Memperluas Cakrawala




Oleh Edi Subhan

Tak ada yang lebih menyedihkan dari sebuah bangsa kecuali terjadinya perpecahan. Kalau hanya dijajah, masih banyak peluang untuk melawan dengan cara bersatu. Namun jika sudah terpecah belah, maka peluang untuk jadi bangsa yang besar, berdaulat, dan mampu menghadirkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya tampak mustahil. 

Sialnya hari-hari jelang Ramadhan 1438 H kemarin justru media massa dan dunia maya kita dibanjiri dengan tayangan dan informasi yang menggambarkan perpecahan. Akarnya adalah kasus Ahok yang membuahkan polarisasi dua kubu, pro Ahok dan anti Ahok. Perang urat saraf, berupa makian, ujaran kebencian, stigmatisasi negatif, generalisasi simpulan, provokasi, hingga yang menumpulkan nalar terjadi.


Barangkali hampir-hampir sama sekali tak ada contoh baik yang bisa ditiru anak-anak kita dari gesekan tersebut. Okelah Ahok bersalah, dan dia sudah minta maaf. Mengapa kemudian tak ada yang rela memaafkannya dan tetap memintanya dipenjara? Dari situ sebenarnya tercium ada hal lain di balik gerakan itu yang mendasarinya. Bisa jadi motif politik untuk memenangkan kursi gubernur DKI. Bisa jadi Ahok sekadar sasaran antara, sasaran sebenarnya adalah Jokowi lengser. 


Namun yang jelas di balik gerakan massal itu dan juga reaksi-reaksi massal setelahnya, terdapat pola pikir yang perlu dibenahi. Dan ini jelas lebih repot dan susah dilakukan karena berkaitan dengan keyakinan bahwa tiap pihak memegang hakikat kebenaran. Dalam istilahnya Cak Nun, sekarang yang berperang bukan lagi Pandawa vs Kurawa, tapi Pandawa vs Pandawa. Artinya, antara pihak yang merasa benar dengan pihak yang juga merasa benar. Dan agaknya hari-hari terakhir ini kesadaran untuk bisa menerima kritik, pendapat yang berbeda, atau kebenaran yang lain berada pada puncak ketertutupannya.


Semua hal dinyinyiri. Debat tak habis-habisnya soal jumlah massa 212, soal siapa yang lebih merusak taman-taman kota, yang pro Ahok atau alumni 212. Orang kirim bunga ke Ahok karena kalah dinyinyiri, orang kumpul-kumpul menyalakan lilin diserang, bahkan dituduh PKI. Di titik tertentu pihak yang pro Ahok juga tak kurang sinisnya dan dalam beberapa hal melakukan juga hal-hal yang dilakukan oleh pihak anti Ahok. Tentu saja konstelasi politik dan sikap keagamaan riilnya di masyarakat tak sesederhana bahwa ini sekadar konflik antara pihak yang pro dan anti Ahok.


Eskalasi kebencian sedemikian hebatnya hingga beredar video anak-anak berdefile membawa obor dalam pawai jelang Ramadhan sambil menyanyikan lagu Menanam Jagung, namun diganti syairnya menjadi, ‘bunuh, bunuh, bunuh si Ahok, bunuh si Ahok sekarang juga!” Ngeri bagi saya karena anak-anak sudah diajari untuk bersemangat membunuh sejak dini. Sama ngerinya jika ada  yang tak sepakat Rizieq Shihab kemudian diteror dengan pertanyaan, “Anda muslim atau bukan?” Padahal wajar ada yang tak sepakat dengan Rizieq Shihab karena beberapa sikapnya memang layak dikritik. Misalnya mendoakan para pemilih Ahok mendapat sakit yang tak sembuh-sembuh, rizkinya seret, konon bahkan bilang Ahok babi dan Jokowi diganti Jokodok atau kecebong.


Lihat juga dalam diskusi mengenai al Maidah 51, pihak yang memiliki wawasan pengetahuan lain bahwa terdapat tafsir berbeda dari yang dipegang oleh GNPF MUI lantas dilabeli sebagai pro Ahok, liberalis, komunis. Termasuk dinyinyiri dengan menyatakan bahwa mereka cari makan dari Ahok dan dituduh menjual akidah. Padahal beda tafsir dan rumusan hukum Islam di kalangan Ulama terdahulu adalah hal biasa, toh semua pihak saling menghargai hasil ijtihad masing-masing sebagaimana diteladankan oleh para mufassir dan imam mazhab.  


Oleh karena itu, yang diperlukan sekarang adalah introspeksi diri, refleksi diri. Jangan-jangan sikap dan ucapan kita menyakiti orang lain. Jangan-jangan akhlak kita belum akhlakul karimah. Jangan-jangan kita terlalu yakin bahwa apa yang kita pegang kita anggap sebagai kebenaran mutlak yang tak mungkin dan tak ada peluang salah serta pasti tak ada kebenaran lain selain yang kita pegang. Padahal jelas kebenaran di tangan dan angan kita sejatinya sekadar tafsir atas kebenaran yang hakiki dalam memahami ajaran Islam. 


Kita perlu memperluas cakrawala pengetahuan kita dengan menyisakan ruang-ruang kesadaran bahwa di sekitar kita memang banyak juga yang dalam memahami dan menjalankan agama relatif letterlijk, tekstualis, yakni sama persis seperti makna literal dari teks-teks keagamaan yang dipelajari. Ada juga yang dalam menyelami samudera ajaran Islam baru sampai di bibir pantai, ada yang masih di permukaan laut, ada yang sedang menuju samudera, ada juga yang sudah sampai di kedalaman samudera. Cara memahami, menjalankan, dan prose situ harus disadari dan dihargai.


Catatannya: asalkan tidak melakukan tindak destruktif. Jika sudah destruktif/merusak, mau tidak mau memang mesti dilawan. Dan praktik destruktif dalam Islam ini tidak dimonopoli oleh kawan-kawan kita yang relatif tekstualis, melainkan juga yang relatif menonjolkan daya rasionalitasnya. Sejarah telah mencatat bagaimana daulah Abbasiyah ketika menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dalam kekuasaan kekhilafahannya, banyak korban berjatuhan dari umat Islam yang tak sepakat dengan Mu’tazilah. 


Hal yang perlu dibuka lebar-lebar barangkali adalah ruang-ruang diskusi ilmiah yang terbuka, tanpa saling mengancam, apalagi meneror dengan cara mempertanyakan keislaman, bahkan mengkafir-kafirkan, melabeli sebagai munafik, dan sebagainya. Diskusi ilmiah harus diniatkan untuk tabayyun, mengklarifikasi, dan mencari kebenaran secara arif tanpa harus merasa sebagai pihak yang paling benar. Namun jika ruang-ruang diskusi justru diisi dengan intimidasi, ancaman, teror, serta pelabelan kafir, munafik, dan sejenisnya, diskusi itu tak ubahnya debat kusir yang harus ditinggalkan. 


Tak heran jika muncul adagium “tinggalkanlah debat walau dirimu dalam posisi benar”, yakni dalam konteks debat kusir. Karena jelas tak ada gunanya menjelaskan pemahaman kita pada pihak yang tak mau terbuka terhadap potensi-potensi kebenaran kita dan potensi-potensi kesalahan dan ketidaktepatan diri mereka. Tak ada gunanya ngotot jikalau justru menjadikan kita berada pada posisi yang berpotensi menyulut konflik dan gesekan lebih besar di ruang publik. Karena hal yang mesti selalu diperjuangkan adalah kebersamaan dan persatuan, bukan sekadar kebenaran yang kita pegang. 


Jika kebencian kita yang telanjur memenuhi hampir semua ruang-ruang kehidupan sosial kita hari-hari ini tak kita sudahi, bisa saja pecah konflik yang lebih besar dan NKRI bubar jalan. Mari kita sudahi debat yang tak ada pangkal ujungnya itu. Kita turunkan ego masing-masing, hormati pemerintah, jangan merasa paling hebat, paling benar, ingatlah di atas langit masih ada langit. Mari kita dinginkan suasana dengan menyebarkan pesan-pesan yang sekiranya dapat memperluas cakrawala pengetahuan, dapat mengajak diri untuk selalu melakukan refleksi dan introspeksi diri, membelajarkan mengenai etika kehidupan yang baik, dan menyadari potensi-potensi kesalahan diri kita dan kebenaran dari pihak lain. 


Mudah mengucapkan, namun sulit melakukannya bukan? Namun semoga momentum Ramadhan 1438 H ini dapat menjadi medan dan menambah energi positif kita semuanya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama