Pendahuluan
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar utama demokrasi yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang jujur, kritis, dan tidak berpihak. Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini kerap kali mendapat ancaman, baik dalam bentuk sensor, tekanan politik, hingga aksi teror. Menurut laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang tahun 2023 terdapat puluhan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, termasuk intimidasi fisik dan ancaman hukum yang bertujuan membungkam suara kritis (AJI Mandar, 2023). Kasus terbaru yang menimpa kantor Tempo.co, di mana mereka menerima kiriman kepala babi dan bangkai tikus, menjadi bukti nyata bahwa ancaman terhadap kebebasan pers masih berlangsung di Indonesia (Adyatama et. al dalam Tempo.co, 2025). Freedom House juga mencatat bahwa Indonesia memiliki skor kebebasan pers yang terus menurun akibat meningkatnya tekanan politik terhadap media (Freedom House, 2023). Aksi ini bukan sekadar vandalisme atau bentuk kebencian spontan, tetapi mengandung pesan tersirat yang bertujuan untuk mengintimidasi dan membungkam media kritis.
Dalam kajian komunikasi dan ilmu sosial, simbol-simbol yang digunakan dalam aksi teror ini tidak bisa dipandang sebagai sekadar benda mati. Setiap tanda memiliki makna yang lebih dalam, yang dapat diungkap melalui pendekatan semiotika. Dalam hal ini, pemikiran Roland Barthes sangat relevan untuk mengurai makna tersembunyi di balik simbol kepala babi dan bangkai tikus tersebut (Kholid, 2025).
Barthes (1957) membagi makna tanda ke dalam tiga tingkatan, yakni denotasi (makna literal), konotasi (makna emosional dan ideologis), serta mitos (makna yang telah dikonstruksi dalam budaya masyarakat). Dengan menggunakan teori ini, kita dapat menganalisis bagaimana teror ini tidak hanya merupakan ancaman fisik, tetapi juga bagian dari mekanisme kontrol sosial terhadap kebebasan pers.
Esai ini akan membahas teori semiotika Barthes secara mendalam, lalu menerapkannya pada kasus teror terhadap Tempo.co, serta mengungkap bagaimana tanda-tanda dalam aksi tersebut membentuk narasi tertentu dalam konteks politik dan kebebasan pers di Indonesia.
Semiotika Roland Barthes: Denotasi, Konotasi, dan Mitos
Roland Barthes (1915–1980) adalah seorang filsuf, kritikus sastra, dan ahli semiotika asal Prancis yang memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana makna dikonstruksi dalam masyarakat. Barthes mengembangkan gagasan bahwa tanda tidak hanya memiliki makna literal (denotasi), tetapi juga makna yang lebih dalam yang dipengaruhi oleh budaya, ideologi, dan politik (konotasi dan mitos) (Kurniawan. 2001).
Dalam bukunya Mythologies, Barthes (1957) mengkaji bagaimana simbol dalam budaya populer digunakan untuk menyebarkan ideologi tertentu. Ia menyoroti bahwa tanda dalam komunikasi sosial tidak pernah netral, selalu ada kepentingan yang bekerja di baliknya untuk membentuk cara pandang masyarakat terhadap realitas.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda dan cara tanda tersebut menghasilkan makna dalam suatu masyarakat. Roland Barthes adalah salah satu tokoh kunci dalam pengembangan teori semiotika modern. Ia memperluas konsep Ferdinand de Saussure tentang tanda, dengan menambahkan analisis mengenai konotasi dan mitos (Kurniawan, 2001).
Menurut Barthes (1957), tanda terdiri dari penanda (signifier), yaitu bentuk fisik dari suatu objek, dan petanda (signified), yaitu konsep atau makna yang dikaitkan dengan tanda tersebut. Barthes membagi makna tanda menjadi tiga tingkatan utama, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos.
Tingkatan yang pertama, yaitu denotasi. Denotasi adalah makna literal atau objektif dari suatu tanda, yang umumnya diterima secara universal. Sedangkan pada tingkatan kedua yaitu konotasi. Konotasi adalah makna tambahan yang muncul dari interpretasi sosial, budaya, dan ideologis suatu tanda. Pada tingkatan yang ketiga yaitu mitos. Makna adalah makna yang sudah menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat, yang sering kali digunakan untuk membentuk cara berpikir publik terhadap suatu isu (Barthes dalam Kurniawan, 2001).
Dalam konteks politik dan budaya, Barthes berpendapat bahwa mitos sering kali digunakan oleh kelompok dominan untuk mengontrol narasi dan mempengaruhi cara masyarakat memahami realitas. Dengan kata lain, mitos adalah alat ideologis yang tidak disadari oleh banyak orang, tetapi sangat efektif dalam mengendalikan opini publik (Barthes, 1957).
Dalam kasus teror terhadap Tempo.co, kepala babi dan bangkai tikus tidak hanya merupakan benda fisik, tetapi juga bagian dari sistem tanda yang memiliki makna lebih dalam. Dengan menggunakan pendekatan Barthes, kita dapat memahami bagaimana benda-benda ini digunakan untuk menciptakan ketakutan, memperkuat hegemoni kekuasaan, dan membatasi kebebasan pers melalui mekanisme simbolik (Kholid, 2025).
Analisis Denotatif: Kepala Babi dan Bangkai Tikus sebagai Objek Fisik
Pada tingkatan denotasi, kepala babi dan bangkai tikus hanya dipahami sebagai objek fisik biasa. Kepala babi secara literal adalah bagian dari tubuh babi yang telah dipotong, sementara bangkai tikus adalah sisa tubuh tikus yang sudah mati. Jika dipisahkan dari konteks sosialnya, kedua benda ini tidak memiliki makna lain selain sebagai sisa hewan yang dibuang.
Namun, karena kepala babi dan bangkai tikus ini dikirimkan ke kantor media, benda-benda tersebut tidak bisa dilihat hanya sebagai objek tanpa makna. Pengiriman ini sudah menunjukkan adanya niat dan tujuan tertentu dari pihak yang mengirimkannya, sehingga perlu ditelusuri lebih dalam pada tingkat konotasi.
Analisis Konotatif: Ancaman dan Intimidasi terhadap Media
Pada tingkatan konotasi, kepala babi dan bangkai tikus mulai memiliki makna yang lebih luas karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Dalam banyak masyarakat, babi sering dikaitkan dengan konsep najis, kotor, dan tidak pantas. Dalam konteks ini, pengiriman kepala babi bisa diartikan sebagai pesan penghinaan atau pelecehan terhadap penerima ancaman. Ini seolah-olah memberikan pesan bahwa Tempo dianggap sebagai sesuatu yang "kotor" atau "hina" oleh pengirim teror.
Sementara itu, tikus sering dikaitkan dengan pengkhianatan, korupsi, dan pembusukan moral. Dalam dunia kriminal, bangkai tikus yang dikirim ke seseorang bisa menjadi peringatan bahwa orang tersebut dianggap sebagai "pengkhianat" dan bisa mengalami nasib yang sama. Dalam konteks Tempo.co, bangkai tikus bisa bermakna sebagai ancaman terhadap kebebasan pers, menyiratkan bahwa media yang terlalu kritis bisa "dimusnahkan" seperti tikus yang dianggap hama. Dengan kata lain, tindakan ini bukan sekadar vandalisme, tetapi memiliki tujuan psikologis yang sangat jelas: menciptakan ketakutan, membungkam suara kritis, dan mengendalikan wacana publik melalui teror simbolik.
Analisis Mitos: Teror sebagai Mekanisme Kontrol Sosial
Pada tingkatan mitos, kepala babi dan bangkai tikus tidak lagi sekadar alat ancaman terhadap Tempo.co, tetapi merupakan bagian dari pola historis dalam pembungkaman pers. Sejarah Indonesia mencatat bahwa intimidasi terhadap media telah terjadi sejak zaman Orde Baru, di mana kebebasan pers dikekang melalui ancaman, sensor, dan represi.
Mitos yang terbentuk dari kasus ini adalah bahwa kekuasaan selalu memiliki cara untuk membungkam mereka yang dianggap mengganggu kepentingan tertentu. Masyarakat mulai menerima bahwa "teror terhadap media adalah hal biasa" dan bahwa "media harus tahu batasnya agar tidak mendapat ancaman." Dalam jangka panjang, mitos ini dapat menimbulkan self-censorship, di mana media mulai membatasi diri mereka sendiri dalam memberitakan suatu isu karena takut mengalami hal serupa.
Dengan kata lain, kepala babi dan bangkai tikus menjadi bagian dari mekanisme kontrol sosial yang lebih besar, di mana ancaman terhadap satu media berfungsi sebagai pesan peringatan bagi media lainnya. Ini bukan sekadar serangan terhadap Tempo, tetapi juga terhadap prinsip kebebasan pers secara keseluruhan.
Kesimpulan
Melalui analisis semiotika Roland Barthes, kita dapat memahami bahwa pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor Tempo.co bukanlah tindakan acak, tetapi merupakan komunikasi simbolik yang sarat dengan makna politik dan psikologis.
Pada tingkat denotasi, benda-benda ini hanyalah objek fisik biasa. Pada tingkat konotasi, mereka menjadi alat penghinaan dan ancaman terhadap media. Dan pada tingkat mitos, mereka mencerminkan pola kontrol sosial yang digunakan untuk membungkam kebebasan pers.
Dengan memahami makna tersembunyi di balik tanda-tanda ini, kita dapat lebih kritis dalam menilai bagaimana teror terhadap media tidak hanya terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga dalam bentuk simbolik yang lebih halus, tetapi tetap mematikan.
--------------------------------------
REFERENSI
Adyatama, E., Girsang, V. I., Muzzaki, M. R., & Yanuar, Y. (2025, Maret 24). 4 Hari 3 Teror Dialami Tempo: Paket Kepala Babi, Bangkai Tikus, dan Doksing Wartawan. Tempo.co. https://www.tempo.co/hukum/4-hari-3-teror-dialami-tempo-paket-kepala-babi-bangkai-tikus-dan-doksing-wartawan--1223881. (Diakses pada tanggal 26 Maret 2025).
AJI Mandar. (2023, 26 Januari). AJI Mandar Kecam Pelecehan Terhadap Jurnalis Perempuan, Yang Dilakukan Orang Tak Dikenal. Aliansi Jurnalis Independen. https://aji.or.id/informasi/aji-mandar-kecam-pelecehan- terhadap-jurnalis-perempuan-yang-dilakukan-orang-tak-dikenal. (Diakses pada tanggal 26 Maret 2025).
Barthes, R. (1957). Mythologies. Paris: Éditions du Seuil.
Freedom House. (2023). Freedom in the World 2023: Indonesia. https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2023. (Diakses pada tanggal 26 Maret 2025).
Kholid, H. (2025, Maret 23). Semiotika Teror "Kepala Babi" dan "Bangkai Tikus". Kompasiana. https://www.kompasiana.com/kholidharras9397/67e01271c925c478d32ffe72/semiotika-teror-kepala-babi-dan-bangkai-tikus. (Diakses pada tanggal 26 Maret 2025).
Kurniawan, A. (2001). Teori Semiotika Roland Barthes. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada.