Sejarah Resmi Adalah Dusta yang Disahkan oleh Negara

Oleh Muhammad Gumilar Mulyana (PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Senin, 23 Juni 2025 - 16.00 WIB



Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/8Cf3SjbESp1b2SaN8


Di sudut keramaian kafe, aku duduk sendiri sembari melamun dan terkadang menyibukkan diri dengan membuka laptop yang ku bawa. Berbekal wifi dan laptop sederhana milikku, aku pun iseng membuka dan kemudian membaca sebuah esai menarik yang tak sengaja ku temukan di website IndoProgress. Esai itu bertajuk “Luka yang Tak Terwakili dalam Narasi Negara”. Dalam sekejap, setelah aku selesai membaca esai tersebut, aku pun tersentak untuk menuangkan ulang dalam narasi yang aku rangkai sendiri. Tulisan ini merupakan tulisan yang terinspirasi dari esai IndoProgress (2025) tersebut.

Ketika aku membaca esai dari IndoProgress ini, ada beberapa poin penting yang menyadarkanku kembali guna merawat ingat sejarah-sejarah kelam yang terjadi di negeri ini. Ada dua peristiwa penting yang kiranya teringat kembali oleh pikiranku, yaitu peristiwa pembantaian 1965-1966 dan peristiwa pemerkosaan massal 1998. Untuk lebih jelasnya, aku akan menjelaskan pada paragraf di bawah ini.

Pemerkosaan Massal 1998

Tepat pada tanggal 8 Juni 2025 kemarin, Menteri Kebudayaan Indonesia saat ini, yaitu Fadli Zon, menyatakan bahwa akan ada penulisan ulang sejarah Indonesia yang akan dipimpin oleh Kementerian Kebudayaan. Tapi, dalam pernyataannya, ada hal yang sulit untuk aku terima begitu saja, dan mungkin hal itu juga dirasakan oleh warga Indonesia yang lain. Beliau (Fadli Zon), menyatakan bahwa “Tidak ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998”.

Maaf Pak Fadli Zon, tapi aku tidak setuju pada pernyataan itu. Yang terjadi pada 1998 bukan hanya pemerkosaan, tapi lebih dari itu. Telah terjadi kekerasan simbolik yang dibangun dari konstruksi sosial di waktu itu. Apakah Pak Fadli Zon tidak pernah membaca laporan dari Komnas Perempuan dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 2002? Laporan tersebut menyatakan “Setidaknya ada 168 kasus kekerasan seksual yang telah terjadi di Jakarta, yang meliputi penyiksaan seksual, pemerkosaan bergilir, mutilasi, dan pembakaran hidup-hidup”. Selain itu, dalam laporan itu, Komnas Perempuan dan TGPF (2002) menegaskan bahwa sebagian korban kekerasan seksual ialah perempuan Tionghoa. Mengapa demikian? Dalam laporan tersebut tertuang alasannya, yaitu telah terjadi kekerasan simbolik dan politik terhadap etnis Tionghoa, terkhusus perempuan Tionghoa. Mereka disimbolkan sebagai “kaya”, “asing”, dan “bukan bagian dari Bangsa Indonesia”.

Lebih terang lagi, dalam laporan dari Komnas Perempuan dan TGPF (2002), menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi bukan hanya kekerasan seksual biasa. Terdapat pesan simbolik dan politik yang menegaskan “Jika kamu seorang keturunan Tionghoa, maka kamu layak untuk diperkosa”. Lebih parahnya, dalam laporan itu tertulis bahwa “Banyak kasus pemerkosaan yang terjadi, dilakukan dengan berkelompok, dilakukan di depan keluarga, dan dilakukan dengan teriakan-teriakan rasial”.

Peristiwa pemerkosaan massal 1998, bukan hanya sebuah tindak kriminal biasa, peristiwa tersebut telah menggambarkan struktur kekuasaan negara yang mempunyai sifat maskulin dan represif. Selain itu, peristiwa pemerkosaan massal 1998, memperlihatkan kebengisan kaum mayoritas dan kaum maskulin di negara ini. Akibat yang terjadi dari peristiwa itu ialah telah terjadi trauma besar dan rasa takut dari kelompok tertentu, yaitu etnis Tionghoa, perempuan, dan warga sipil. Kekerasan simbolik yang terjadi, menyasar tubuh perempuan guna menunjukkan dominasi kultural dan politik mayoritas atas kaum minoritas yang dianggap “asing”, “bukan bagian dari Bangsa Indonesia”, dan “tidak berhak hidup aman di Negara Indonesia”.

Dalam tulisannya yang berjudul "Memories of Unbelonging", Charlotte Setijadi (2023) menyatakan peristiwa Mei 1998 telah meninggalkan luka yang mendalam bagi etnis Tinghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa, terutama perempuan-perempuan Tionghoa, tidak saja menjadi korban kekerasan seksual yang biadab, akan tetapi sekaligus menunjukkan sebuah pesan bahwa eksistensi dari etnis Tionhoa selalu disangkal dan dianggap tiada oleh negara. Selain itu, Charlotte Setijadi (2023) menyebutkan bahwa perempuan Tionghoa telah menjadi simbolisasi dari kontruksi “yang lain” di Negara Indonesia, meskipun etnis Tionghoa telah hidup di negara ini selama beberapa generasi.

Sampai saat ini, belum ada keseriusan yang ditunjukkan oleh negara. Buktinya, belum ada satu pun pelaku kekerasan seksual dari peristiwa pemerkosaan massal 1998 yang dibawa ke meja hijau. Padahal, telah banyak laporan yang ditulis oleh Komnas Perempuan, TGPF, dan lembaga internasional yang merekomendasikan negara untuk menindaklanjuti peristiwa pemerkosaan massal 1998. Selain itu, dalam autobiografinya yang berjudul “Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi”, Presiden B.J. Habibie (2006) menyatakan bahwa beliau telah menerima kesaksian langsung dari para korban pemerkosaan massal 1998. Beliau pun mengutuk keras atas peristiwa pemerkosaan massal 1998 yang terjadi, dan meminta negara bertanggung jawab atas peristiwa itu.

Pembantaian 1965-1966

Selain peristiwa pemerkosaan massal 1998, artikel IndoProgress (2025) bertajuk “Luka yang Tak Terwakili dalam Narasi Negara”, membawa ingatanku untuk sekejap mengingat peristiwa pembantaian di masa lampau, yaitu pembantaian 1965-1966. Dalam penelitiannya yang dituangkan ke dalam sebuah buku yang berjudul “Tahun yang Tak Pernah Berakhir”, John Roosa (2004) meyakini bahwa telah terjadi pembantaian lebih dari 500 ribu orang pada kisaran tahun 1965-1966. Pembantaian ini dilakukan dengan dalih penumpasan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, John Roosa (2004) juga meyakini bahwa narasi kudeta yang dilakukan oleh PKI pada waktu itu, hanyalah dalih semata.

Guna meyakini lebih dalam lagi, John Roosa (2004) melakukan wawancara dengan beberapa penyintas peristiwa pembantaian 1965-1966, yang ia tuangkan juga dalam bukunya yang berjudul “Tahun yang Tak Pernah Berakhir”. Hasil dari wawancara tersebut menunjukkan bahwa “Banyak pembunuhan dan penangkapan yang dilakukan oleh militer (yang merepresentasikan sebagai negara), dilakukan tanpa proses hukum, bahkan hanya sekedar berdasarkan pada laporan tetangga atau aparat desa saja. Tidak ada bukti keterlibatan korban-korban dengan aktivitas dari PKI".

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Robinson (2018) yang bertajuk “The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66”, Robinson (2018) menyatakan bahwa peristiwa pembantaian 1965-1966 merupakan operasi sistematis yang telah dirancang oleh militer. Pernyataan ini diperkuat dengan buku yang ditulis oleh Mattias Fibiger (2023) yang berjudul “Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World”, yang menyatakan bahwa peristiwa pembantaian 1965-66 merupakan bagian dari perang dingin, yang ditandai dengan posisi rezim Soeharto sebagai pion regional dari proyek kontra-revolusioner milik Amerika Serikat.

Dalam menyikapi peristiwa pembantaian 1965-1966, negara berdiri pada posisi yang menunjukkan ketidakadilan, terutama bagi para korban dan keluarganya. Negara menarasikan bahwa peristiwa pembantaian 1965-1966 sebagai peristiwa “pemberontakan” terhadap negara yang berhasil digagalkan oleh militer. Militer dianggap sebagai pahlawan, dan korban (dalam hal ini orang yang terindikasi simpatisan PKI) dari peristiwa 1965-1966 ialah pihak yang layak dikucilkan dan dianggap “musuh negara”. Narasi semacam ini diperkuat lewat film, patung, museum, buku, kurikulum sekolah, serta upacara kenegaraan. Hal itu terbukti dengan adanya buku Sejarah Nasional Indonesia, film yang menggambarkan visualisasi peristiwa G30S, kurikulum sekolah yang mengarahkan pada wacana bahwa PKI merupakan ancaman bagi negara, dan korban pembantaian 1965-1966 merupakan orang-orang yang layak untuk dibunuh. Bukti-bukti tersebut, menurut Ariel Heryanto (2005) dalam tulisannya yang berjudul “State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging” merupakan bentuk-bentuk teror secara simbolik. Ia menegaskan bahwa hal-hal tersebut bukan saja telah membungkam para korban, tetapi  lebih dari itu. Hal-hal tersebut juga telah mengontrol cara masyarakat dalam mengingat dan menceritakan peristiwa sejarah mereka di masa lalu.

Tidaklah mengherankan, apabila narasi yang dibangun oleh negara telah menghegemoni masyarakat hingga menciptakan wacana-wacana yang ekstrem, seperti anti-komunisme dan anti-PKI. Hal serupa pun diungkapkan oleh Budiawan (2004) dalam bukunya yang berjudul “Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto”. Budiawan (2004) menyatakan bahwa negara telah menciptakan sebuah wacana anti-komunisme. Wacana ini telah menjadi struktur wacana yang turun-temurun diwariskan sejak era Orde Baru hingga era Reformasi (saat ini). Selain itu, wacana anti-komunisme pun seakan telah mendefinisikan “Siapa saja bagian dari negara, dan siapa saja bagian yang dikucilkan dari negara”. Perlu untuk diingat bersama, dengan adanya wacana ini, sesungguhnya kita tidak sedang menyusun sejarah yang adil, tetapi kita sedang berhadapan dengan sejarah yang dipolitisasi.

Penutup

Begitulah kurang lebihnya tulisan yang dapat aku buat, setelah aku selesai membaca esai dari IndoProgress (2025). Tulisan ini sekaligus menjadi catatan yang akan mengingatkanku pada duka di masa lalu, pada sejarah kelam yang coba disembunyikan oleh negara, dan sekaligus menjadi bukti bahwa negara mencoba “cuci tangan” dan "lari" dari tanggung jawab akan sejarah, yang coba diupayakan dengan penulisan ulang sejarah Indonesia, seperti yang direncanakan oleh Fadli Zon, selaku Menteri Kebudayaan Indonesia.

Telah kita ketahui bersama, negara ingin selalu mengemas sejarah Indonesia dengan narasi yang rapi, tertib, dan penuh kepastian. Akan tetapi, di dalam pengemasan tersebut, terkandung luka, kekacauan, pembungkaman, dan penderitaan yang disembunyikan. Sebagai contoh dua peristiwa kelam, yaitu pembantaian 1965-1966 dan pemerkosaan massal 1998. Dua peristiwa memilukan itu, menjadi bukti bahwa negara selalu menarasikan sejarah secara tidak adil, bahkan pengakuan dari korban seakan tidak ada artinya, dan lebih parahnya negara telah melakukan pembungkaman dengan melakukan bentuk teror melalui film, buku, kurikulum sekolah, museum, monumen, dan upacara kenegaraan. Korban dari peristiwa itu, seakan-akan dinarasikan sebagai “yang lain” di Negara Indonesia, yang layak untuk menerima represifitas, diskriminasi, dan layak untuk dilenyapkan.

Mengutip pernyataan Munslow (2006) di dalam bukunya “Deconstructing History”, menyatakan bahwa sejarah bukanlah tentang apa yang sebenarnya terjadi, akan tetapi tentang bagaimana peristiwa itu dinarasikan. Dalam sejarah Indonesia, negara selalu menarasikan sejarah yang tidak berpihak terhadap korban. Negara malah memanfaatkan sejarah tersebut untuk mengokohkan kekuasaannya, dengan hegemoni narasi yang membungkam para korban. Guna menciptakan narasi yang lebih adil dan manusiawi, Munslow (2006) menyatakan negara harus membuka ruang bagi narasi sejarah alternatif, terutama narasi sejarah dari korban-korban yang selama ini dibungkam.

Selain itu, John Roosa (2004) mengungkapkan bahwa rekonsiliasi sejati dapat terwujud apabila penulisan sejarah bersifat plural dan inklusif. Ia menegaskan bahwa rekonsiliasi tidak dapat terwujud tanpa adanya pengakuan dari negara, penyebutan pelaku, dan restitusi bagi korban. Tanpa ketiga elemen itu, yang terjadi hanyalah “rekonsiliasi semu”, yang malah melanggengkan impunitas terhadap pelaku, serta mengokohkan dominasi narasi yang dibangun oleh negara.

Maka dari itu, sebuah saran dariku untuk Bapak Fadli Zon, apabila Bapak Fadli Zon ingin menulis ulang atau menarasikan ulang sejarah Indonesia, janganlah bersifat eksklusif dan mengesampingkan fakta-fakta yang dialami oleh para korban. Apalagi menarasikan fakta tersebut sebagai bentuk "rumor" belaka. Karena, dibalik narasi sejarah yang coba dibangun oleh negara, terkandung banyak penderitaan, tangisan, luka, air mata, dan kesengsaraan para korban, apabila narasi tersebut dibangun tanpa mengindahkan aspek keadilan dan kemanusiaan.



Pekalongan, 21 Juni 2025



--------------------



Referensi

Budiawan. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto. Jakarta: ELSAM, 2004.

Fibiger, Mattias. Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World. Oxford: Oxford University Press, 2023.

Habibie, B.J., Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri, 2006.

Heryanto, Ariel. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London & New York: Routledge, 2005.

Komnas Perempuan, Seri Dokumen Kunci: Laporan TGPF dan Relawan untuk Kemanusiaan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2002.

Munslow, Alun. Deconstructing History. 2nd ed. London & New York: Routledge, 2006.

Purba, Dian. (2025, 20 Juni). Luka yang Tak Terwakili dalam Narasi Negara. IndoProgress. Diakses pada tanggal 21 Juni 2025 (https://indoprogress.com/2025/06/luka-yang-tak-terwakili-dalam-narasi-negara/).

Robinson, Geoffrey B. The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965–66. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018.

Roosa, John, et al. Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2004.

Setijadi, Charlotte. Memories of Unbelonging: Ethnic Chinese Identity Politics in Post-Suharto Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press, 2023.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama