Ramadan, Euforia, dan Siklus Pacaran

Suasana bukber Rayon Bahasa dan Seni

Tahun ini bulan Ramadan jatuh pada hari Sabtu yang sejuk—hari keduapuluh tujuh pada bulan Mei. Seperti biasa, kedatangan bulan yang penuh berkah ini selalu dinanti-nanti dan dielu-elukan oleh kaum muslim, bahkan 'orang lain' pun iya.

Awal Ramadan laksana sebuah telaga air di tengah gurun pasir, orang-orang langsung akan bereuforia ketika menemukannya. Pada hari-hari pertama bulan ini, kedisiplinan ibadah akan meningkat dengan begitu drastis. Orang-orang secara tiba-tiba akan jadi rajin salat, tadarus Al Quran, dan bersedekah. Perubahan ini tentu harus kita pandang sebagai sebuah gejala spiritual yang baik karena mengarah kepada hal yang positif.

Euforia bulan Ramadan begitu terasa pada fase-fase awal seperti ini. Hal ini bisa kita lihat dari begitu melimpahnya status tentangnya. Di sosial media misalnya, kita bisa dengan begitu mudah menemukan status sahur, buka, tarawih, dan status lain yang masih ada sangkut pautnya dengan bulan Ramadan.

Namun, seakan-akan tak belajar dari masa lalu, Ramadan—bagi sebagian orang—nampaknya masih hanya menjadi sebuah euforia yang sama sekali tidak religius.

Sama dengan menemukan status tentang Ramadan, kita juga bisa dengan mudah menemukan pelbagai bentuk penyimpangan spiritual. Misalnya, jamaah salat tarawih yang kian hari makin menyusut dari jumlah awal dan tadarus Quran yang makin jarang kita dengarkan. Kegiatan-kegiatan tersebut, jika digambarkan sebagai sebuah grafik maka akan membentuk huruf V: tinggi di titik awal, berangsur-angsur menukik turun, lalu naik lagi menuju titik akhir.

Bukan hanya kegiatan yang bersifat spiritual saja yang mengalami penyimpangan, tetapi aktivitas-aktivitas istimewa yang hanya bisa ditemui saat Ramadan juga. Sebut saja kegiatan ngabuburit. Semakin ke sini, semakin bisa kita lihat bahwa kegiatan tersebut bukan lagi menjadi kegiatan menantikan waktu buka puasa dengan hal-hal yang positif. Sebaliknya, ngabuburit kini hanya menjadi semacam alibi untuk jalan-jalan, ketemuan dengan pacar atau nggandok, atau track-track an di jalan.

Apabila makna Ramadan hanya seperti itu—bukan sebagai sebuah waktu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan—maka tidaklah berlebihan bahwa kita sebut Ramadan sebagai sebuah titik balik sementara atau euforia satu-dua hari. Tentunya hal ini sangat disayangkan.

Pada hakikatnya, Tuhan telah menganugerahi kita bulan Ramadan ini untuk intropeksi diri—sebagai sebuah ajang untuk bersuci, beribadah, dan berkhidmat kepada Allah SWT. Kita diperintah untuk menahan segala nafsu, entah itu nafsu makan, minum, menggosip, pamer, dan lain-lain. Semua itu tujuannya hanya satu, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah supaya mendapatkan rida-Nya.

Jangan sampai bulan Ramadan ini hanya kita jadikan sebagai sebuah euforia satu-dua hari—yang hanya jadi seperti mercon, yang habis meledak langsung tak berbekas, tapi jadikanlah ia sebagai sebuah perjalanan spiritual yang akan mengantar kita menjadi seorang hamba yang lebih berkelas.

Sekali lagi, jangan sampai Ramadan kita sikapi seperti siklus pacaran: pada awalnya, kita menanti-menanti dan mendambakan ia sampai di awal perjalanan, namun setelah kita bersamanya untuk waktu yang cukup lama maka kita bosan dan mengabaikannya. Naasnya, setelah itu kita merasa menyesal setelah ia berlalu pergi meninggalkan kita.

Ingat, belum tentu kita masih punya Ramadan setelah ini; besar peluang bahwa ini adalah Ramadan terakhir bagi kita. Oleh karena itu, marilah kita bermetamorfosis dengan cara menjadi lebih baik di bulan suci ini, lalu kian jadi lebih baik setelahnya.

Marhabban Ya Ramadan!
(Ahmad Abu Rifa'i/A)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama