Kalian pernah melihat Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang sering berkantor di balai desa? Aparatur non-sipil dengan loreng hijau yang sering hadir dalam acara-acara formal desa, dan terkadang hadir dalam hajatan masyarakat lokal desa. Pada kenyataannya, mereka memang masuk dalam struktur kepengurusan desa sebagai bagian dari pengawas dan penasehat dari kepala desa yang menjabat. Mereka dipercaya sebagai jembatan komunikasi bertingkat yang bertugas mengawasi dan menjaga integritas persatuan bangsa di ranah desa. Mereka adalah bagian dari Komando Teritorial (KT) Angkatan Darat yang memiliki hierarki bertingkat sampai level nasional. Jadi bisa dibayangkan bagaimana mengakarnya entitas militer ini sampai bisa masuk ke dalam desa, skup terkecil dalam kehidupan berwarganegara.
Revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang penuh kontroversi dan tipu muslihat tentunya membuat kita berpikir kembali tentang segala hal yang ada disekitar kita, terutama yang berhubungan dengan militer. Sebagai masyarakat desa, saya sedikit gundah dan bertanya-tanya (terkadang sambil menggaruk kepala), apa sebenarnya tugas mereka (para babinsa itu), atau apa sih guna mereka. Tak ada satupun ancaman yang begitu berarti dari sipil, pemberontakan?, sepertinya itu pun hanya terjadi di Papua Pegunungan, pun masyarakat tak berada dalam keadaan siaga perang melawan bangsa lain di luar sana. Lalu apa yang membuat mereka mengurusi hajat masyarakat sipil desa.
Dalam beberapa kasus bahkan mereka datang dan wajib diundang dalam hajat desa, pesta pernikahan, acara ngunduh mantu, slametan panen raya, atau yasinan rutin malam jumat. Tugasnya hanyalah satu, menjaga kondusifitas desa dan keamanan masyarakat sipil. Walaupun hanya datang, duduk manis lalu menyeruput kopi ABC susu dan pamit pulang sembari membawa bungkus plastik hitam berisi nasi dan beberapa bahan pangan pokok. Masyarakat dan aparatur desa harus dan wajib hukumnya untuk melaporkan segala acara yang akan terselenggara. Melapor kejadian-kejadian terkini, kasus-kasus kriminal remaja tanggung, musyawarah rencana pembangunan desa, musyawarah desa, atau bahkan penyaluran bantuan sosial (bansos) kepada tua renta dan masyarakat miskin. Lembaran undangan rapat-rapat desa haruslah tertuju pula kepada mereka sebagai salah satu elemen masyarakat desa yang suaranya cukup dipertimbangkan.
Sadarkah bahwa apa yang mereka lakukan selama ini sebenarnya nggak penting penting amat. Tupoksi yang mereka jalani tak seharusnya mengurusi urusan sipil, mereka seharusnya berhadapan dengan serangan militer asing di perbatasan selat Malaka atau di hutan belantara Kalimantan. Tugas mereka adalah menjaga kedaulatan negara dari ancaman tentara asing dan memastikan tentara asing mengganggu stabilitas teritori negeri ini. Oleh karenanya, menjadi sebuah pertanyaan besar kenapa militer bisa sampai masuk ke dalam desa, bahkan menjadi salah satu komponen wajib yang mengisi ruang-ruang struktural desa. Sebegitu pentingkah keberadaan mereka sampai harus turut terlibat dalam banyak hajat dan urusan masyarakat sipil.
Tahun 1950-an: Di mana Semua Bermula
Pertanyaan diatas mempunyai jawaban historis dan kita perlu menarik garis kebelakang untuk melihat bagaimana kebijakan anti agresi militer di tahun 1950-an bisa menjadi bibit-bibit militerisme di Indonesia. Gagasan KT memang muncul pada rentang waktu tersebut, dibawa oleh kolonel Abdul Haris Nasution dan terinspirasi dari ‘Teritorial War’ yang menjadi strategi gerilya Yugoslavia pada perang dunia kedua. Keadaan serba sulit yang melanda Indonesia pada masa pasca kemerdekaan, vivere pericoloso, tentunya turut memaksa para petinggi militer untuk memutar otak dalam menangkal ancaman agresi belanda. Mobilisasi masif tentara di berbagai wilayah teritorial menjadi salah satu strategi yang dipilih. Harapannya, pertahanan teritorial bisa menjadi salah satu benteng kokoh negara ini dari ancaman agresi tentara asing. Tujuan awal dibentuknya struktur KT tak terlepas dari konteks tersebut.
Singkat cerita ancaman agresi dari luar negeri tersebut memang tak pernah datang, tetapi struktur KT sudah terbentuk sedemikian kuatnya. Mulai dari Komando Daerah Militer (Kodam) yang bertugas dalam level provinsi, sampai Babinsa yang ditugaskan di seluruh penjuru desa, bekerja dan menjadi corak militerisme tersendiri di Indonesia yang jarang ditemukan di negara lain, terutama di Asia Tenggara.
1965: Genosida Partai Komunis Indonesia
Tragedi G30S menjadi salah satu memori kelam bangsa ini. Masih terjadi banyak perdebatan siapa dalang dari tragedi tersebut atau apa sebenarnya yang terjadi pada malam 30 September 1965. Benedict Anderson dalam Cornel Paper menuturkan bahwa kejadian tersebut adalah konflik internal tentara angkatan darat. Versi lainnya menyebutkan bahwa ada upaya kudeta yang disokong oleh CIA untuk menumbangkan rezim Soekarno yang terkenal sangat dekat dengan ideologi sosialisme pada saat itu. Semua argumentasi tersebut masih sangat bisa diperdebatkan.
Kita masih sering terlena dan asik berdebat tentang kebenaran dibalik kejadian G30S, sampai kita lupa bahwa yang seharusnya terus diperbincangkan atau menjadi topik utama bukanlah itu, tetapi seharusnya adalah apa yang terjadi setelah tragedi G30S. Yang selanjutnya terjadi adalah salah satu pembantaian massal terburuk dalam sejarah modern manusia pasca perang dunia kedua dimana ada lebih dari 3 juta masyarakat yang dibunuh tanpa melalui proses hukum. Mereka adalah anggota dan tertuduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diberanguskan, terpinggirkan dan tersisihkan dalam sejarah Indonesia.
Fakta yang cukup mencengangkan adalah militer turut terlibat aktif dalam proses-proses genosida tersebut. Instruksi tersebut turun langsung dari sang jendral tersenyum, Soeharto, kepada seluruh tentara di penjuru negeri. Komando Teritorial yang sudah tersusun sedemikian terstrukturnya menjadi salah satu pion penting dalam proses pembantaian tersebut. Dengan dalih menjaga keamanan sipil dari ancaman kudeta, mereka-mereka yang tergabung dalam organisasi underbow PKI dijemput paksa, dinaikan ke dalam truk-truk militer lalu di tembak mati. Sebuah kisah pilu nan tragis yang masih jarang diperbincangkan, tak masuk dalam kurikulum pengajaran di sekolah-sekolah formal negeri ini. Tragis!.
1998: Tumbangnya Orde Baru
Setelah 32 tahun penuh dengan teror akhirnya bermuara, Soeharto turun dari tampuk kekuasaannya, reformasi digaungkan. Salah satu semangat yang dibawa oleh demonstran pada saat itu adalah ‘kembalikan tentara ke barak’. Reformasi ABRI menjadi salah satu poin penting yang harus segera dibenahi. Memori kelam orde baru memang menjadi motor penggeraknya, masyarakat sipil harus bebas sebebas-bebasnya dalam mengutarakan pendapatnya tanpa takut moncong senapan sudah mengacung ke dahi mereka di kemudian hari.
Diketuknya Undang-undang TNI No 34 tahun 2004 menjadi salah satu upaya dalam mengembalikan supremasi sipil dari bayang-bayang para penenteng senjata. Tugas dan kewajiban TNI ditinjau kembali, mereka dilarang untuk terlibat dalam politik praktis dan bisnis. Tetapiapakahjalanyangditempuhsemulusitu?,tentutidak.KomandoTeritorialtetap dipertahankan sampai saat ini. Pada masa kepemimpinan Habibie, struktur Komando Teritorial tak masuk dalam skema reformasi yang diumumkan oleh pimpinan militer pada saat itu. Padahal kunci dari reformasi TNI adalah struktur Komando Teritorial itu sendiri. Selama struktur tersebut masih ada tentu akan menghambat reformasi yang lainnya karena jaring-jaring kekuasaan militer masih tertanam di penjuru negeri.
Refleksi
Sebagai orchestrator dan arsitek agung dari Komando Teritorial, Nasution pasti heran dan marah karena ada pergeseran tujuan awal dibentuknya struktur militer tersebut. Yang awalnya ditujukan untuk menghalau agresi militer Belanda yang menjadi ancaman besar masa pasca kemerdekaan, lalu menjadi gurita kekuasaan militer dalam mengawasi sipil, mengendalikan konflik-konflik yang tidak menguntungkan mereka.
Penempatan militer di desa tentunya menjadi sebuah pertanyaan besar ditengah nihilnya ancaman asing yang signifikan di negeri ini. Hal tersebut tentunya bermuara pada ‘nganggur’nya para Babinsa di kantor-kantor desa. Mereka bertransformasi menjadi penyuluh ulung materi bela negara di balai pertemuan desa, penjaga pengajian akbar yang terkadang bekerja sama dengan barisan serbaguna (Banser) dalam mengawal mubalig yang rawuh untuk memberikan tausiah dan pesan keagamaan. Dalam keadaan ini kita perlu memikirkan ulang tentang apa sebenarnya tugas militer dan apa yang menjadi pembeda mereka dari masyarakat sipil. Apakah keberadaan KT masih relevan ataukah sudah tak lagi menjadi kebutuhan negeri ini?.
Dalam banyak analisis, KT memang merupakan ganjalan terbesar reformasi ABRI. Jikalau masih ada, maka reformasi tidak benar-benar terlaksana. Reformasi ABRI memiliki tujuan untuk menghapuskan dwi fungsi tentara dan memberi batas yang jelas antara sipil dan non-sipil. Para penenteng senjata tak bisa disamakan dengan mereka yang tidak. Ada ketimpangan kekuasaan disana dan jika tak diberi batas yang jelas maka sudah pasti si tangan kosong akan tunduk patuh kepada mereka yang membawa senapan. Oleh karenanya batas dan aturan perlu ditegakkan, batas yang memisahkan urusan tentara dengan urusan sipil, bahwa tentara tak boleh mengisi jabatan sipil, bahwa tentara tak boleh berbisnis apalagi memonopoli, bahwa mereka sekali lagi harus menjaga kedaulatan negeri dari ancaman asing dalam arti seutuhnya, bukan dengan menanam jagung dan tebu di Papua.