![]() |
Sumber: freedeskwallpapers.com |
Sejak dulu ekspresi keberislaman kaum muslimin di seluruh dunia sudah terkotak-kotak sedemikian rupa, hal ini lebih disebabkan karena banyaknya paradigma yang berkembang di masyarakat tentang Islam itu sendiri. M. Syafi'i Anwar dalam bukunya, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, mengelompokkan paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum muslimin ada dua. Paradigma itu adalah (1) substantif-inklusif dan (2) legal-ekslusif.
Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantif-inklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik. Adapun ciri-ciri yang menonjol pada pemikiran substantif-inklusif ada empat. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan detil-detil pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain.
Kedua,
pendukung paradigma substantif-inklusif meyakini bahwa misi utama Nabi Muhammad
bukanlah untuk membangun kerajaan atau
negara. Tetapi seperti halnya para nabi lainnya, yakni mendakwahkan
nilai-nilai Islam dan kebajikan. Dengan demikian misi Nabi Muhammad tidak perlu
diartikan sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem pemerintahan
tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain Fawzi al-Najjar, concern utama
Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk
mempersatukan para pemeluk Islam (al-wihda al-ijtimai) daripada membangun
sebuah negara atau sistem pemerintahan. Kenyataan kemudian terbukti bahwa
sesudah Nabi Muhammad wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk
melakukan musyawarah dan memutuskan
siapa penggantinya, yang kemudian terpilih Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para
sahabat Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali
semuanya melalui sistem dan mekanisme yang berbeda.
Ketiga,
para proponen paradigma substantif-inklusif berpendapat bahwa syari’at tidak
dibatasi atau terikat oleh negara. Demikian pula syari’at tidak berkaitan
dengan gagasan-gagasan spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik. Karena
Islam dipandang semata-mata sebagai agama dan bukannya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara, syari’at
seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, tetapi tetap diletakkan
dalam kerangka sistem keimanan Islam. Menurut Al-Ashmawi, mantan hakim agung
Mesir yang juga dikenal sebagai pemikir progresif Islam terkemuka, bahkan Al
Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari orientasi etika
Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
negara. Syari’at adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis
dan membawa manusia pada tujuan-tujuan
yang benar dan orientasi-orientasi etis yang mulia.
Keempat,
refleksi para pendukung paradigma substantif-inklusif dalam bidang politik pada
dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan
orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai–nilai
Islam (Islamic injuctions) dalam
aktivitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga dalam format
pemikiran dan kelembagaan politik
mereka. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai
Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam dalam
masyarakat Indonesia modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di
antara berbagai kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu diantara kekuatan
kultural yang bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan itu,
proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi dan bukannya
politisasi.
Sementara itu, paradigma legal-eksklusif
mempunyai ciri-ciri umum sebagai
berikut. Pertama, paradigma legal-eksklusif
dalam pemikiran politik Islam meyakini
bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang
lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu
memecahkan seluruh permasalahan kehidupan ummat manusia. Para pendukung
paradigma legal-eksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas
integratif dari “tiga d”: din
(agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti
dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didesain untuk mengaplikasikan
semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh temeh masalah keluarga hingga
menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Kedua,
dalam realitas politik, pendukung paradigma legal-eksklusif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara
Islam. Paradigma ini menghendaki agar
ummat Islam selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para
sahabatnya (khulafa ar rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasyarakatan,
dijadikan sebagai referensi utama dan
modal untuk mewujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan
penolakan sistemik terhadap konsep-konsep politik Barat. Akibatnya, paradigma
ini mendorong ummat Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka
sebagai “alternatif” terhadap sistem sistem yang dipandang sebagai bertentangan
dengan Islam.
Ketiga,
para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan
jiwa dari agama, negara, dan dunia
tersebut. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan
(Divine Law), dan harus dijadikan
sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke
dalam seluruh proses pemerintahan, dan
menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga menegasikan adanya
kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang
implementasinya harus didukung oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini
menerapkan visi dan misi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim untuk
menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai alternatif terhadap
sistem-sistem dunia yang berlaku.
Keempat,
dalam konteks politik paradigma legal-eksklusif menunjukkan perhatian terhadap
suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang
dibayangkan (imagined Islam polity);
seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam,
ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta
eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia, pendukung
paradigma legal-eksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi yang
mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.
Menurut Edi Mulyono dalam salah
satu artikelnya, ekspresi wajah kedua paradigma yang sama-sama menjadikan
al-Qur’an dan hadits sebagai sumber pandangannya ini sangat bertolak belakang.
Yang pertama, cenderung kontekstual dan metodologis dan yang kedua cenderung
tegas, radikal, dan ofensif.
Pendukung paradigma legal-eksklusif
sangat rentan menghasilkan pemahaman dan penafsiran teks al-Qur’an dan hadits
yang ahistoris (karena selalu menjadikan “masa lalu” sebagai “sejarah yang
final dan baku” sehingga dinamika sosial-budaya kekinian yang notabene adalah
pula sejarah tertepikan). Berikutnya, cenderung menjadi ideologis (karena
senantiasa menjadikan “ideal pemahaman tekstual” sebagai kebenaran tunggal).
Lalu, tekstualis (sebab memandang teks al-Qur’an dan hadits sebagai “korpus
tertutup”). Dan, akhirnya, negasi (bertipikal truth claim, memutlakkan penafsiran).
Di tangan umat yang tidak karib
dengan tradisi akademik dan dialog, paradigma legal-eksklusif ini tertampilkan
sebagai “seharusnya semua umat Islam seperti kami” agar “sesuai dengan tuntunan
Rasulullah Saw.”, dan “selamat di dunia dan akhirat”, maka “kalian harus
mengikuti kami”.
Pada satu sudut, tentu saja
keyakinan mutlak terhadap iman adalah harga mati. Ia sahih adanya. Saya pun
demikian. Namun, ditakik dari sudut lain, paham ini sangat problematis tatkala
mulai masuk ke ranah fiqh, politik (siyasah),
tradisi (turats), dan dakwah. Hasrat
memutlakkan pemahaman dan penafsiran yang niscaya selalu beragam menjadi “titik
didihnya”. Ragamnya mazhab fiqh, ekspresi politik, varian tradisi, dan metode
dakwah merupakan keniscayaan alamiah yang mustahil dipaksa seragam. Penerimaan
terhadap perbedaan dan apresiasi terhadap persamaan paham dan tafsir sontak tak
terbuhul di sini. Dampaknya menjadi benderang, watak eksklusif dan negasi
menjadi ciri utama dari paradigma legal-eksklusif ini.
Di sebelahnya, pendekatan paradigma
substantif-inklusif kepada teks al-Qur’an dan hadits menghasilkan corak yang
telak berbeda. Kelompok ini sangat mengutamakan keterbukaan, serapan, dan
dinamisasi interaktif antara teks dengan realitas hidup umat Islam. Teks
al-Qur’an dan hadits diletakkan sebagai “korpus terbuka” –meminjam istilah
Mohamed Arkoun—sehingga pemahaman dan penafsiran sebuah teks selalu berkembang
dinamis dengan basis metodelogis yang diskursif dan debatable. Ciri kelompok ini ialah kontekstual, dialogis, dan
dinamis-progresif. Tentu saja, ekspresi keberislaman mereka menjadi lebih
toleran dan terbuka pada ragam perbedaan paham dan tafsir.
Bahwa kedua faksi ini sama-sama
memiliki modal metodologis dan keilmiahan, ini benar adanya. Bahwa kedua faksi
ini sama-sama berhak untuk hidup dan tampil, ini benar adanya. Bahwa kedua
faksi ini sama-sama “semata sedang” melakukan pemahaman dan penafsiran terhadap
teks al-Qur’an dan hadits, ini benar adanya. Bahwa kedua faksi ini sejatinya
sama-sama sedang berusaha mengejawantahkan kalam Allah dan ajaran Rasulullah ,
yang tak ada seorang pun manusia berhak mengklaim “telah berada di jalan-Nya
dan jalan Rasulullah, inilah kehakikian upaya-upaya pencarian.
Yang menjadi barometer empiris atas
adanya sebuah problematika bukanlah pada pendekatan paradigma
substantif-inklusif atau legal-ekslusif yang dianut, memilih mengikuti faksi
satu atau lainnya, tetapi sepenuhnya pada “sejuk/tidak, damai/tidak,
akur/tidak”. Bila sebuah pandangan, substantif-inklusif atau legal-ekslusif,
menisbatkan truth claim, niscaya ia
menyimpan problem seketika itu juga. Sebab, dapat dipastikan, watak truth claim secara ideologis akan
mendorong penganutnya untuk melakukan negasi: hanya kami yang benar, yang
selain kami salah; hanya kami yang sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya, yang
selain kami sesat; berikutnya, hanya kami yang berhak mewarisi surga-Nya, yang
selain kami akan masuk neraka-Nya.
Secara sosial, watak truth claim akan mendorong penganutnya
untuk intoleran dan eksklusif, bahkan ofensif. Tentu saja, tiga praktik sosial
ini akan memantik masalah di tengah keragamannya. Tidak serta merta, pendukung
paradigma substantif-inklusif tidak berpotensi menyimpan watak intoleran dan
eksklusif, bahkan ofensif ini. Bila ekspresi keagamaannya ternyata membuahkan
negasi kepada pendukung paradigma legal-eksklusif, sejatinya mereka tidaklah
berbeda secara sosial. Sama-sama berambisi menegasi.
Dalam watak sosialnya yang
cenderung intoleran, tak perlu ditutup-tutupi bahwa ada satu nilai plus pada pendukung
paradigma legal-eksklusif yang cukup langka dimiliki pendukung paradigma
substantif-inklusif, yakni kepatuhan amaliah (ritual) yang sangat menakjubkan. Boleh
jadi mereka ditabalkan “fakir wacana” karena “fakir dinamika dan progresivitas
kontekstual”, seperti kegemarannya memvonis musik haram, foto haram, lukisan
haram, traveling haram, mengucapkan
selamat Natal haram, bercelana panjang sampai ke mata kaki itu tasyabuh kaum
kafir, dll., hingga penampikan hal-hal kekinian yang asalinya manusiawi belaka
dengan senarai bid’ah. Apa yang saya maksud “fakir wacana” ialah dominasi
peminggiran peran nalar, akibat metode tafsir tekstual, sehingga efeknya wacana
keislaman jadi stagnan, beku, dan kaku. Seolah, kita yang hidup di era milenial
ini, di Indonesia, haruslah berwajah sama dengan umat Islam di era abad
pertengahan, khususnya umat Islam Arab Saudi dan Timur Tengah.
Pada derajat ini, pendukung
paradigma legal-eksklusif ini memang tidak menjanjikan watak berislam yang
dinamis sesuai realitas ruang dan waktu yang melingkupi hidup kita. Islamnya pendukung
paradigma legal-eksklusif nampak ahistoris. Bahkan, asosial –kecuali sesamanya.
Tetapi, perhatikanlah segera, betapa mereka sangat mematuhi ibadah-ibadah dan
amaliah-amaliah syariatnya. Jangankan yang wajib-wajib, yang sunnah-sunnah saja
dipelihara benar. Shalat jamaah, misal, mereka juaranya. Hafalan Alqur’an,
mereka pionernya, Ini merupakan fakta-fakta luar biasa yang idealnya mutlak
dilakukan oleh semua umat Islam tanpa kecuali.
Di sebelahnya, pendukung paradigma
substantif-inklusif yang membela perilaku sosial yang inklusif, kontekstual,
progresif, dan toleran menjanjikan watak berislam yang sangat historis, sosial,
dan memanusiakan manusia benar. Jangankan sekadar keragaman paham dan aliran,
bahkan keragaman keyakinan pun diapresiasi. Secara sosial, di tengah
keragamannya macam Indonesia, mereka menjadi lokomotif wajah Islam yang ramah
terhadap segala perbedaan. Klop sekali.
Pencapaian watak ini dipersembahkan
oleh keluasan interaksi sosial dan keilmuan mereka, termasuk dari khazanah
Yunani macam filsafat dan Barat macam sekularisme. Mereka memiliki daya jelajah
yang sangat luas pada akses pergaulan dan ilmu pengetahuan kontemporer. Kepada
filsafat, demokrasi, feminisme, hingga pluralisme, sekularisme, dan
liberalisme, mereka karib secara wacana dan praktiknya. Walhasil, mereka selalu
terdepan dalam khazanah wacana yang terkait dengan pembelaan HAM, lalu
dikontekstualisasikan dengan teks-teks naqli,
Alqur’an dan hadits, kemudian ditariklah penyimpulan-penyimpulan metodologis
sebagai “hukum baru”.
Tanpa bermaksud gebyah uyah, sayangnya, pendukung
paradigma substantif-inklusif yang gagah wacana ini acap fakir praktik
ritualnya. Sayang sekali. Di hadapan pendukung paradigma legal-eksklusif dalam
hal kepatuhan ritual, mereka bukanlah apa-apa. Sederhana saja, berapa banyakkah
pendukung paradigma substantif-inklusif yang hafal Al Qur’an, sebagaimana
membludaknya pafa hafidz dari pendukung paradigma legal-eksklusif? Seberapa
banyak pendukung paradigma substantif-inklusif yang cerdas-cerdas berwacana,
yang menjaga marwahnya sekencang-kencangnya, sebagaimana perilaku pendukung
paradigma legal-eksklusif, dalam berhubungan dengan lawan jenis non muhrim?
Wajah Islam yang secara lahiriah
“tampak angin-anginan”, “tanpa militansi dan fanatisme”, inilah yang menjadikan
pendukung paradigma substantif-inklusif sedemikian dihujat oleh pendukung paradigma
legal-eksklusif. Lepas dari watak pendukung paradigma legal-eksklusif yang
memang gemar melakukan truth claim,
dengan dalih salvation claim,
perilaku ritual pendukung paradigma substantif-inklusif yang longgar-longgar
merupakan pemicu faktualnya.
Di kalangan awam, yang notabene
“tidak paham wacana” sehingga “tidak memerlukan” penelusuran pesan moral teks (maqashid syar’i), analisis teoritik yang
rumit (manhajul hukmi), hingga sebab
lahirnya sebuah hukum (illatul hukmi),
perkara siapa yang memikat untuk dimakmumi menjadi sangat sederhana: siapa yang
bagus ibadahnya, amaliahnya, shalih kepribadiannya.
Sudah pasti, kedalaman perilaku
ibadah pendukung paradigma legal-eksklusif menjadi magnet besar yang memukau
mayoritas kaum awam ini. Tak usah heran karenanya bila dari waktu ke waktu pendukung
paradigma legal-eksklusif ini semakin tumpah ruah. Tanpa perlu saya sebutkan
Islam apa, kita saksikan sendiri (setidaknya) di sosial media, betapa
seruan-seruan anti bid’ah, misal, sedemikian merajalelanya, sebagai cerminan
meruahnya pendukung paradigma legal-eksklusif ini.
Sekali lagi, pintu masuknya dai-dai
pendukung paradigma legal-eksklusif ini adalah magnet kepatuhan ritualnya.
Orang awam akan langsung terkesima bila orang yang mengajaknya diskusi Islam
ternyata hafal Al Qur’an dan tepat waktu dalam shalat-shalatnya. Berikutnya,
mudah saja ia jadi pengikutnya, lalu terjejalkanlah indoktrinasi paham
tekstualis pendukung paradigma legal-eksklusif itu. Lalu, jadilah ia pion yang
selalu terdepan untuk menyerang pendukung paradigma substantif-inklusif –meski
jelas saja secara wacana mereka bukanlah apa-apa; mereka hanya tahu pendukung
paradigma substantif-inklusif itu salah, sesat, maka diseranglah tanpa ampun;
ya tentu, mereka aslinya hanya martir.
Inilah letak kelemahan mendasar pendukung
paradigma substantif-inklusif di hadapan masyarakat muslim awam itu. Tak heran,
seluruh dinamika keilmuan dan keislaman yang penuh dinamika dan diskusi itu
hanya bergeliat di ruang-ruang kuliah, diskusi, jurnal, dan sulit mendapatkan
panggung di mimbar Jum’at, misal. Tak heran, link-link yang berada di halaman
pertama mesin pencari didominasi pandangan-pandangan pendukung paradigma
legal-eksklusif.
Coba saja anda cari “bagaimana
hukum memelihara jenggot”, dapat dipastikan link-link paradigma legal-eksklusif,
lah, yang menyeruak di halaman pertamanya. Ketika link itu dibaca seseorang
yang awam, mudah saja ia mengangguk-angguk, besoknya membeli minyak firdaus,
dan dipoleskan ke sekujur wajahnya dengan penuh kebanggaan bahwa ia sedang
mengamalkan ajaran Islam yang benar yang akan menuntunnya ke surga.
Tentunya berbeda memang cara
berpikir dan berekspresi antara pendukung paradigma legal-eksklusif dan pendukung
paradigma substantif-inklusif. Yang pertama cenderung eksklusif, yang kedua
inklusif. Yang pertama cenderung gagah kepatuhan ritualnya dan dangkal
wacananya, yang kedua cenderung longgar kepatuhan ritualnya dan gagah wacananya
-meski tak sepenuhnya niscaya begitu. Ini hopotesis rata-rata, bukan kasuistik,
yang lalu membentuk "karakter" pembedanya.
Di hadapan kedua kubu ini, jika
mengikuti pandangan Muhammad Abed al-Jabiri, ada satu kelompok lagi, yakni
kelompok ‘irfani (paradigma substantif-esensialis). Secara lughatan, 'irfani dari
kata dasar 'arafa, mengetahui, dengan bentuk masdar ma'ruf dan makrifat.
Artinya, pengetahuan. Secara episteme, 'irfani adalah pengetahuan yang
menyingkapkan (kasyaf) mata batin
pada hal-hal yang terkait dengan spiritulitas. Tegasnya, pengetahuan yang
meruah ke alam batin dengan basis intuisi (dzauq),
sehingga menghadirkan kelembutan dan kedalaman.
Pada faksi paradigma
substantif-esensialis, ketersingkapan (kasyaf) itu dekat sekali dengan
perkara-perkara batiniah. Semuanya dirujukkan hanya kepada-Nya, termasuk
leburnya diri pada-Nya. Betul, ia bagian dari sufisme, mistisisme, tasawuf. Pastinya,
orang yang sudah bisa ber'irfani takkan sibuk sama sekali dengan selain
kepasrahan pada-Nya. Ini tak berarti mereka kaum nirakal, nirkerja. Tidak.
Tetapi pretensi batin mereka sepenuhnya untuk-Nya, sehingga semua aktivitasnya,
dari urusan berpikir sampai bekerja, misal, bersendikan pada kedalaman-kedalaman
batiniah tersebut. Mereka takkan lagi berseteru pada hal-hal yang sifatnya
takwil, paham, apalagi kepentingan, macam pendukung paradigma legal-eksklusif dan
pendukung paradigma substantif-inklusif.
Ada tiga pola pencapaian seseorang
pada 'irfani ini. Satu, melalui
anugerah iluminasi (pencerahan) yang diberikan oleh-Nya. Dua, melalui pengasahan keilmuan yang mendalam, yang sampai pada
refleksi-refleksi batin dan intuisi. Tiga,
pengalaman personal melalui lelaku tertentu, misal puasa Daud.
Tidak tepat sama sekali untuk
dinyatakan bahwa pendukung paradigma substantif-esensialis berislam dan
beribadah sesuka-sukanya. Tidak. Mereka memiliki kepatuhan syariat yang luar
biasa (sebutlah sejajar sama pendukung paradigma legal-eksklusif), sekaligus
kedalaman pengetahuan luar biasa yang tak hanya bertingkat wacana (sebutlah
sejajar sama pendukung paradigma substantif-inklusif), tetapi merasuki intuisi
dan batin. Mereka merangkai kedua kutub itu dengan cara mengatasi
problem-problem keterbatasan keduanya, lalu mengangkatnya ke jenjang lebih
mendalam; batin dan intuisi.
Hanya saja, memang terdapat banyak
kesalingsengkarutan pandangan pendukung paradigma substantif-inklusif dan paradigma legal-eksklusif terhadap pendukung paradigma
substantif-esensialis ini, yang menyebabkan pendukung paradigma
substantif-esensialis seolah tidak bersyariat (kata pendukung paradigma
legal-eksklusif) dan tidak membumi (kata pendukung paradigma substantif-inklusif).
Tetapi, masalah ini sesungguhnya hanya terkait dengan tiga perkara ini:
Satu,
persiapan -bahwa dibutuhkan persiapan-persiapan batiniah yang mendalam agar hati
kita siap menampung makna-makna substansial dalam segala hal, termasuk ibadah.
Misal, shalat tak lagi diterjemahkan sebagai perintah syariat an sich, tetapi "kawah
candradimuka" yang menggembleng kita untuk steril dari kekejian dan
kemungkaran. Kerja ibadah tidak lagi berparameter kuantitas, tapi kualitas,
pemaknaan. Apa pun diresapi sebagai makna, bukan lagi tanda. Jelas, pemahaman
ini bekerja di ranah hati dan intuisi, bukan lagi tekstualitas, bahkan melampaui
kontekstualitas pula.
Dua,
penerimaan. Hadirnya energi-energi Ilahiyah yang menyingkapkan makna-makna tadi
jelas merupakan sinergi pengetahuan dan penghayatan. Nalar dan batin. Ia lalu
bisa menerima makna-makna esensial tentang segalanya, bukan sekadar
wacana-wacana, tetapi melesak sampai ke perilaku dan orientasi. Dasein. Caranya mengada senantiasa
berselaras dengan-Nya.
Tiga,
pengungkapan. Di titik inilah kerap memicu sinisme dari dua kutub itu (paradigma
legal-eksklusif dan paradigma substantif-inklusif). Bahwa pengalaman personal
batiniah itu lalu terbuhulkan ke permukaan dalam bentuk ungkapan pemikiran dan
perilaku, yang dianggap ganjil dan aneh, kerap memicu problem. Seperti cara
pengungkapan Al-Hallaj dengan "ana
al-Haq" dan Abu Yazid al-Bushtami dengan "la ilaha illa ana".
Cara pengungkapan mereka sama
sekali bukan pengakuan bahwa al-Hallaj dan al-Bushtami adalah Allah. Bukan!
Tetapi itu ekspresi kemanunggalan diri yang manusia dalam Diri yang Ilahi:
"aku adalah Dia, lebur pada-Nya, semburat Cahaya-Nya". Pada kaum yang
tidak menempatkan hal itu sebagai pengungkapan personal, misal di mata awam,
memang bisa riskan. Diperlukan kebijaksanaan dalam pengungkapan-pengungkapan
esoteris ini karena sifatnya yang sangat privat. Tak heran, acap situasi
manunggal ini disebut "mabuk Allah". Memang demikianlah suasana
esoterisnya.
Hal yang berharga bagi peta paradigma
legal-eksklusif dan paradigma substantif-inklusif ini, keberadaan metode paradigma
substantif-esensialis ini mengatasi keterbatasan keduanya, mengangkat paham
keduanya pada level ketakterbatasan. Sangat ideal membebaskan diri dari
belenggu truth claim dan kelonggaran
praktik syariat. Lalu hal-hal demikian diejawantahkan dalam pengalaman-pengalaman
esoteris personal.
Berikutnya, ketakterbatasan
ekspresi pendukung paradigma substantif-esensialis harus dipahami sebagai
jutaan jalan relasi hamba dengan Allah. Maka wajar belaka bila ada pekerja
keras yang sesungguhnya bekerja bukan untuk menumpuk harta bagi dirinya, tetapi
disedekahkan. Ada orang yang tampilannya semeriah kaum metropolis tetapi
ekspresi spiritualnya sangat menakjubkan. Segala sekat lahiriah, identitas,
aliran, wacana, tafsir, telah ditumpas oleh kaum 'irfani ini, dan menyandarkan
segalanya hanya dan hanya pada Allah --dalam berjuta ekspresi.
Bukankah zuhud tidak bisa disekat hanya pada kesendirian, kesederhanaan, keterasingan, dan
meninggalkan dunia seisinya?
"Meninggalkan
dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan
berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai
petunjuk Allah dan Rasul-Nya."
-Syekh Ibnu Atha'illah As Sakandari-
*Dikutip
dari berbagai sumber
(Bahrun M.
Syafi’i/Kader
Rayon Nusantara)
Tags:
Opini