Oleh Sabdo Utomo Gumilang (PMII Rayon M Zamroni, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Kamis, 26 Juni 2025 - 11.45 WIB
Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/H4Z9gV3G4344Z9Ms5
Sejarah panjang Hari Buruh, berawal dari "Kerusuhan Haymarket" di Amerika Serikat, sebuah peristiwa kelam yang dialami kaum buruh. Dikutip dari "Illinois Labour History Society", "Kerusuhan Haymarket" bermula dari gerakan untuk mengkampanyekan kewajiban delapan jam kerja. Aturan tersebut seharusnya sudah dimulai dan diterapkan pada tahun 1867, tetapi Pemerintah Federal gagal menerapkannya. Akibatnya, sebanyak 80.000 pekerja melakukan aksi longmarch pada tanggal 1 Mei 1886 di Michigan Aveneu, yang berlanjut sampai 3 Mei. Terjadi Mogok Kerja besar-besaran yang membuat 70.000 pabrik terpaksa ditutup. Puncaknya terjadi pada tanggal 4 Mei, di mana aksi protes berakhir dengan pecahnya kericuhan yang mengakibatkan tewasnya ratusan pekerja. Para pemimpin serikat buruh di Chichago ditangkap. Hingga pada 20 Agustus 1886, delapan terdakwa dalam "Kerusuhan Haymarket" dijatuhi putusan pengadilan. Peristiwa ini mendapat perhatian besar dunia pada tahun 1889. Dalam sebuah konferensi buruh di Paris, Prancis, seorang delegasi dari American Federation of Labour mengusulkan agar 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional.
Selain di luar negeri, peringatan Hari Buruh di Indonesi juga memiliki sejarah panjangnya tersendiri. Dimulai sejak tahun 1918, tepatnya era kolonial, serikat buruh Kung Tang Hwee memulai aksi demonstrasi. Di mana buruh-buruh menuntut kesejahteraan hingga melakukan aksi mogok kerja. Peringatan Hari Buruh sendiri sempat dilarang pada masa Pemerintahan Orde Baru dengan dalih menjaga stabilitas politik dan aksi buruh diidentikan dengan paham komunis. Bahkan, istilah buruh sendiri diganti dengan diksi baru, yakni “karyawan”, yang secara etimologis berasal dari kata “karya”, yang berarti kerja dan “wan”, yang berarti orang. Setelahnya, pasca Reformasi, peringatan Hari Buruh kembali diperbolehkan. Selain itu, pada masa Presiden B.J. Habibie, dilakukan ratifikasi konvensi ILO Nomor 81 tentang Kebebasan Berserikat Buruh. Pada 1 Mei 2013, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dilakukan penetapan Hari Buruh sebagai Hari Libur Nasional. Momen ini terus diperingati hingga saat ini, guna merepresentasikan dukungan terhadap perjuangan dalam menuntut terpenuhinya hak-hak buruh.
Melalui penjelasan di atas, sudah menjadi cerminan, terkait setiap peringatan Hari Buruh Internasional, haruslah menjadi perhatian semua kalangan, bukan hanya milik para kaum pekerja/buruh. Dan juga, telah menjadi panggilan moral, bahwasanya kemajuan sejati tidak bisa dibangun di atas ketimpangan dan penindasan. Salah satu unsur atau elemen paling penting adalah peran dari pers dan media sosial sebagai penjaga nurani publik dan pilar demokrasi, yang berperan vital dalam memperjuangkan keadilan sosial, termasuk bagi kaum buruh. Namun, telah menjadi suatu keharusan, untuk menilik sejauh mana peran media sosial hari ini hadir dalam perjuangan pergerakan sosial yang dilakukan oleh buruh dan seluruh elemen masyarakat. Apakah media cukup memberi ruang bagi suara pekerja? Atau justru larut dalam arus kapital yang lebih sering menyuarakan kepentingan pemilik modal? Hari Buruh tahun 2025 menjadi momentum yang tepat untuk meninjau kembali peran penting pers dan media sosial dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Pers dan media sosial, seharusnya tidak hanya berperan sebagai pengamat, tetapi juga sebagai motor penggerak perubahan sosial. Di tengah derasnya arus informasi digital, suara para buruh sering kali tersisih. Isu-isu ketenagakerjaan kerap dianggap “tidak menarik”, “sulit untuk viral”, atau “terlalu rumit” bagi pembaca umum. Akibatnya, pemberitaan tentang buruh biasanya hanya mencuat saat terjadi aksi besar atau konflik industrial, bukan sebagai bagian dari keseharian jutaan orang. Padahal, buruh bukan semata-mata mereka yang turun ke jalan. Mereka adalah penopang keluarga, penggerak ekonomi di tingkat lokal, dan pejuang yang aktif dalam kehidupan sosial komunitasnya.
Untuk mendukung langkah perjuangan kaum buruh tersebut, gerakan buruh harus bertransformasi juga. Serikat pekerja perlu merambah ke sektor digital dengan membentuk asosiasi atau wadah advokasi khusus bagi pekerja di ranah digital atau platform media sosial. Transformasi gerakan buruh dalam era digital, bukan lagi sebuah pilihan, melainkan suatu keharusan historis dan strategis. Dalam konteks revolusi industri 4.0 dan perkembangan ekonomi digital, bentuk-bentuk baru dari relasi kerja, seperti "gig economy", pekerja lepas (freelancer), hingga buruh algoritma, semakin mendominasi lanskap ketenagakerjaan. Namun, struktur perlindungan hukum terhadap pekerja di sektor ini masih jauh dari kata memadai. Banyak di antara mereka, bekerja tanpa kontrak yang layak, tanpa jaminan sosial, dan tanpa akses terhadap mekanisme advokasi tradisional. Dalam situasi ini, serikat pekerja tidak bisa hanya mengandalkan metode konvensional, berupa aksi lapangan atau negosiasi institusional, melainkan perlu memperluas jangkauannya ke ruang digital sebagai arena perjuangan yang setara pentingnya.
Penting pula untuk membentuk "digital labor advocacy groups" yang mampu menjangkau pekerja informal, buruh platform, dan kelompok-kelompok pekerja yang sebelumnya tak terorganisir. Wadah ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana advokasi, tetapi juga sebagai ruang edukasi, solidaritas, dan kampanye digital berbasis data dan narasi dari pihak buruh. Pemanfaatan teknologi informasi secara strategis memungkinkan gerakan buruh membangun opini publik, mendesak perubahan kebijakan, sekaligus menangkal disinformasi dan delegitimasi, yang kerap disebarkan melalui "buzzer" dan akun anonim yang berpihak pada kekuatan modal. Peran media, baik arus utama maupun alternatif, menjadi sangat krusial dalam membentuk kesadaran kolektif. Dalam konteks inilah, media tidak boleh bersikap netral dalam ketimpangan. Netralitas yang tidak berpihak kepada keadilan, justru berpotensi melanggengkan dominasi struktur yang eksploitatif. Oleh karena itu, media massa dituntut untuk menjalankan fungsi "watchdog" terhadap kebijakan ketenagakerjaan, memberikan ruang yang adil bagi suara buruh, serta mengangkat narasi-narasi yang selama ini terpinggirkan oleh dominasi wacana neoliberal. Selanjutnya, kebijakan negara tidak boleh lepas dari pengawasan publik yang kritis. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi hak-hak pekerja, sebagaimana tertuang dalam pasal 27 ayat (2) dan pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Ratifikasi berbagai konvensi ILO, termasuk konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan konvensi No. 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama, harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang nyata dan implementatif. Bukan sekadar simbol politik di atas kertas.
Untuk itu, Hari Buruh bukan sekadar seremonial tahunan yang penuh simbolisme, melainkan momentum evaluasi struktural dan refleksi kolektif mengenai arah perjuangan kelas pekerja di tengah realitas sosial-ekonomi yang semakin kompleks. Ketika ruang-ruang demokrasi digital dibajak oleh kepentingan oligarki dan kapital digital, maka perjuangan buruh tak boleh mundur. Tetapi harus semakin cerdas, terorganisir, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Gerakan buruh yang berpihak pada keadilan sosial memerlukan kolaborasi dari lintas sektor, yaitu sektor akademis, jurnalistik, aktivisme digital, hingga pembuatan kebijakan. Dengan bersatunya lintas sektor tersebut di bawah semangat solidaritas, advokasi berbasis pengetahuan, serta media yang berpihak pada suara rakyat, maka cita-cita keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh pekerja bukanlah utopia, melainkan keniscayaan yang bisa diperjuangkan.
Dinamika Aksi May Day dan Ruang Digital
Seperti pada umumnya aksi, Aksi May Day yang terselanggara juga membawa tuntutan kepada pemerintah sebagai bahan evaluasi dan pondasi kebijakan kedepannya. Ada enam tuntutan dalam aksi kali ini, diantaranya: menghapus "outsourcing", membentuk Satgas PHK, mewujudkan upah layak, dan melindungi buruh dengan mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru. Selain itu juga melindungi Pekerja Rumah Tangga dengan tuntutan mengesahkan RUU PPRT. Poin terakhir, yakni memberantas korupsi dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Keenam tuntutan dalam Aksi May Day 2025, tidak hanya mencerminkan kepentingan sektoral butuh, melainkan juga menyuarakan kepentingan publik yang lebih luas. Isu penghapusan sistem "outsourcing" dan pembentukan Satgas PHK, menjadi sorotan utama, karena merefleksikan keresahan nyata di kalangan pekerja mengenai bentuk hubungan kerja yang semakin tidak pasti dan rentan terhadap pemutusan sepihak. Sistem kerja kontrak dan alih daya yang tanpa batas, telah menciptakan "precariat class", yakni kelompok pekerja tanpa kepastian kerja, tanpa penghasilan tetap, dan tanpa perlindungan sosial. Ketidakpastian ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga menyangkut martabat dan keamanan hidup pekerja secara keseluruhan. Tuntutan untuk mewujudkan upah layak, kembali menggugah perdebatan tentang standar kesejahteraan buruh dalam konteks negara yang mengklaim sedang mengalami pertumbuhan ekonomi. Realitas menunjukkan bahwa pertumbuhan tersebut tidak secara otomatis menjamin distribusi kesejahteraan yang adil, khususnya bagi kelompok buruh. Penetapan upah minimum yang tidak mencerminkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam menjamin keadilan ekonomi. Dalam konteks ini, buruh tidak hanya menjadi objek kebijakan, melainkan subjek yang memiliki hak penuh untuk didengarkan, serta diperhitungkan dalam proses penyusunan kebijakan ketenagakerjaan.
Desakan untuk mengganti Undang-Undang Ketenagakerjaan lama dengan RUU baru, menunjukkan perlunya pembaruan hukum ketenagakerjaan yang berorientasi pada perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Hal ini menuntut proses legislasi yang partisipatif dan berpihak kepada mereka yang selama ini paling terdampak oleh liberalisasi pasar tenaga kerja. Dalam kerangka ini, disahkan atau tidaknya RUU tersebut, bukan hanya soal teknis legislasi, tetapi menjadi barometer sejauh mana negara berpihak pada kaum pekerja. Desakan untuk mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), merupakan langkah penting untuk mengakui dan melindungi salah satu sektor kerja paling rentan yang selama ini tak terlihat dalam sistem perlindungan tenaga kerja. Pekerja Rumah Tangga kerap mengalami eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi tanpa ada mekanisme hukum yang melindungi mereka secara spesifik. Padahal, kontribusi mereka dalam menjaga keberlangsungan ekonomi domestik sangatlah signifikan. Dengan demikian, pengesahan RUU PPRT adalah bentuk koreksi atas ketidakadilan struktural yang selama ini diabaikan.
