![]() |
Ilustrasi Orang Samin |
Samin. Adalah nama suatu suku yang tinggal
di sekitar Pegunungan Kendeng. Tersebar di wilayah Blora dan Pati. Dinamakan
Samin karena pencetus ajarannya bernama Samin Surosentika. Mereka dikenal
sebagai orang yang kulot, nyeleneh, dan wagu. Meski tidak semua
sisi kehidupannya begitu.
Namun, dalam tulisan kali ini bukan
membahas mengenai seluk beluk Suku Samin, melainkan satu sisi unik dalam
kehidupan mereka.
Tulisan ini berdasarkan pada penuturan
teman saya yang bernama Didin, yang tinggal di Prawoto, Sukolilo dan
bertetangga dengan orang Samin. Ia bertutur mengenai Mbah Kadar (nama
disamarkan) yang merupakan orang Samin dan kisah seekor kerbau.
Mbah Kadar adalah seorang Samin tulen yang
masih memegang ajaran-ajaran Samin. Dia adalah petani, memiliki beberapa petak
tanah yang ditanami jagung. Berkat keuletan dan ketelatenannya, jagung tumbuh
dengan subur dan tanpa hama.
Konsep hama menurut Mbah Kadar ialah
segala sesuatu yang mengganggu tanamannya, tak peduli apa pun itu. nah, di
sinilah cerita itu berawal.
Suatu ketika, tatkala berjaga di kebun
jagungnya, dia memandang sambil membayangkan hasil panennya nanti. Tak ada satu
pun hama pengganggu di sana. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara krasak-krusuk
di sebelah timur. Tentu saja Mbah Kadar curiga dan penasaran. Disamperilah asal
suara yang mengganggu itu.
Di sana, dibalik dedaunan jagung yang
hijau, seekor kerbau begitu asyik memakan jagungnya. Bahkan beberapa tanaman
jagung di sekelilingnya rusak dan terinjak-injak. Namun kerbau itu tetap asyik
memakan jagung, tanpa merasa berdosa –namanya juga kerbau, mana kenal dosa.
Melihat hal itu, memuncaklah amarah Mbah Kadar.
“Trassshhh!” Dengan sigap, Mbah Kadar
membacok leher kerbau tersebut. Kerbau yang sedang asyik makan itu tak bisa
mengelak. Lalu menjerit hingga jeritannya di telan kesunyian.
Di sore hari, si pemilik kerbau mencari
kesana kemari kerbaunya yang belum juga pulang ke kandang. Ia menelusuri hingga
ke pinggiran desa. Menjelang maghrib, sampailah ia ke kebun Mbah Kadar tadi dan
melihat bayangan coklat di sana. Tentu saja ia penasaran, jangan-jangan gunung
baru, eh kerbaunya. Ia pun mendekat, dekat, dan semakin dekat.
Betapa gembiranya ketika kerbau miliknya
sedang njerom* di sana. Namun, kenapa tak bergerak?
“Masyaallah! Tega sekali orang yang
berbuat ini kepada kerbauku. Siapa dia? Kurang ajar betul.”
Si pemilik kerbau marah campur sedih. Ia
pun menduga Mbah Kadar pelakunya karena kebun itu miliknya. Keesokan hari, si
pemilik kerbau pergi ke rumah Mbah Kadar bersama dua orang polisi. Ia ingin
menanyakan kejelasan. Jika benar, maka ia meminta ganti rugi.
“Mbah Kadar iki piye ta? Kok
iso-isone nganti mateni keboku?! Pokoknya saya minta ganti rugi!”
“Lho lho lho... Kok malah sampeyan yang
minta ganti rugi. Seharusnya yang minta ganti rugi itu ya saya. Lha wong
kebo sampeyan wis ngrusak jagungku.”
“Tidak bisa, Mbah!”
“ Lha kok tidak bisa?” ucap Mbah Kadar
tenang sambil mipil** jagung di emperan waktu itu,
“Sekarang saya tanya
tolong dijawab ya. Yang namanya hama itu kan yang merusak tanaman, kan?”
“Betul.”
“Kalo merusak tanaman berarti harus
diapakan?”
“Dibasmi ta, Mbah! Di bunuh sampai ke
akar-akarnya.”
“Nah, tanaman saya dirusak oleh kerbau sampeyan.
Karena sudah merusak tanaman berarti kerbau sampeyan?” Tanya Mbah Kadar
sembari memainkan logika si pemilik kerbau.
“Hama?”
“Nah, berarti harus di?”
“Bas... Ya, ndak bisa begitu, Mbah!
Itu kerbau saya satu-satunya, masa mati begitu saja.” Si pemilik kerbau tak
terima.
“Lha masih mending, sampeyan tidak
saya mintai ganti rugi.”
Mbah Kadar selesai memipil jagung
dan ia pun kembali ke dalam rumah. Menutup pintu dan menguncinya, membiarkan
suara teriakan di luar sana.
“Wong saya bener kok mau diapusi.”
gumamnya, kemudian menuju dapur.
*njerom : keadaan dimana hewan mengunyah makanannya sambil berbaring.
**mipil: memipil, melepas biji jagung dari tongkolnya.
(Aisyah SN, penyuka novel-novel fantasi. kader PMII Rayon Bahasa dan Seni/ A)
Tags:
Cerpen