Belajar dari Novel Pram

Salah satu novel Pram yang saya baca tuntas kali ini berjudul Anak Semua Bangsa. Novel ini adalah novel seri kedua dari tetralogi Pulau Buru. Dimana novel pertama adalah Bumi Manusia, ketiga Jejak Langkah, dan keempat Rumah Kaca.

Dalam novel tersebut, Minke dan Nyai Ontosorah masih menjadi tokoh sentral cerita. Mereka berdua mengalami pergulatan dan goncangan batin selepas kepergian Annelis —putri Nyai dan istri Minke. Lalu, pergolakan demi pergolakan dan konflik-konflik dapat diatasi dengan bijak oleh keduanya, dibantu pula dengan teman-temannya yang setia; Jean Marais, Krommer, Panji Darman, Trunodongso, dan Darsam.


Yang di luar kita itu guru


Dalam menghadapi kemelut hatinya, Minke atas saran dari Nyai mencoba mengalihkan perhatian dengan menulis, hobinya yang sempat mandeg. Dalam proses menumbuhkan kembali hobinya, Minke mendapatkan banyak pengalaman dan bertemu dengan banyak orang. Mereka adalah Kow Ah Soe, pelancong China dan Trunodongso, petani di ladang tebu Tulangan, Nijman sang redaktur licik, Krommer dengan semangat menulis Melayu yang menggebu, Jean Marrais yang selalu sabar menasihati dan mendukung, dan Tuan Haan yang ditemui di kapal jurusan Surabaya-Semarang. Lalu, di detik -detik terakhir mau tak mau dia harus menjalani pengadilan bersama Nyai dan perebutan warisan oleh Maurits Mellema —putra Tuan Mellema.


Sosok Minke sebagai pribumi jawa berpendidikan memang memiliki karakter berpikiran terbuka dan cerdas. Namun, amat disayangkan ia masih mengelu-elukan gelar bangsawannya dan kadang keras kepala. Ia merasa tak sepatutnya orang lain yang tak punya pendidikan tinggi dan pengalaman banyak patut digugu lan ditiru. Ia hanya mau mempelajari lalu mengagumi Eropa dan menulis dengan Bahasa Belanda.


Namun, atas ejekan Krommer, pertemuan dengan Koh Ah Soe yang menggambarkan kondisi bangsa China, Trunodongso dan perjuangan membela tanah dari paksaan Belanda, serta Tuan Haan yang mengatakan tentang kondisi bangsa-bangsa lain, Minke jadi terbuka hati dan wawasannya.


Selain orang lain, kita juga perlu berguru pada bangsa lain agar tahu kelebihan dan kelemahan bangsa kita. Atau yang lebih sederhana adalah dari PMII ke organisasi lain. Ibarat sebuah rumah, jika kamu di dalam terus, kamu hanya tahu kebaikannya dan keburukannya dari dalamnya saja. Tapi cobalah keluar dari rumahmu. Ternyata eh ternyata, rumah para tetanggamu jauh lebih bagus, ada pula yang sudah tingkat atau gaya arsiteknya modern. Lha rumahmu sendiri catnya sudah pada mengelupas, terlihat kecil di antara yang lain, meskipun dari dalam terlihat luas. Jadi, perlulah keluar rumah dan dolan dolan di rumah tetangga biar tambah wawasan. 


Kader PMII cerdas yang berhati dan wawasan luas


Sebagai seorang mahasiswa pergerakan, sudah sebaiknya jika kita memiliki hati yang jembar  dan wawasan yang luas. Betapa akan luarbiasanya jika kedua hal tersebut dipadupadankan dengan pemikiran yang cerdas. Kau boleh cerdas seperti Minke, tapi usahakan jangan merasa sok pintar.


Ada alasan kenapa ketiga poin tersebut saya katakan luar biasa. 

Pertama, Seseorang yang memiliki hati jembar jarang salah dalam prasangka. Hati itu pada dasarnya penuh prasangka, tapi kalau dasarnya berhati luas, maka prasangka tidak sempit. Seperti Nyai Ontosorah, ia tak selalu berprasangka buruk pada orang asing (Kow Ah Soe) dan tidak pula langsung berprasangka baik pada Eropa (Krommer). Hatinya yang luas menilai prasangka berdasarkan wawasan. Karena rupanya, prasangka pun dapat melukai diri lebih dalam, seperti halnya penyesalan Nyai saat mengetahui Tuan Mellema menggunakan uang rampasan yang dikiranya uang halal selama ini.
Kedua, kalau wawasan luas, cara pikir dan bagaimana mengambil sikap juga tidak sembarangan. Pada akhirnya muncul keputusan bijak. Nah, coba lihat Minke dalam novel, ia bahkan menganggap kaumnya sendiri kolot, padahal ia bagian dari kaum jawa, masyarakat petani. Namun dalam kesehariannya selalu mengagungkan Eropa. Ia tak tahu bagaimana Eropa dan bagaimana bangsa lain yang ditindas Eropa. Di sini Minke belum bisa mengambil langkah cerdas untuk membela kaumnya karena terbatasnya wawasan. 
Ketiga, cerdas. Kalau kita cerdas, minimal pintar dan punya banyak pengetahuan, tentunya dalam bersikap tidak akan sembrono, senantiasa berhati-hati, kecuali kalau itu sudah watek, ya susah. Kita bisa lihat contohnya pada tokoh Darsam, sang pelayan Nyai. Karena keterbatasan pendidikan, wawasan, dan prasangka yang buruk, ia hanya bisa mengandalkan emosinya yang pada akhirnya malah merugikan diri dan orang lain –cerita saat Nyai dan Minke di pengadilan bersama Babah Kong.

Nah, sahabat tidak semuanya yang saya katakan di atas adalah benar bagi kalian. Saya tidak memaksa kalian untuk percaya, saya hanya sharing pendapat. Bagi yang setuju, boleh mengiyakan, bagi yang tidak dan ingin menambahkan mari kita diskusi. Toh, saya seperti tadi, setiap di luar kita adalah guru, dengan cara sebijak apa kita bisa menjadikannya guru. Dan saya pun merasa perlu dolan-dolan ke pemikiran kalian biar pengetahuan saya tidak seperti katak dalam tempurung.


Salam pergerakan!!!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama