Telaah Kritis Ekspresi Keberislaman Kita



Sumber:  freedeskwallpapers.com


Sejak dulu ekspresi keberislaman kaum muslimin di seluruh dunia sudah terkotak-kotak sedemikian rupa, hal ini lebih disebabkan karena banyaknya paradigma yang berkembang di masyarakat tentang Islam itu sendiri. M. Syafi'i Anwar dalam bukunya, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, mengelompokkan paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum muslimin ada dua. Paradigma itu adalah (1) substantif-inklusif dan (2) legal-ekslusif.


Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantif-inklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan  konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik. Adapun ciri-ciri yang menonjol pada  pemikiran substantif-inklusif ada empat. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al  Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan detil-detil pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain.
Kedua, pendukung paradigma substantif-inklusif meyakini bahwa misi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk membangun kerajaan atau  negara. Tetapi seperti halnya para nabi lainnya, yakni mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan. Dengan demikian misi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain Fawzi al-Najjar, concern utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam (al-wihda al-ijtimai) daripada membangun sebuah negara atau sistem pemerintahan. Kenyataan kemudian terbukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk melakukan  musyawarah dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian terpilih Abu Bakar.  Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali  semuanya melalui sistem dan mekanisme yang berbeda.
Ketiga, para proponen paradigma substantif-inklusif berpendapat bahwa syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. Demikian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan spesifik yang berkaitan dengan  pemerintahan atau sistem politik. Karena Islam dipandang semata-mata sebagai agama dan bukannya sebuah sistem  yang berkaitan dengan tertib negara, syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, tetapi tetap diletakkan dalam kerangka sistem keimanan Islam. Menurut Al-Ashmawi, mantan hakim agung Mesir yang juga dikenal sebagai pemikir progresif Islam terkemuka, bahkan Al Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan  membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi etis yang mulia.
Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantif-inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai–nilai Islam (Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan  kelembagaan politik mereka. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung untuk  mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu diantara kekuatan kultural yang bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan itu, proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi dan bukannya politisasi.
Sementara itu, paradigma legal-eksklusif mempunyai ciri-ciri umum  sebagai berikut. Pertama, paradigma legal-eksklusif dalam pemikiran politik Islam meyakini  bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan ummat manusia. Para pendukung paradigma legal-eksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didesain untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legal-eksklusif mewajibkan  kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam. Paradigma ini menghendaki agar  ummat Islam selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya (khulafa ar  rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan  modal untuk mewujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsep-konsep politik Barat. Akibatnya, paradigma ini mendorong ummat Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistem sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam.
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, dan dunia  tersebut. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam  seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya,  paradigma ini juga menegasikan adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang implementasinya harus didukung oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi dan misi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim untuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai alternatif terhadap sistem-sistem dunia yang berlaku.
Keempat, dalam konteks politik paradigma legal-eksklusif menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia, pendukung paradigma legal-eksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.
Menurut Edi Mulyono dalam salah satu artikelnya, ekspresi wajah kedua paradigma yang sama-sama menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber pandangannya ini sangat bertolak belakang. Yang pertama, cenderung kontekstual dan metodologis dan yang kedua cenderung tegas, radikal, dan ofensif.
Pendukung paradigma legal-eksklusif sangat rentan menghasilkan pemahaman dan penafsiran teks al-Qur’an dan hadits yang ahistoris (karena selalu menjadikan “masa lalu” sebagai “sejarah yang final dan baku” sehingga dinamika sosial-budaya kekinian yang notabene adalah pula sejarah tertepikan). Berikutnya, cenderung menjadi ideologis (karena senantiasa menjadikan “ideal pemahaman tekstual” sebagai kebenaran tunggal). Lalu, tekstualis (sebab memandang teks al-Qur’an dan hadits sebagai “korpus tertutup”). Dan, akhirnya, negasi (bertipikal truth claim, memutlakkan penafsiran).
Di tangan umat yang tidak karib dengan tradisi akademik dan dialog, paradigma legal-eksklusif ini tertampilkan sebagai “seharusnya semua umat Islam seperti kami” agar “sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.”, dan “selamat di dunia dan akhirat”, maka “kalian harus mengikuti kami”.
Pada satu sudut, tentu saja keyakinan mutlak terhadap iman adalah harga mati. Ia sahih adanya. Saya pun demikian. Namun, ditakik dari sudut lain, paham ini sangat problematis tatkala mulai masuk ke ranah fiqh, politik (siyasah), tradisi (turats), dan dakwah. Hasrat memutlakkan pemahaman dan penafsiran yang niscaya selalu beragam menjadi “titik didihnya”. Ragamnya mazhab fiqh, ekspresi politik, varian tradisi, dan metode dakwah merupakan keniscayaan alamiah yang mustahil dipaksa seragam. Penerimaan terhadap perbedaan dan apresiasi terhadap persamaan paham dan tafsir sontak tak terbuhul di sini. Dampaknya menjadi benderang, watak eksklusif dan negasi menjadi ciri utama dari paradigma legal-eksklusif ini.
Di sebelahnya, pendekatan paradigma substantif-inklusif kepada teks al-Qur’an dan hadits menghasilkan corak yang telak berbeda. Kelompok ini sangat mengutamakan keterbukaan, serapan, dan dinamisasi interaktif antara teks dengan realitas hidup umat Islam. Teks al-Qur’an dan hadits diletakkan sebagai “korpus terbuka” –meminjam istilah Mohamed Arkoun—sehingga pemahaman dan penafsiran sebuah teks selalu berkembang dinamis dengan basis metodelogis yang diskursif dan debatable. Ciri kelompok ini ialah kontekstual, dialogis, dan dinamis-progresif. Tentu saja, ekspresi keberislaman mereka menjadi lebih toleran dan terbuka pada ragam perbedaan paham dan tafsir.
Bahwa kedua faksi ini sama-sama memiliki modal metodologis dan keilmiahan, ini benar adanya. Bahwa kedua faksi ini sama-sama berhak untuk hidup dan tampil, ini benar adanya. Bahwa kedua faksi ini sama-sama “semata sedang” melakukan pemahaman dan penafsiran terhadap teks al-Qur’an dan hadits, ini benar adanya. Bahwa kedua faksi ini sejatinya sama-sama sedang berusaha mengejawantahkan kalam Allah dan ajaran Rasulullah , yang tak ada seorang pun manusia berhak mengklaim “telah berada di jalan-Nya dan jalan Rasulullah, inilah kehakikian upaya-upaya pencarian.
Yang menjadi barometer empiris atas adanya sebuah problematika bukanlah pada pendekatan paradigma substantif-inklusif atau legal-ekslusif yang dianut, memilih mengikuti faksi satu atau lainnya, tetapi sepenuhnya pada “sejuk/tidak, damai/tidak, akur/tidak”. Bila sebuah pandangan, substantif-inklusif atau legal-ekslusif, menisbatkan truth claim, niscaya ia menyimpan problem seketika itu juga. Sebab, dapat dipastikan, watak truth claim secara ideologis akan mendorong penganutnya untuk melakukan negasi: hanya kami yang benar, yang selain kami salah; hanya kami yang sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya, yang selain kami sesat; berikutnya, hanya kami yang berhak mewarisi surga-Nya, yang selain kami akan masuk neraka-Nya.
Secara sosial, watak truth claim akan mendorong penganutnya untuk intoleran dan eksklusif, bahkan ofensif. Tentu saja, tiga praktik sosial ini akan memantik masalah di tengah keragamannya. Tidak serta merta, pendukung paradigma substantif-inklusif tidak berpotensi menyimpan watak intoleran dan eksklusif, bahkan ofensif ini. Bila ekspresi keagamaannya ternyata membuahkan negasi kepada pendukung paradigma legal-eksklusif, sejatinya mereka tidaklah berbeda secara sosial. Sama-sama berambisi menegasi.
Dalam watak sosialnya yang cenderung intoleran, tak perlu ditutup-tutupi bahwa ada satu nilai plus pada pendukung paradigma legal-eksklusif yang cukup langka dimiliki pendukung paradigma substantif-inklusif, yakni kepatuhan amaliah (ritual) yang sangat menakjubkan. Boleh jadi mereka ditabalkan “fakir wacana” karena “fakir dinamika dan progresivitas kontekstual”, seperti kegemarannya memvonis musik haram, foto haram, lukisan haram, traveling haram, mengucapkan selamat Natal haram, bercelana panjang sampai ke mata kaki itu tasyabuh kaum kafir, dll., hingga penampikan hal-hal kekinian yang asalinya manusiawi belaka dengan senarai bid’ah. Apa yang saya maksud “fakir wacana” ialah dominasi peminggiran peran nalar, akibat metode tafsir tekstual, sehingga efeknya wacana keislaman jadi stagnan, beku, dan kaku. Seolah, kita yang hidup di era milenial ini, di Indonesia, haruslah berwajah sama dengan umat Islam di era abad pertengahan, khususnya umat Islam Arab Saudi dan Timur Tengah.
Pada derajat ini, pendukung paradigma legal-eksklusif ini memang tidak menjanjikan watak berislam yang dinamis sesuai realitas ruang dan waktu yang melingkupi hidup kita. Islamnya pendukung paradigma legal-eksklusif nampak ahistoris. Bahkan, asosial –kecuali sesamanya. Tetapi, perhatikanlah segera, betapa mereka sangat mematuhi ibadah-ibadah dan amaliah-amaliah syariatnya. Jangankan yang wajib-wajib, yang sunnah-sunnah saja dipelihara benar. Shalat jamaah, misal, mereka juaranya. Hafalan Alqur’an, mereka pionernya, Ini merupakan fakta-fakta luar biasa yang idealnya mutlak dilakukan oleh semua umat Islam tanpa kecuali.
Di sebelahnya, pendukung paradigma substantif-inklusif yang membela perilaku sosial yang inklusif, kontekstual, progresif, dan toleran menjanjikan watak berislam yang sangat historis, sosial, dan memanusiakan manusia benar. Jangankan sekadar keragaman paham dan aliran, bahkan keragaman keyakinan pun diapresiasi. Secara sosial, di tengah keragamannya macam Indonesia, mereka menjadi lokomotif wajah Islam yang ramah terhadap segala perbedaan. Klop sekali.
Pencapaian watak ini dipersembahkan oleh keluasan interaksi sosial dan keilmuan mereka, termasuk dari khazanah Yunani macam filsafat dan Barat macam sekularisme. Mereka memiliki daya jelajah yang sangat luas pada akses pergaulan dan ilmu pengetahuan kontemporer. Kepada filsafat, demokrasi, feminisme, hingga pluralisme, sekularisme, dan liberalisme, mereka karib secara wacana dan praktiknya. Walhasil, mereka selalu terdepan dalam khazanah wacana yang terkait dengan pembelaan HAM, lalu dikontekstualisasikan dengan teks-teks naqli, Alqur’an dan hadits, kemudian ditariklah penyimpulan-penyimpulan metodologis sebagai “hukum baru”.
Tanpa bermaksud gebyah uyah, sayangnya, pendukung paradigma substantif-inklusif yang gagah wacana ini acap fakir praktik ritualnya. Sayang sekali. Di hadapan pendukung paradigma legal-eksklusif dalam hal kepatuhan ritual, mereka bukanlah apa-apa. Sederhana saja, berapa banyakkah pendukung paradigma substantif-inklusif yang hafal Al Qur’an, sebagaimana membludaknya pafa hafidz dari pendukung paradigma legal-eksklusif? Seberapa banyak pendukung paradigma substantif-inklusif yang cerdas-cerdas berwacana, yang menjaga marwahnya sekencang-kencangnya, sebagaimana perilaku pendukung paradigma legal-eksklusif, dalam berhubungan dengan lawan jenis non muhrim?
Wajah Islam yang secara lahiriah “tampak angin-anginan”, “tanpa militansi dan fanatisme”, inilah yang menjadikan pendukung paradigma substantif-inklusif sedemikian dihujat oleh pendukung paradigma legal-eksklusif. Lepas dari watak pendukung paradigma legal-eksklusif yang memang gemar melakukan truth claim, dengan dalih salvation claim, perilaku ritual pendukung paradigma substantif-inklusif yang longgar-longgar merupakan pemicu faktualnya.
Di kalangan awam, yang notabene “tidak paham wacana” sehingga “tidak memerlukan” penelusuran pesan moral teks (maqashid syar’i), analisis teoritik yang rumit (manhajul hukmi), hingga sebab lahirnya sebuah hukum (illatul hukmi), perkara siapa yang memikat untuk dimakmumi menjadi sangat sederhana: siapa yang bagus ibadahnya, amaliahnya, shalih kepribadiannya.
Sudah pasti, kedalaman perilaku ibadah pendukung paradigma legal-eksklusif menjadi magnet besar yang memukau mayoritas kaum awam ini. Tak usah heran karenanya bila dari waktu ke waktu pendukung paradigma legal-eksklusif ini semakin tumpah ruah. Tanpa perlu saya sebutkan Islam apa, kita saksikan sendiri (setidaknya) di sosial media, betapa seruan-seruan anti bid’ah, misal, sedemikian merajalelanya, sebagai cerminan meruahnya pendukung paradigma legal-eksklusif ini.
Sekali lagi, pintu masuknya dai-dai pendukung paradigma legal-eksklusif ini adalah magnet kepatuhan ritualnya. Orang awam akan langsung terkesima bila orang yang mengajaknya diskusi Islam ternyata hafal Al Qur’an dan tepat waktu dalam shalat-shalatnya. Berikutnya, mudah saja ia jadi pengikutnya, lalu terjejalkanlah indoktrinasi paham tekstualis pendukung paradigma legal-eksklusif itu. Lalu, jadilah ia pion yang selalu terdepan untuk menyerang pendukung paradigma substantif-inklusif –meski jelas saja secara wacana mereka bukanlah apa-apa; mereka hanya tahu pendukung paradigma substantif-inklusif itu salah, sesat, maka diseranglah tanpa ampun; ya tentu, mereka aslinya hanya martir.
Inilah letak kelemahan mendasar pendukung paradigma substantif-inklusif di hadapan masyarakat muslim awam itu. Tak heran, seluruh dinamika keilmuan dan keislaman yang penuh dinamika dan diskusi itu hanya bergeliat di ruang-ruang kuliah, diskusi, jurnal, dan sulit mendapatkan panggung di mimbar Jum’at, misal. Tak heran, link-link yang berada di halaman pertama mesin pencari didominasi pandangan-pandangan pendukung paradigma legal-eksklusif.
Coba saja anda cari “bagaimana hukum memelihara jenggot”, dapat dipastikan link-link paradigma legal-eksklusif, lah, yang menyeruak di halaman pertamanya. Ketika link itu dibaca seseorang yang awam, mudah saja ia mengangguk-angguk, besoknya membeli minyak firdaus, dan dipoleskan ke sekujur wajahnya dengan penuh kebanggaan bahwa ia sedang mengamalkan ajaran Islam yang benar yang akan menuntunnya ke surga.
Tentunya berbeda memang cara berpikir dan berekspresi antara pendukung paradigma legal-eksklusif dan pendukung paradigma substantif-inklusif. Yang pertama cenderung eksklusif, yang kedua inklusif. Yang pertama cenderung gagah kepatuhan ritualnya dan dangkal wacananya, yang kedua cenderung longgar kepatuhan ritualnya dan gagah wacananya -meski tak sepenuhnya niscaya begitu. Ini hopotesis rata-rata, bukan kasuistik, yang lalu membentuk "karakter" pembedanya.
Di hadapan kedua kubu ini, jika mengikuti pandangan Muhammad Abed al-Jabiri, ada satu kelompok lagi, yakni kelompok ‘irfani (paradigma substantif-esensialis). Secara lughatan, 'irfani dari kata dasar 'arafa, mengetahui, dengan bentuk masdar ma'ruf dan makrifat. Artinya, pengetahuan. Secara episteme, 'irfani adalah pengetahuan yang menyingkapkan (kasyaf) mata batin pada hal-hal yang terkait dengan spiritulitas. Tegasnya, pengetahuan yang meruah ke alam batin dengan basis intuisi (dzauq), sehingga menghadirkan kelembutan dan kedalaman.
Pada faksi paradigma substantif-esensialis, ketersingkapan (kasyaf) itu dekat sekali dengan perkara-perkara batiniah. Semuanya dirujukkan hanya kepada-Nya, termasuk leburnya diri pada-Nya. Betul, ia bagian dari sufisme, mistisisme, tasawuf. Pastinya, orang yang sudah bisa ber'irfani takkan sibuk sama sekali dengan selain kepasrahan pada-Nya. Ini tak berarti mereka kaum nirakal, nirkerja. Tidak. Tetapi pretensi batin mereka sepenuhnya untuk-Nya, sehingga semua aktivitasnya, dari urusan berpikir sampai bekerja, misal, bersendikan pada kedalaman-kedalaman batiniah tersebut. Mereka takkan lagi berseteru pada hal-hal yang sifatnya takwil, paham, apalagi kepentingan, macam pendukung paradigma legal-eksklusif dan pendukung paradigma substantif-inklusif.
Ada tiga pola pencapaian seseorang pada 'irfani ini. Satu, melalui anugerah iluminasi (pencerahan) yang diberikan oleh-Nya. Dua, melalui pengasahan keilmuan yang mendalam, yang sampai pada refleksi-refleksi batin dan intuisi. Tiga, pengalaman personal melalui lelaku tertentu, misal puasa Daud.
Tidak tepat sama sekali untuk dinyatakan bahwa pendukung paradigma substantif-esensialis berislam dan beribadah sesuka-sukanya. Tidak. Mereka memiliki kepatuhan syariat yang luar biasa (sebutlah sejajar sama pendukung paradigma legal-eksklusif), sekaligus kedalaman pengetahuan luar biasa yang tak hanya bertingkat wacana (sebutlah sejajar sama pendukung paradigma substantif-inklusif), tetapi merasuki intuisi dan batin. Mereka merangkai kedua kutub itu dengan cara mengatasi problem-problem keterbatasan keduanya, lalu mengangkatnya ke jenjang lebih mendalam; batin dan intuisi.
Hanya saja, memang terdapat banyak kesalingsengkarutan pandangan pendukung paradigma substantif-inklusif dan  paradigma legal-eksklusif terhadap pendukung paradigma substantif-esensialis ini, yang menyebabkan pendukung paradigma substantif-esensialis seolah tidak bersyariat (kata pendukung paradigma legal-eksklusif) dan tidak membumi (kata pendukung paradigma substantif-inklusif). Tetapi, masalah ini sesungguhnya hanya terkait dengan tiga perkara ini:
Satu, persiapan -bahwa dibutuhkan persiapan-persiapan batiniah yang mendalam agar hati kita siap menampung makna-makna substansial dalam segala hal, termasuk ibadah. Misal, shalat tak lagi diterjemahkan sebagai perintah syariat an sich, tetapi "kawah candradimuka" yang menggembleng kita untuk steril dari kekejian dan kemungkaran. Kerja ibadah tidak lagi berparameter kuantitas, tapi kualitas, pemaknaan. Apa pun diresapi sebagai makna, bukan lagi tanda. Jelas, pemahaman ini bekerja di ranah hati dan intuisi, bukan lagi tekstualitas, bahkan melampaui kontekstualitas pula.
Dua, penerimaan. Hadirnya energi-energi Ilahiyah yang menyingkapkan makna-makna tadi jelas merupakan sinergi pengetahuan dan penghayatan. Nalar dan batin. Ia lalu bisa menerima makna-makna esensial tentang segalanya, bukan sekadar wacana-wacana, tetapi melesak sampai ke perilaku dan orientasi. Dasein. Caranya mengada senantiasa berselaras dengan-Nya.
Tiga, pengungkapan. Di titik inilah kerap memicu sinisme dari dua kutub itu (paradigma legal-eksklusif dan paradigma substantif-inklusif). Bahwa pengalaman personal batiniah itu lalu terbuhulkan ke permukaan dalam bentuk ungkapan pemikiran dan perilaku, yang dianggap ganjil dan aneh, kerap memicu problem. Seperti cara pengungkapan Al-Hallaj dengan "ana al-Haq" dan Abu Yazid al-Bushtami dengan "la ilaha illa ana".
Cara pengungkapan mereka sama sekali bukan pengakuan bahwa al-Hallaj dan al-Bushtami adalah Allah. Bukan! Tetapi itu ekspresi kemanunggalan diri yang manusia dalam Diri yang Ilahi: "aku adalah Dia, lebur pada-Nya, semburat Cahaya-Nya". Pada kaum yang tidak menempatkan hal itu sebagai pengungkapan personal, misal di mata awam, memang bisa riskan. Diperlukan kebijaksanaan dalam pengungkapan-pengungkapan esoteris ini karena sifatnya yang sangat privat. Tak heran, acap situasi manunggal ini disebut "mabuk Allah". Memang demikianlah suasana esoterisnya.
Hal yang berharga bagi peta paradigma legal-eksklusif dan paradigma substantif-inklusif ini, keberadaan metode paradigma substantif-esensialis ini mengatasi keterbatasan keduanya, mengangkat paham keduanya pada level ketakterbatasan. Sangat ideal membebaskan diri dari belenggu truth claim dan kelonggaran praktik syariat. Lalu hal-hal demikian diejawantahkan dalam pengalaman-pengalaman esoteris personal.
Berikutnya, ketakterbatasan ekspresi pendukung paradigma substantif-esensialis harus dipahami sebagai jutaan jalan relasi hamba dengan Allah. Maka wajar belaka bila ada pekerja keras yang sesungguhnya bekerja bukan untuk menumpuk harta bagi dirinya, tetapi disedekahkan. Ada orang yang tampilannya semeriah kaum metropolis tetapi ekspresi spiritualnya sangat menakjubkan. Segala sekat lahiriah, identitas, aliran, wacana, tafsir, telah ditumpas oleh kaum 'irfani ini, dan menyandarkan segalanya hanya dan hanya pada Allah --dalam berjuta ekspresi.
Bukankah zuhud tidak bisa disekat hanya pada kesendirian, kesederhanaan, keterasingan, dan meninggalkan dunia seisinya?
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya."
-Syekh Ibnu Atha'illah As Sakandari-

*Dikutip dari berbagai sumber

(Bahrun M. Syafi’i/Kader Rayon Nusantara)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama