Menjelang akhir bulan Juni tahun ini, kondisi geopolitik dunia sedang mengalami fase yang terbilang “panas”. Saking panasnya, para ahli geopolitik, banyak yang memprediksi perang dunia ketiga bisa saja terjadi, apabila kondisi ini tidak kunjung mereda (Islam Today ID, 2025). Awal mula memanasnya kondisi ini, dimulai dari peristiwa penyerangan Negara Israel kepada Negara Iran. Hal tersebut memicu balasan serangan dari Negara Iran kepada Negara Israel (Tempo.co, 2025). Meletupnya perseteruan antara kedua negara tersebut, memicu intervensi dari negara-negara yang menjadi “sekutu” dari kedua belah pihak. Tak tanggung-tanggung, dua negara “superpower” di muka bumi ini, yaitu Rusia dan Amerika Serikat, menyatakan kemungkinannya untuk turut serta dalam perseteruan antara Iran dan Israel. Hal ini secara tidak langsung turut merepresentasikan gejolak perang dingin yang masih kental hingga sekarang, antara blok timur dan blok barat. Blok barat berdiri bersama Israel, dan blok timur berdiri bersama Iran. Sehingga wajar saja, apabila Amerika Serikat yang menjadi cerminan dari blok barat dengan lantangnya membela Israel, sedangkan Rusia menjadi cerminan dari blok timur yang membela Iran (UGM, 2025).
Sementara itu, Negara Indonesia telah mengambil sebuah langkah yang cukup mengejutkan mata dunia. Presiden Prabowo, yang mana merupakan Presiden Negara Indonesia, mengambil langkah yang terbilang cukup mengejutkan. Dikarenakan, di tengah panasnya perseteruan antara blok barat dan blok timur saat ini, Presiden Prabowo mengambil langkah yang cukup berani. Pasalnya, pada tanggal 19 Juni 2025 kemarin, Prabowo menghadiri sebuah forum ekonomi yang diprakarsai oleh Rusia, yaitu Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF). Perhelatan forum ini, bertepatan juga dengan deklarasi negara-negara G7, yang berisi negara-negara blok barat, seperti Italia, Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, dan Inggris, yang mendeklarasikan diri untuk mendukung Israel dan mengecam Iran dalam menyikapi perseteruan dua negara itu yang sedang panas-panasnya (Metro TV News, 2025). Persoalannya, negara-negara G7 ini merupakan negara-negara yang memiliki hubungan kerja sama yang cukup erat dengan Indonesia (Kompas.com, 2025).
Mengapa langkah ini terbilang sebuah langkah yang berani? Karena secara tidak langsung Pak Prabowo mengambil resiko dalam menyikapi panasnya geopolitik yang sedang terjadi. Pak Prabowo lebih memilih untuk menghadiri forum SPIEF, ketimbang turut serta dalam menghadiri deklarasi negara G7 yang cenderung membela Israel. Padahal, Pak Prabowo diundang sebagai tamu kehormatan pada pertemuan G7 tersebut. Apabila dipandang melalui kacamata pragmatisme politik, langkah yang dilakukan Pak Prabowo merupakan langkah yang wajar, karena forum SPIEF lebih menguntungkan bagi Negara Indonesia, ketimbang menghadiri forum negara G7 (ANTARA News, 2025). Hasil dari forum SPIEF terbilang menguntungkan bagi Indonesia, pasalnya forum itu menghasilkan beberapa kesepakatan besar antara Indonesia dan Rusia. Di antaranya, forum itu berhasil membuahkan beberapa kerja sama antara Indonesia dan Rusia di bidang pendidikan, ekonomi, militer, energi, dan antariksa (Tempo.co, 2025).
Di bidang pendidikan, Pak Prabowo berhasil membujuk Presiden Putin untuk memperbolehkan mahasiswa Indonesia mengenyam pendidikan tinggi di universitas-universitas yang ada di Rusia. Kemudian, dalam bidang ekonomi, Pak Prabowo bersepakat dengan Presiden Putin supaya bersedia menggelontorkan dana investasi hingga menyentuh angka dua miliar euro. Selain itu, Rusia pun diperbolehkan untuk menambah rute maupun kuota penerbangannya di Indonesia. Sementara itu, dibidang militer, Rusia dan Indonesia sepakat untuk bekerja sama dalam hal alutsista. Dan di bidang energi dan antariksa, Indonesia membuat sebuah langkah besar, pasalnya Rusia setuju untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam membangun proyek “nuklir damai”, dan Rusia bersepakat untuk membangun fasilitas peluncuran roket dan pesawat luar angkasa (spaceport) di Indonesia, tepatnya di Pulau Biak. Tentunya, kesepakatan-kesepakatan ini terbilang cukup menguntungkan bagi Indonesia (Tempo.co, 2025).
Melihat langkah berani ini, aku menjadi teringat pada kebijakan politik luar negeri “bebas-aktif” yang dilakukan oleh Bung Karno dahulu, sewaktu menjabat sebagai Presiden Indonesia. Aku pun melihat terdapat sebuah langkah yang berbeda dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia, apabila dibandingkan dengan kebijakan politik luar negeri Presiden Jokowi dalam dua dekade terakhir. Dibuatnya tulisan ini, bertujuan untuk mengutarakan pendapatku dalam melihat langkah politik luar negeri Indonesia sekarang, terutama pasca pertemuan Pak Prabowo dengan Presiden Putin di tanggal 19 Juni 2025 kemarin.
Perbedaan dengan Politik Luar Negeri di Era Presiden Jokowi
Dalam dua periode kepemimpinannya sebagai Presiden Indonesia, Presiden Jokowi mempunyai prinsip politik luar negeri yang menekankan pada pragmatisme ekonomi. Berbeda dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Soekarno yang sangat aktif dalam forum-forum internasional serta isu-isu diplomasi multilateral, tujuan utama dari kebijakan politik luar negeri Presiden Jokowi ialah menjadikan diplomasi sebagai langkah dalam “membuka pasar dan mencari investor”. Bidang ekonomi menjadi sasaran utama Presiden Jokowi dalam mengarungi politik luar negerinya (Sulistia Wargi, 2021).
Hal ini terbukti dengan kecenderungan Presiden Jokowi untuk tidak terlibat dalam konflik-konflik geopolitik global. Presiden Jokowi cenderung menghindari sikap yang tegas terhadap isu-isu kontroversial, seperti konflik Laut China Selatan, krisis kemanusiaan di Myanmar, dan invasi Rusia atas Ukraina. Akan tetapi, dalam forum-forum ekonomi global, Presiden Jokowi melihatkan keterlibatannya. Sebagai contoh, Presiden Jokowi terlihat hadir dalam forum-forum G20 dan ASEAN (Wardhani et al., 2023).
Kita bisa melihat bersama, langkah yang penuh kehati-hatian yang dilakukan Presiden Jokowi dalam membangun hubungan diplomasi dengan negara-negara besar. Sebagai contoh, kita bisa melihat hubungan diplomasi yang dilakukan Presiden Jokowi dengan Tiongkok. Meskipun terbilang erat dalam hubungan diplomasi yang menyoal tentang ekonomi, seperti investasi besar-besaran Tiongkok yang ada di Indonesia dan juga proyek “Belt and Road Initiative” (BRI) milik Tiongkok. Akan tetapi, di dalam diplomasi politik dan militer, tidak ada diplomasi yang serius dan mendalam (Andika et al., 2017). Selain itu, dengan negara-negara barat pun demikian. Di era Presiden Jokowi, Indonesia tetap menjadi mitra dagang dan keamanan dengan negara-negara barat. Akan tetapi, tidak ada komitmen serius dalam hal-hal yang menyoal ideologi (Situmorang, 2015). Langkah politik luar negeri ini, memperlihatkan bahwa Presiden Jokowi melakukan model pendekatan “bebas-aktif” yang minimalis dan ekonomis. Artinya, Indonesia masihlah bebas dari konfrontasi, tetapi aktif dalam persoalan ekonomi (Wardhani et al., 2023).
Strategi politik luar negeri dari Presiden Jokowi ini dapat disebut sebagai “low-profile diplomacy” (politik luar negeri diam-diam). Artinya, Indonesia tidak terlalu vokal dalam politik global, akan tetapi tetap aktif dalam menjaga stabilitas dan aktif dalam mendapat manfaat ekonomi bagi dalam negeri. Langkah politik luar negeri ini, membawa Indonesia guna meraup keuntungan pragmatis di dalam ekonomi, tetapi menempatkan posisi Indonesia yang cenderung pasif dalam menyikapi krisis-krisis global dan diplomasi multilateral (Sulistia Wargi, 2021).
Apabila dibandingkan dengan langkah politk luar negeri Presiden Prabowo, Indonesia mengalami perubahan gaya dalam strategi politik luar negerinya. Dari gaya Presiden Jokowi yang cenderung “low-profile diplomacy” (diplomasi secara diam-diam dan dianggap pasif), berubah ke gaya Presiden Prabowo yang “high-profile engangement diplomacy” (diplomasi yang cenderung vokal dan dianggap kontroversial) (The Diplomat, 2024). Presiden Jokowi lebih terfokus pada diplomasi pembangunan, terutama dalam bidang ekonomi (Sulistia Wargi, 2021). Sedangkan, Presiden Prabowo lebih menunjukkan ketertarikannya pada ranah politik global, termasuk pada isu-isu strategis, seperti nuklir, militer, pendidikan, dan antariksa (Tempo.co, 2025).
Membandingkan Langkah Politik Luar Negeri Bung Karno dan Prabowo
Melihat langkah berani dalam politik luar negeri yang dilakukan oleh Presiden Prabowo, aku menjadi teringat juga dengan langkah politik luar negeri di era Bung Karno dahulu. Bung Karno melihat politik luar negeri sebagai alat revolusi nasional dan internasional. Di era Bung Karno, Indonesia menjalin kerja sama dengan negara blok timur (seperti Tiongkok dan Uni Soviet), negara blok barat (seperti Amerika Serikat), negara dunia ketiga, serta negara-negara lain di Benua Asia dan Benua Afrika. Hal ini dilakukan oleh Bung Karno dengan maksud untuk memperkuat posisi dari Negara Indonesia (yang baru merdeka dan sedang membangun negaranya) di kancah Internasional. Selain itu, hal ini juga menunjukkan posisi dari Negara Indonesia yang mempunyai posisi strategis yang tidak condong ke blok manapun, serta dapat dibilang mampu untuk “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) (Soekarno, 1951).
Apabila kita melihat langkah politik luar negeri Presiden Prabowo, terdapat kesamaan gaya diplomasi. Selain bekerja sama dengan blok barat, Indonesia juga bekerja sama dengan blok timur. Ini terbukti dengan lahirnya kerja sama dengan Rusia di bidang militer, ekonomi, pendidikan, dan antariksa (Tempo.co, 2015). Presiden Prabowo menyatakan bahwa Rusia akan menjadi bagian dari “nation-building” tahap baru bagi Indonesia. Selain itu, dalam pidatonya di forum SPIEF, Presiden Prabowo menyatakan pentingnya “Transformasi teknologi dan kemandirian strategis” (Presiden Republik Indonesia, 2025). Pernyataan ini senada dengan “berdikari” ala Bung Karno dahulu.
Kesamaan berikutnya dalam langkah politik luar negeri Bung Karno dan Presiden Prabowo, yaitu keduanya sama-sama menentang dominasi blok barat. Dahulu, Bung Karno dengan lantangnya mengkritik neo-kolonialisme dan dominasi dari blok barat. Tak segan-segan, Bung Karno bahkan menyebut PBB itu sebagai “alat imperialisme” blok barat. Hal ini menyebabkan Indonesia sempai keluar dari keanggotaan PBB, dan membuat tandingan dari PBB, yaitu Conference of the New Emerging Forces (CONEFO) (Soekarno, 1951).
Sementara itu, yang terjadi di era Presiden Prabowo, yaitu beliau lebih memilih untuk menghadiri forum SPIEF di Rusia, ketimbang forum G7. Padahal, Presiden Prabowo, sama-sama diundang sebagai tamu kehormatan, serta keputusan untuk lebih memilih forum SPIEF ini dilakukan ketika Rusia saat ini sedang diisolasi oleh dunia internasional, akibat intervensinya kepada Ukraina (Iannone, 2025). Kedua hal yang dilakukan, baik oleh Bung Karno dan Presiden Prabowo, menunjukkan sinyal bahwa Indonesia tidak harus selalu mengikuti agenda blok barat dalam geopolitik dunia, dan sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia mampu menjajaki alternatif geopolitik yang dianut oleh Indonesia sendiri.
Selain sama-sama menentang dominasi blok barat, Presiden Prabowo dan Bung Karno pun sama-sama ingin menunjukkan bahwa Indonesia mampu berdaulat atas langkah politik luar negerinya sendiri. Dahulu, Bung Karno menjadi penggagas utama dari Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung. Konferensi ini mempertemukan negara-negara dunia ketiga, dan bertujuan untuk menyuarakan perlawanan serta solidaritas dalam menentang dominasi dua blok besar dunia, yaitu blok barat dan blok timur (Soekarno, 1951).
Sedangkan, yang dilakukan Presiden Prabowo, yaitu beliau dengan lantang dan berani menyatakan bahwa “Kerja sama global haruslah berbasis kesetaraan” (Presiden Republik Indonesia, 2025). Pernyataan itu disampaikan Pak Prabowo dalam pidatonya di forum SPIEF pada 19 Juni 2025 kemarin. Langkah politik luar negeri dari Bung Karno dan Presiden Prabowo ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu untuk berdaulat atas negaranya sendiri, serta Indonesia tidak bergantung pada dua blok besar dunia, baik itu blok barat maupun blok timur.
Sementara itu, dalam bidang pendidikan, Presiden Prabowo dan Bung Karno juga memiliki persamaan. Bung Karno dan Prabowo, sama-sama tidak membatasi mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri. Baik itu di negara blok barat, maupun di negara blok timur. Dan bahkan, Negara Indonesia selali berada pada posisi yang akan mendukung pencarian ilmu ke luar negeri. Dahulu, Bung Karno banyak mengirim intelektual-intelektual muda Indonesia untuk mengeyam pendidikan di luar negeri. Hal ini bertujuan untuk nantinya sewaktu para intelektual telah selesai mengenyam pendidikan di luar negeri, para intelektual itu bersedia kembali ke Indonesia guna membangun peradaban di Indonesia, berbekal ilmu yang mereka dapatkan sewatu menempuh pendidikan di luar negeri (Aleida, 2017).
Hal tersebut juga dilakukan Pak Prabowo. Beliau mendukung penuh para mahasiswa Indonesia yang bersedia belajar di luar negeri. Bahkan, pada forum SPIEF kemarin, Pak Prabowo meminta agar Rusia dapat membuka kuota yang banyak bagi mahasiswa Indonesia yang ingin belajar di universitas-universitas milik Rusia (Tempo.co, 2025). Baik itu Bung Karno dan Prabowo, mereka sama-sama tidak membatasi para intelektual untuk menimba ilmu di mana pun, dan di negara manapun. Bahkan, tidak mempersoalkan mengenai negara mana tempat menimba ilmu, apakah itu negara blok barat, ataukah negara blok timur. Yang terpenting, para intelektual nantinya, setelah selesai mengenyam pendidikan, dapat kembali dan berkontribusi bagi Negara Indonesia.
Penutup
Begitulah pendapatku dalam melihat fenomena bertemunya Presiden Prabowo dan Presiden Putin di tengah panasnya gejolak geopolitik dunia. Izinkan aku untuk menuliskan kesimpulan yang dapat aku simpulkan dari tulisanku ini.
Jika Jokowi merajut prinsip “bebas aktif” dalam benang-benang diplomasi pembangunan yang tenang dan penuh kehati-hatian, maka Prabowo mulai menenunnya dalam motif yang lebih berani dan strategis. Di tangan Jokowi, diplomasi berjalan seperti arsitektur yang rapi: diam-diam membangun fondasi ekonomi. Sedangkan Prabowo, dengan langkah yang lebih terbuka dan tegas, mencoba menyalakan obor kemandirian strategis—menatap langit antariksa dan menyusuri jalur yang jarang dilalui, seperti kereta yang membelah kabut ketidakpastian.
Namun, di jalan yang demikian terbuka, tantangan menanti di setiap persimpangan. Kedekatan dengan Rusia, boleh jadi membawa harapan akan alih teknologi dan keberanian melampaui sekat lama. Tetapi dalam dunia yang tak lagi terbagi rapi oleh dua kutub, keberanian tanpa keseimbangan bisa menjelma menjadi bumerang. Prabowo harus berjalan di atas titian halus: antara harapan baru dan diplomasi yang rentan goyah. Ia dituntut untuk jernih dalam niat, transparan dalam langkah, dan gesit dalam membaca arah angin politik dunia.
Maka, pertemuannya dengan Presiden Putin, bukan sekadar bab kecil dari kronik diplomatik. Ini adalah cermin—tempat Indonesia menatap bayangannya sendiri di tengah dunia yang terus bergolak. Ini bukan soal meninggalkan jalan lama, melainkan soal menafsirkan ulang prinsip “bebas aktif” dalam bahasa zaman yang baru. Dari Jokowi yang membungkus diplomasi dengan diam, menuju Prabowo yang membingkainya dengan simbol dan siasat. Dan di sela-sela itu, kita kembali mendengar gema suara lama—suara Bung Karno—yang dengan dada tegak pernah berkata bahwa “Bangsa ini tak sudi menjadi penonton dalam panggung dunia, melainkan pemain yang tahu kapan harus diam, dan kapan bersuara”.
Pekalongan, 25 Juni 2025
------------------------------
IslamToday ID. (2025, Juni 18). Perang-perang utama di 2025, benarkah Perang Dunia 3 makin dekat? IslamToday. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://islamtoday.id/internasional/20250618190024-191225/perang- perang-utama-di-2025-benarkah-perang-dunia-3-makin-dekat/).
Kompas.com. (2025, Juni 7). Prabowo diundang jadi tamu kehormatan di KTT G7 di Kanada.Kompas. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://nasional.kompas.com/read/2025/06/07/16285531/prabowo- diundang-jadi-tamu-kehormatan-di-ktt-g7-di-kanada).
MetroTVNews. (2025, Juni 24). Prabowo di St. Petersburg: 1.000 teman terlalu sedikit, 1 musuh terlalu banyak. MetroTVNews. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025). (https://www.metrotvnews.com/play/N0BC9Doj-prabowo-di- st-petersbug-1-000-teman-terlalu-sedikit-1-musuh-terlalu-banyak).
Presiden Republik Indonesia. (2025, Juni). St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 [Transkrip pidato]. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://www.presidenri.go.id/transkrip/st-petersburg-international- economic-forum-spief-25/)
Reuters. (2025, June 19). Putin meets Indonesia’s Prabowo in Russia bid to deepen ties. Reuters. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://www.reuters.com/world/china/putin-meets-indonesias-prabowo-russia-bid-deepen-ties-2025-06-19/).
Scott, D. (2019). Indonesia grapples with the Indo-Pacific: Outreach, strategic discourse, and diplomacy. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 38(3), 3–27. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://doi.org/10.1177/1868103419860669).
Situmorang, M. (2015). Orientasi kebijakan politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-JK. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 11(1), 66-90. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://doi.org/10.26593/jihi.v11i1.1442.%25p).
Soekarno. 1951. Indonesia Menggugat (Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial). Jakarta: S.K.Seno.
Sulistia Wargi. (2021). KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA DI ERA JOKOWI MELALUI DIPLOMASI EKONOMI DALAM UPAYA UNTUK MENGUASAI PASAR HALAL DUNIA. Indonesian Journal of International Relations, 5(2), 320-341. (https://doi.org/10.32787/ijir.v5i2.228).
Tempo. (2024, Desember 30). Pelajaran apa yang diperoleh Iran dari perang dengan Israel? Tempo. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://www.tempo.co/internasional/pelajaran-apa-yang-diperoleh-iran- dari-perang-dengan-israel--1811823).
Tempo.co. (2025, Juni 20). Serba-serbi pertemuan Prabowo Subianto dengan Vladimir Putin. Tempo. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://www.tempo.co/politik/serba-serbi-pertemuan-prabowo-subianto- dengan-vladimir-putin-1755720).
Tempo.co. (2025, Juni 24). Serbaneka pertemuan resmi Prabowo dan Putin di Moskow. Tempo. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://www.tempo.co/internasional/serbaneka-pertemuan-resmi- prabowo-dan-putin-di-moskow-1764851).
The Australian. (2025, Juni 20). Indonesia’s Prabowo touts growing Russia ties after talks with Putin. The Australian. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025). (https://www.theaustralian.com.au/world/indonesias-prabowo-touts-growing-russia-ties-after-talks-with-putin/newsstory/660dcb7e643cbbd3015d51fa26e1cdf5).
The Diplomat. (2024, Desember 16). Bold diplomacy: Reflections on Indonesian President Prabowo Subianto’s whirlwind global tour. The Diplomat. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://thediplomat.com/2024/12/bold-diplomacy-reflections-on-indonesian-president-prabowo-subiantos-whirlwind-global-tour/).
Universitas Gadjah Mada. (2025, Juni 23). Konflik Iran dan Israel, pakar UGM soroti potensi perang global. UGM. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://ugm.ac.id/id/berita/konflik-iran-dan-israel-pakar-ugm-soroti- potensi-perang-global/).
Wardhani, B., & Dugis, V. (2023). Indonesian foreign policy under the Jokowi administration. International Area Studies Review. Diakses pada tanggal 25 Juni 2025. (https://doi.org/10.1142/S1013251123500054).