Di sisi lain, tuntutan pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai upaya pemberantasan korupsi memperluas cakupan perjuangan buruh ke wilayah integritas dan tata kelola pemerintahan. Buruh menyadari bahwa korupsi adalah musuh kesejahteraan rakyat. Setiap kebocoran anggaran negara, berarti berkurangnya alokasi untuk jaminan sosial, pendidikan, layanan kesehatan, dan perlindungan tenaga kerja. Terkait hal tersebut, buruh tampil sebagai aktor moral dan politik yang menyerukan pembenahan sistemik. Di tengah semua ini, ruang digital memainkan peran yang kian krusial. Media sosial, kanal informasi digital, dan jaringan komunikasi daring, telah mengubah cara buruh mengorganisir aksi, menyampaikan tuntutan, serta membangun solidaritas lintas sektor dan lintas wilayah. Namun demikian, ruang digital juga menjadi arena yang tidak netral. Ia rentan dimanipulasi oleh "buzzer", disinformasi, dan polarisasi politik, yang dapat mengalihkan perhatian publik dari isu-isu struktural. Oleh karena itu, gerakan buruh di era digital kini, memerlukan kecermatan dalam memanfaatkan media sosial: tidak sekadar sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai arena perjuangan opini publik.
Perjuangan buruh hari ini, tidak lagi hanya berlangsung di jalanan, tetapi juga di lini masa. Membangun narasi yang kuat, menyajikan data yang valid, serta menghadirkan wajah manusiawi dari penderitaan buruh, menjadi bagian dari strategi baru gerakan sosial. Di sinilah peran penting edukasi digital, literasi media, dan kolaborasi dengan jurnalis, akademisi, serta aktivis sipil, menjadi elemen yang tak terpisahkan dalam memperkuat daya tekan gerakan buruh. Dengan demikian, Aksi May Day tahun 2025, bukan sekadar peristiwa tahunan yang simbolik, melainkan refleksi atas kompleksitas ketimpangan struktural yang terus berlangsung. Ini adalah panggilan kolektif untuk merebut kembali ruang-ruang kebijakan publik agar berpihak pada keadilan sosial dan kemanusiaan.
Respons publik terhadap Aksi May Day tahun 2025 di media sosial, menunjukkan dinamika yang kompleks dan politis. Dukungan luas dari masyarakat sipil terlihat melalui penyebaran berbagai tagar, seperti #MayDayMelawan, #HapusOutsourcing, dan #SahkanRUUPPRT, yang tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga penanda solidaritas lintas isu. Tagar-tagar ini memperkuat narasi perjuangan buruh, serta membangun kesadaran kolektif akan pentingnya reformasi ketenagakerjaan dan perlindungan sosial. Kehadiran infografis, video, dan pernyataan sikap dari aktivis, akademisi, dan jurnalis, turut membentuk opini publik yang lebih kritis terhadap kebijakan negara.
Namun, ruang digital juga menjadi arena kontestasi yang rentan terhadap manipulasi. Munculnya tagar tandingan, seperti #MayDayRusuh dan narasi-narasi sinis terhadap aksi buruh, memperlihatkan adanya upaya sistematis untuk mendeligitimasi gerakan. Akun-akun anonim dan dugaan operasi "buzzer", turut merusak diskursus publik dengan menyebarkan disinformasi dan "framing" negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ruang digital bukanlah ruang netral, melainkan medan konflik kepentingan, di mana suara buruh harus bersaing dengan kekuatan politik yang terorganisir secara digital. Menyangkut konteks ini, Aksi May Day tahun 2025 menegaskan perlunya penguasaan ruang digital sebagai bagian dari strategi perjuangan sosial. Media sosial bukan hanya alat penyebar informasi, tetapi juga ruang produksi makna yang menentukan arah opini publik. Oleh karena itu, penting bagi gerakan buruh untuk membangun narasi yang kuat, berbasis data yang valid, dan menyentuh dimensi kemanusiaan dari penderitaan kelas pekerja. Dengan memadukan aksi jalanan dan literasi digital, perjuangan buruh dapat melampaui batas simbolik, dan menjadi kekuatan transformatif dalam demokrasi digital yang inklusif.
Pola Penggembosan oleh Buzzer
Sebelum Aksi May Day tahun 2025, peran "buzzer" belumlah masif, kebanyakan hanya sekedar menyebarkan narasi bahwa Aksi May Day tahun 2025 yang akan berlangsung ditunggai banyak pihak, seperti kepentingan politik, dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu yang umum terjadi untuk menggembosi gerakan sosial. Namun, ada yang janggal pada Aksi May Day tahun ini, di mana selama pra-aksi hingga ketika aksi, justru serangan "buzzer" dirasa tidak sekencang aksi-aksi sebelumnya, seperti Aksi Indonesia Gelap atau pun Aksi Tolak RUU TNI. Justru, serangan "buzzer" paling kerasa yakni pasca-aksi, di mana banyak sekali mahasiswa serta masyarakat yang ditangkap lalu dengan cepat selang satu atau dua hari ditetapkan sebagai tersangka, tanpa pendampingan hukum, atau bisa dibilang menyalahi prosedur hukum. Mulailah, serangan para "buzzer" tiba-tiba datang dengan begitu banyaknya, mulai dari mengunggah video yang menarasikan mahasiswa melakukan tindakan anarkis dan sebagainya. Bahkan, akun-akun media sosial yang khusus mengunggah perjuangan mahasiswa juga diserang dikolom komentar dengan narasi menyudutkan peristiwa aksi tersebut. Mereka membuat "framing" mahasiswa dengan narasi negatif, seperti “anarko”, "mahasewa", "Aksi May Day ditunggangi", dan lain sebagainya. Yang lebih parah, para "buzzer" tersebut juga melakukan tindakan yang tidak etis dan berpotensi melanggar hukum, yaitu dengan men-doxing para mahasiswa serta masyarakat yang ditetapkan menjadi tersangka. Selain itu, para "buzzer" juga menyebarkan berita "hoax". Secara otomatis, hal-hal tersebut dapat mencermankan nama baik dari para tersangka.
Serangan para "buzzer" ini, menimbulkan pertanyaan publik serta pertanyaan dari simpatisan aksi, seperti ada hal yang janggal dalam serangan "buzzer" pasca-aksi. Kejanggalan yang paling terlihat adalah potensi bahwa "buzzer" yang menyerang secara naratif tersebut adalah para "buzzer" yang “dibayar” oleh aparat kepolisian. Hal ini membuat publik murka dengan aparat, “kok bisa-bisanya aparat mbayar 'buzzer' buat nyerang masyarakat yang seharusnya dilindungi”. Dan tidak hanya itu, bahkan aparat kepolisian sendiri juga mengomentari serta meramaikan kolom komentar akun yang ada di berbagai platform yang mengunggah kejadian Aksi May Day tahun 2025, dan pasti menarasikan buruk para peserta aksi atau simpatisan aksi. Fenomena ini bukan sekadar penggiringan opini, melainkan upaya konkret untuk menghancurkan karakter dan psikologis individu yang menjadi target, yang dalam banyak kasus belum mendapatkan pendampingan hukum layak, atau bahkan belum terbukti bersalah.
Keterlibatan akun-akun yang diduga milik atau berafiliasi dengan aparat keamanan, menambah daftar panjang persoalan serius dalam demokrasi digital di Indonesia. Jika benar para aparat ikut serta atau memfasilitasi narasi-narasi penggembosan ini, maka kita sedang menyaksikan erosi serius terhadap prinsip "due process of law" dan perlindungan hak asasi manusia. Negara, dalam hal ini pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung warga negara, justru bertindak sebagai pelaku yang menggunakan infrastruktur digital untuk mendeligitimasi gerakan sosial. Hal ini menandai babak baru dalam represi, bukan hanya fisik dan hukum, tetapi juga melalui manipulasi ruang informasi publik yang seharusnya netral dan demokratis.
Counter Narasi
Melihat kondisi di media sosial yang sedemikian rupa, akhirnya dari mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat melakukan counter narasi dengan mengunggah berbagai postingan yang menunjukkan tindak kekerasan yang dilakukan kepolisian selama Aksi May Day tahun 2025 berlangsung, dan menyertakan tagar, seperti #BEBASKANKAWANKAMI, #ALLEYEONSEMARANG, #STOPKRIMINALISASIAKTIVIS, dan lain sebagainya. Perang "buzzer" dikolom komentar pun tidak terelakan lagi diberbagai platform media sosial, mulai dari "Instagram", "Twitter (X)", hingga "Tiktok". Selain itu, beberapa simpatisan aksi yang turut ikut dalam membangun narasi di media sosial, mendapatkan intimidasi, seperti ditelpon nomor tidak dikenal, hingga dipantau sampai kost atau tempat tinggal mereka, dan lain sebagainya. Para simpatisan aksi mengalami tindakan intimidasi selama beberapa hari ke depan, serta merasa tidak aman dengan berbagai isu yang beredar di media sosial.
Media sosial, pasca Aksi May Day 1 Mei 2025, mempertontonkan perannya sebagai arena kontestasi sosial-politik yang sangat signifikan. Ketika narasi resmi atau dominan yang disebarluaskan oleh aparat negara dan "buzzer" pro-status quo berupaya membingkai gerakan sosial sebagai tindakan anarkis atau tidak sah, muncul upaya tandingan dari masyarakat sipil, terutama mahasiswa, aktivis, dan simpatisan aksi. Mereka secara kolektif berusaha meluruskan informasi melalui unggahan-unggahan yang menampilkan dokumentasi kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, hingga pelanggaran hak asasi manusia. Tagar-tagar seperti #BEBASKANKAWANKAMI, #ALLEYEONSEMARANG, dan #STOPKRIMINALISASIAKTIVIS, menjadi bentuk artikulasi digital dari tuntutan keadilan dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Menjadi suatu hal yang tidak dapat disangkal, bahwasanya ruang digital kini mengambil peran sebagai medan perjuangan selain dilapangan, dan tidak kalah beresikonya. Upaya counter narasi tersebut, justru menjadi pemantik bagi tindakan represif non-formal, seperti doxing, ancaman melalui telepon anonim, hingga pengintaian terhadap lokasi tempat tinggal para simpatisan gerakan. Tindakan-tindakan ini merupakan bentuk baru represivitas yang menyasar aspek psikologis dan privasi individu, yang secara implisit bertujuan membungkam suara kritis dan mempersempit ruang gerak solidaritas publik. Fenomena ini selaras dengan apa yang disebut oleh Zuboff (2019) sebagai "surveillance capitalism", di mana teknologi dan data pribadi dimanfaatkan untuk mengontrol wacana, serta membentuk ulang relasi kuasa antara negara dan warganya.
Penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk memahami dan membaca situasi media sosial saat ini, di mana hal tersebut mencirikan terjadinya krisis demokrasi digital di Indonesia. Ketika partisipasi publik yang sehat dalam demokrasi justru dibalas dengan intimidasi, maka negara sedang memperlihatkan kegagalannya dalam menjamin perlindungan atas hak-hak sipil dan politik warganya. Dalam konteks ini, media sosial tidak lagi hanya menjadi alat komunikasi, melainkan juga medan perjuangan simbolik antara kontrol dan kebebasan, antara hegemoni dan resistensi. Gerakan counter narasi bukan sekadar reaksi spontan, tetapi merupakan bentuk praksis politik digital, yang menunjukkan bahwa demokrasi sejati tidak dapat dipisahkan dari keberanian masyarakat dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan ruang sipil yang merdeka.
Dampak Penggembosan terhadap Gerakan Aksi May Day
Penggembosan yang terjadi selama Aksi May Day tahun 2025, baik itu pra-aksi, ketika aksi, hingga pasca-aksi, menimbulkan efek psikologis terhadap masyarakat serta menyebarkan rasa tidak aman, mengingat aksi dilapangan begitu "chaos", tegang, bahkan mencekam, menyebabkan rasa traumatik yang mendalam akibat tindakan represivitas aparat yang dilakukan terhadap massa aksi yang tidak membawa apa-apa, bahkan hingga menggunakan hukum untuk menggembosi gerakan dengan menjadikan beberapa massa aksi sebagai tersangka sewaktu pasca-aksi. Rasa traumatik ini juga mengubah perilaku dan tindakan sosial di masyarakat, seperti adanya "anxiety" atau kekhawatiran, bahwasanya menjadi “buron” aparat kepolisian karena diduga melakukan tindakan anarkis dan sebagainya. Selain itu, juga memperburuk citra aparat kepolisian sendiri di mata masyarakat yang berakibat kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat semakin enggan untuk berinteraksi sosial dengan aparat kepolisian itu sendiri. Rasa tidak aman ini sangat berpengaruh terhadap kegiatan sehari-hari para massa aksi, mereka yang mahasiswa menjadi khawatir ketika berangkat kuliah, sedangkan mereka yang bekerja menjadi tidak nyaman dan diliputi rasa "was-was". Selain itu, para orang tua juga menjadi khwatir akan keselamatan anak-anaknya.
Efek domino dari penggembosan ini, berdampak langsung pada kepercayaan publik terhadap institusi negara, terutama aparat penegak hukum. Ketika aparat tidak lagi dipandang sebagai pelindung masyarakat, melainkan sebagai ancaman, maka yang tergerus bukan hanya legitimasi institusional, tetapi juga modal sosial yang menjadi landasan hubungan antara negara dan warga negaranya. Citra kepolisian sebagai aktor represif, justru memperlebar jarak antara negara dan rakyatnya, memperkuat alienasi masyarakat dari ranah-ranah partisipasi politik, menumbuhkan sentimen anti-otoritarian yang bisa menjelma dalam bentuk perlawanan diam-diam (silent resistance), serta disorientasi politik yang berkepanjangan. Negara, dalam hal ini pemerintah, wajib untuk merefleksikan praktik-praktik penanganan aksi, yang justru kontra-produktif terhadap demokrasi. Revisi terhadap pendekatan keamanan dalam menghadapi gerakan sosial harus dilakukan secara serius, agar tidak terjebak dalam siklus represi, yang melahirkan ketidakpercayaan dan disintegrasi sosial. Pemerintah seharusnya hadir sebagai fasilitator dialog, bukan represor aspirasi. Jika tidak, maka penggembosan semacam ini hanya akan memperkuat posisi masyarakat sebagai korban berulang dalam sirkuit kekuasaan yang otoriter dan tidak akuntabel.
Penutup
Fenomena penggembosan gerakan sosial melalui "buzzer" dalam konteks Aksi Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025, menunjukkan wajah baru dari represi kekuasaan di era digital. Gerakan sosial, yang sejatinya merupakan ekspresi sah dalam demokrasi, kini tidak hanya dihadapkan pada tekanan di ruang fisik, tetapi juga ancaman sistematis di ruang maya, melalui disinformasi, "framing" negatif, hingga kriminalisasi berbasis narasi digital. "Buzzer" politik berperan besar dalam mendistorsi opini publik, menimbulkan ketakutan kolektif, serta menciptakan polarisasi yang merusak kohesi sosial. Penggembosan ini berdampak luas, mulai dari intimidasi terhadap individu, pengikisan kepercayaan publik terhadap institusi negara, hingga terganggunya aktivitas keseharian warga negara yang berpartisipasi dalam aksi. Ketika ruang partisipasi demokratis justru dibungkam dengan kekerasan dan narasi manipulatif, maka negara gagal menjalankan mandat konstitusionalnya dalam melindungi hak-hak sipil dan politik warganya. Ruang digital, yang semestinya menjadi medium demokratisasi informasi, telah direbut oleh kekuatan oligarkis yang memproduksi ketakutan dan ketidakpercayaan melalui mesin algoritmik dan aparat naratif.
Oleh karena itu, diperlukan perlawanan yang cerdas dan terorganisir dari masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, serta komunitas digital, untuk terus memperjuangkan ruang demokrasi yang bebas dan setara. Edukasi literasi digital, penguatan advokasi hukum terhadap korban represi digital, serta pembentukan ekosistem media alternatif yang berpihak pada kebenaran, adalah langkah-langkah strategis ke depan. Gerakan sosial tidak boleh mundur oleh tekanan, justru harus adaptif terhadap perubahan zaman dengan menjadikan ruang digital sebagai medan perjuangan baru. Hanya dengan keberanian kolektif dan solidaritas lintas sektor, keadilan sosial yang menjadi cita-cita gerakan buruh dapat terwujud secara nyata, di tengah krisis demokrasi yang semakin kompleks.
Tags:
Opini