Oleh Kelas Alienasi (PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Jum'at, 29 Agustus 2025 - 04.35 WIB
![]() |
Ilustrasi Mobil Taktis Kepolisian yang Dikelilingi oleh Massa Aksi Demontrasi (Foto dibuat dengan AI) |
Menyoal represifitas aparat di Indonesia, seakan tidak ada habisnya. Peristiwa
demi peristiwa selalu terjadi saja tiap waktunya. Kekejaman terlihat jelas dan nyata,
hingga terkadang merenggut korban jiwa.
Pada hari Kamis, 28 Agustus 2025, represifitas aparat kembali terjadi di
Indonesia. Korban jiwa pun tak dapat terelakkan. Aksi demonstrasi bertajuk
“Pembubaran DPR RI” di Jakarta, menjadi bukti kebengisan aparat negara.
Seorang warga sipil bernama Affan Kurniawan, tercerabut nyawanya akibat
represifitas aparat. Affan dilindas menggunakan mobil taktis milik kepolisian.
Sempat ia dibawa ke rumah sakit, namun takdir kematian menjemput ajalnya.
Tragedi ini seakan menunjukkan bahwa memang kekerasan tak dapat
dipisahkan dari aparat negara, terkhusus anggota kepolisian. Peran sebagai
pengayom dan pelindung masyarakat, seakan hanya kiasan belaka. Padahal,
konstitusi berkata demikian. Ternyata, fakta di lapangan berkata sebaliknya.
Apabila kita melihat video-video yang beredar di media sosial, yang
menunjukkan kebengisan aparat, terutama pada peristiwa dilindasnya saudara
Affan Kurniawan oleh mobil taktis kepolisian, pasti akan terlintasi pada benak kita
sebuah pertanyaan: mengapa aparat negara selalu saja melakukan represifitas
terhadap rakyat?
Tulisan ini hadir, guna menjawab pertanyaan tersebut melalui beberapa
pandangan tokoh ternama: Antonio Gramsci, Louis Althusser, dan Karl Marx.
Menurut mereka, aparat negara merupakan tangan kanan penguasa yang bertugas
untuk menjaga kekuasaannya.
Kekerasan Aparat dalam Pandangan Antonio Gramsci
Aparat negara tidak sekadar menjadi penjaga keamanan, melainkan senjata
tajam kelas penguasa untuk menindas dan mengerdilkan rakyatnya sendiri. Dalam
buku yang ditulis oleh Nezar Patria dan Andi Arief (1999) yang berjudul “Antonio
Gramsci: Negara dan Hegemoni”, Antonio Gramsci menuturkan bahwa negara adalah mesin kekuasaan integral yang menggabungkan kekerasan koersif lewat
polisi dan militer, serta penyebaran propaganda ideologis melalui lembaga
masyarakat sipil. Ketika masyarakat tidak lagi "patuh" dengan sukarela atas
hegemoni kelas penguasa, aparat negara turun tangan dengan tangan besinya, guna menegakkan ketertiban dengan kekerasan legal yang brutal dan mematikan.
Pada realitas di tahun 2025, kekejaman aparat terhadap massa aksi tidak
terbantahkan. Represifitas berlebihan yang melanggar hak hidup dan kebebasan
berpendapat, justru terjadi di tengah tatanan hukum yang seharusnya melindungi
warga negara. Aksi Pembubaran DPR RI di Jakarta, menjadi
saksi bisu bagaimana negara menggunakan aparatnya untuk membungkam suara
rakyat dengan kejam, bahkan sampai menghilangkan nyawa dan menghancurkan
kebebasan fundamental yang sudah diatur Undang-Undang.
Sesuai dengan pernyataan Antonio Gramsci, ini bukan sekadar
ketidakberesan aparat, melainkan esensi dari bagaimana kekuasaan dijaga bukan
hanya lewat persuasi ideologis yang samar, tetapi juga aksi koersif yang nyata dan
brutal. Aparat negara adalah alat praktis kelas penguasa untuk mengintimidasi dan
menekan kelas subordinat saat hegemoni ideologis mulai goyah. Kekuasaan bukan
hanya menuntut kesepakatan pasif, tapi juga siap membungkam rakyat dengan
peluru dan penjara, serta menciptakan paradoks antara janji demokrasi dan praktik
otoritarianisme.
Kejahatan represif aparat ini mengungkap kebohongan besar negara integral.
Menurut Gramsci: di balik sunyi dan santun propaganda, ada tangan besi yang siap
meremukkan semangat perlawanan dan merenggut hak-hak yang mestinya dijamin.
Ini bukan hanya kritik teoritis. Ini adalah seruan untuk membuka mata dan melawan
dominasi yang disamarkan sebagai ketertiban. Aparat bukan pelindung rakyat, tapi
eksekutor kekuasaan tirani yang mempertahankan hegemoni dengan cara yang keji. Kekuasaan tidak pernah bersih, sedangkan persetujuan sosial adalah kedok
yang bisa dirobek oleh realita kekerasan negara. Inilah wajah sebenarnya dari
hegemoni: manipulasi ideologi yang didukung oleh kekuatan represif tanpa
kompromi.
Kekerasan Aparat dalam Pandangan Louis Althusser
Louis Althusser (1970) dalam bukunya “Ideology and the Ideological State
Apparatuses” pernah mengingatkan dengan tajam: negara tidak pernah sepenuhnya
hadir untuk rakyat. Ia lebih sering menjelma menjadi alat kelas berkuasa, serta
menjadi sebuah mesin dingin yang setia menjaga kepentingan penguasa agar
singgasananya tetap abadi. Dalam kerangka pemikirannya, lahirlah konsep
Represive State Apparatus (RSA), yakni lembaga-lembaga koersif yang didesain
bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk menundukkan mereka.
RSA hadir secara nyata dalam wujud kepolisian, militer, dan bahkan hukum
institusi yang seolah-olah berbicara atas nama keadilan, tapi di balik jargon manis
seperti “Polri untuk Masyarakat”, tersimpan wajah asli: wajah penguasa yang
bertopeng legitimasi, tapi bertangan besi. Mereka menggunakan paksaan,
kekerasan, dan ancaman sebagai bahasa sehari-hari untuk membungkam suara
rakyat.
Kita sudah terlalu sering menyaksikannya. Di jalanan, aksi demonstrasi dibubarkan secara brutal. Di ruang hukum, pasal-pasal karet disulap menjadi jerat
bagi kebebasan berpikir dan berekspresi. Semua ini bukan sekadar upaya menjaga
keteraturan, melainkan strategi licik untuk memastikan status quo tetap berdiri
megah dan tak tergoyahkan.
RSA menampakkan wajah telanjang ketika rakyat turun ke jalan. Pada aksi
May Day, hari Kamis, 1 Mei 2025 di Semarang, aparat tak segan menembakkan water
cannon, menghantam massa dengan pukulan, hingga menyeret mereka ke dalam
penangkapan. Itu baru sebagian.
Tanggal 28 Agustus 2025, luka bangsa kembali
menganga. Dalam aksi besar menuntut Pembubaran DPR RI di Jakarta, represifitas negara
bukan hanya membubarkan massa dengan gas air mata. Lebih dari itu, nyawa rakyat
melayang di bawah roda besi mobil taktis yang dikendarai polisi sendiri. Seorang
demonstran tewas terlindas oleh kendaraan tersebut. Aparat kepolisian yang
seharusnya menjaga massa demonstrasi, pada kenyataannya telah melakukan
pembunuhan.
Inilah wajah asli negara: aparat yang dipersenjatai rakyat justru dipakai untuk
menginjak rakyat. Demokrasi dikubur hidup-hidup, keadilan dipermainkan, dan
darah rakyat dijadikan tumbal demi melanggengkan kursi-kursi busuk di Senayan. Represive State Apparatus bukan sekadar konsep, ia adalah kenyataan pahit yang saat
ini kita saksikan dengan mata kepala sendiri.
Kekerasan Aparat dalam Pandangan Karl Marx
Karl Marx (1867) dalam bukunya "Das Kapital”, dengan tegas menyatakan
bahwa negara bukanlah entitas yang berdiri sendiri dan netral, melainkan alat dari
kelas penguasa untuk menindas dan mengontrol kelas bawah demi menjaga
kepentingan ekonominya. Aparat negara—polisi, militer, dan institusi birokrasi—bekerja bukan untuk rakyat, melainkan sebagai mesin penindas yang
mempertahankan kekuasaan segelintir elit penguasa yang terus meraup keuntungan
dari sistem kapitalisme yang timpang.
Ketika aparat-aparat melakukan tindakan represif di lapangan—membubarkan demonstrasi, menangkap tanpa proses hukum yang jelas, bahkan
menggunakan kekerasan brutal—maka itu bukanlah kegilaan sesaat, melainkan
bukti nyata dari fungsi negara menurut Karl Marx. Mereka secara terang-terangan
menindas rakyat yang hanya sekadar menuntut keadilan dan perubahan, serta
memastikan agar suara-suara protes yang menggugat sistem tetap dibungkam
dengan kekerasan. Inilah wajah asli sebuah negara yang tidak peduli akan Hak
Asasi Manusia (HAM). Negara menjadikan aparat sebagai alat. Pada faktanya,
tugas utama aparat hanyalah menjaga agar kelas penguasa tetap berkuasa tanpa
tandingan, meskipun dengan menginjak-injak hak dan martabat rakyat biasa.
Paradoks Demokrasi dan Tangan Besi Negara
Dari pemikiran Antonio Gramsci, Louis Althusser, hingga Karl Marx, jelas
tergambar bahwa represifitas aparat bukanlah sekadar tindakan menyimpang
individu atau oknum belaka, melainkan bagian integral dari cara negara menjaga
kekuasaannya. Aparat negara, yang seharusnya hadir sebagai pelindung rakyat,
justru menjelma menjadi alat koersif kelas penguasa untuk membungkam suara
rakyat dan menyingkirkan setiap perlawanan.
Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan pada tanggal 28 Agustus 2025 di Jakarta, bukanlah
peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah potret telanjang dari wajah negara yang
otoriter, yang menutupi kekerasan dengan jargon demokrasi. Ketika hegemoni ideologis gagal meyakinkan rakyat, maka tangan besi aparat diturunkan untuk
memaksa kepatuhan. Inilah paradoks besar negara modern: mengaku demokratis,
namun beroperasi dengan cara-cara represif.
Maka, tugas kita sebagai rakyat bukan hanya mengutuk kekerasan aparat,
melainkan menyadari akar struktural dari masalah ini. Selama negara masih
menjadi alat kelas penguasa, selama hukum hanya berpihak pada elit, dan selama
aparat dipersenjatai bukan untuk melindungi rakyat melainkan menundukkan
mereka, tragedi seperti ini akan selalu berulang.
Kesadaran kritis adalah langkah pertama untuk melawan. Karena hanya
dengan membuka tabir ideologi palsu dan menolak legitimasi palsu negara, rakyat
bisa merebut kembali ruang demokrasi yang sejati—sebuah ruang di mana aparat
bukan lagi algojo kekuasaan, melainkan benar-benar pengayom rakyat.
Tags:
Opini