 

Denien pulang menaiki kereta antarlokal. Berat sekali meninggalkan halaman di mana dia dilahirkan. Ya, Denien harus merantau bersama kedua orang tuanya, dan kuliah di dekat rumah. Kesehariannya hanya di kampus, di rumah dan tidak bergairah untuk bermain karena tuntutan dari orang tua. 

“Dari mana saja kamu?” Itulah pertanyaan yang langsung Denien terima dari Bapak. 

“Kamu itu anaknya siapa? Mau nurun ke siapa? Bapak apa pernah gak pulang rumah sampai berhari-hari? Ibumu apa pernah keluyuran? Cuman kamu yang nakal. Kamu mau? Anakmu nanti juga tambah nakal dan membantah? Kamu sebenarnya mau apa? Kuliah sudah kuliah, belajar tinggal belajar, masih aja nakal, masih aja nilainya buruk!” 

Muntah, sudah kenyang Denien melahap paksa pertanyaan-pertanyaan itu. Intonasi, cara bicara, dan tatapan kedua orang tuanya seperti penjara yang menyiksa bagi Denien. 

“Dari mana kamu, Nak?” Suara Ibu membuat Denien mendongak. 

“Baleran,” jawab Denien lirih. 

“Kamu itu otaknya gak bisa mikir, ya? Kamu nambah pikiran Mamakmu, di sana pasti kamu makan, kamu jajan, kamu pasti juga dapat uang dari Bude, kan?! Balik ke rumah pakai apa? Gak mungkin jalan kaki, kan?! Pasti naik kereta, uang lagi, biaya lagi! Kamu ini emang suka nyusahin orang!” damprat Ayah habis-habisan. 

“Ada apa sih ini kok ribut-ribut?” tanya seseorang dari arah lantai atas, dia memiliki paras cantik dan gingsul, namanya Nadien, saudari kembar Denien. 

“Ajari adik kamu! Bagaimana caranya bersyukur!” jawab Bapak kemudian pergi dari ruang tamu. 

“Anak sudah disekolahkan sampai tamat, sudah dipilihkan jurusan yang tepat, kuliah tinggal kuliah, belajar ya belajar. Masih aja nyari geger, mau dia apa sih?!” omel Bapak masih berkelanjutan. Untungnya pintu kamar berbaik hati, membungkam suara Bapak. 

Denien menunduk, kedua kakinya lemah. Ibu pergi meninggalkan Denien, tak lama dari itu Nadien turun dari lantai atas, menghampiri saudarinya.

“Kalau lo gak niat kuliah, lo gak betah di jurusan lo, mending berhenti dan kerja aja deh, Den. Bantu Ibu di dapur, ngurangin beban Bapak,” ungkap Nadien. 

Denien mendongak, menatap tajam saudari kandungnya. “Kalau lo mau, ajari gue gimana bersyukur, Nad,” ungkap Denien dengan tersenyum sakit.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama